Naturalisasi dan Mimpi Keponakan Saya
- Mungkinkah masih ada nama-nama lokal di timnas Indonesia yang sedang berjuang ke Piala Dunia.
- Jika tidak, sepak bola domestik bukan jalan bagi pemain menggapai impian menjadi pemain timnas.
JERNIH — Hampir setiap hari selalu ada nama baru yang dikaitkan dengan program naturalisasi untuk menghadirkan Indonesia di Piala Dunia. Saya bertanya-tanya sebanyak apa sich pemain yang ingin dinaturalisasi?
Jika pertanyaan itu saya sampaikan ke ruang publik berisi massa yang tergila-gila pemain naturalisasi, saya pasti akan menjadi tertuduh anti-naturalisasi. Ya, paling tidak terduga anti-naturalisasi, atau tersangka anti-naturalisasi.
Jadi, ya diam saja dah. Dalam diam, saya teringat — semoga saya tidak salah — pada pelatih Brasil masa lalu yang dikritik media karena mengisi skuad-nya dengan semua pemain berbasis klub-klub Eropa, dan tidak menyediakan tempat — atau sedikit memberi ruang — bagi pemain yang berlaga di liga domestik. Jika saya tidak salah, itu terjadi sebelum Piala Dunia 2002 Korea/Jepang.
Kritik itu luar biasa karena muncul dari kekhawatiran menjadi pemain timnas Brasil bukan lagi mimpi pesepakbola domestik. Sebab, timnas Brasil milik mereka yang bermain di klub-klub elite Eropa. Bukankah sejarah sepak bola Brasil dibangun mereka yang berlaga di liga domestik?
Saya ingin menggunakan kritik itu untuk membuka diskusi publik tentang masa depan sepak bola Indonesia era naturalisasi. Sekali lagi saya takut dibuli di media sosial sebagai orang terduga, tersangka, dan tertuduh anti-naturalisasi.
Yang bisa saya lakukan mungkin menunggu starting line up timnas Indonesia yang akan berlaga di Bahrain. Saya masih berharap ada nama Rizky Ridho, Witan Sulaiman, dan Marselino Ferdinand. Jika tidak ketiganya, ya yang lain lah, yang penting ada pemain lokal yang mengenakan kostum timnas Indonesia.
Jika tidak di starting line up, saya mungkin berharap ada pemain domestik di bangku cadangan meski menit bermain yang diberikan sangat sedikit atau tidak sama sekali. Nggak apa-apalah domestik menjadi penghangat dan penyemangat.
Lalu saya teringat Arif, keponakan saya yang berusia 13 tahun dan sedang mengejar impian menjadi penjaga gawang tim nasional. Jika dia baca tulisan ini saya khawatir dia gantung sepatu selepas maghrib dan tak datang lagi ke tempat latihan.