SpiritusVeritas

Perbandingan Mazhab dalam Islam [3]

Tampaknya kita harus membedakan dua kelompok umat Islam: mujtahid dan muqallid. Bila kita tidak memiliki kemampuan ijtihad, kita harus taklid. Orang akan menganggap pasien berlaku sembrono, bila ia berusaha menulis resep sendiri untuk mengobati penyakitnya. Tetapi, mengapa kita membiarkan orang awam berijtihad dengan informasi yang sangat tidak memadai. Rasulullah SAW bersabda: “Rusaknya agama karena tiga hal: fakih yang durhaka, pemimpin yang lalim dan orang bodoh yang berijtihad.”

JERNIH– Ushul fiqh kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri tentang bagaimana proses pengambilan hukum. Salah satu kaidah ushul fiqh mengatakan: “Terjadinya peristiwa tidak langsung menetapkan hukum wajibnya.”

Misalnya, orang melihat Rasulullah takbir tujuh dan lima kali dalam Salat Ied, kemudian ia mengambil kesimpulan: ”Ini adalah contoh dari Rasulullah, maka harus dilaksanakan, jadi hukumnya wajib.” Tetapi, tidak semua contoh Rasulullah itu hukumnya wajib, masih diperlukan data yang lain untuk melengkapinya. Malangnya, ushul fiqh ini pun berbeda-beda. Ushul fiqh mazhab Syafi’i berbeda dengan ushul fiqh mazhab Hanafi, berbeda juga dengan ushul fiqh mazhab Hambali.

Tidak mungkin di sini melacak perbedaan-perbedaan itu. Secara singkat, kita dapat menunjukkan tiga mazhab berpikir yang utama. Untuk memudahkan, saya menyebutnya mazhab zhahiri, ruhi, dan mutawasith (penamaan ini sudah jelas menunjukkan bias saya pada mazhab yang terakhir). Mazhab zhahiri berpegang teguh pada apa yang tersurat dalam nash dan menafikan takwil sama sekali. Mazhab ruhi mencoba menangkap apa yang mereka sebut sebagai ruh ajaran Islam (kadang-kadang disebut maqashid tasyri’iyah, mashalih mursalah, ‘illat, tema pokok, spirit of Islam dan sebagainya), sehingga kadang-kadang menolak nash yang sharih (tegas). Di antara kedua mazhab ini ada mazhab yang di tengah-tengah: tetap berpegang kepada nash dan berijtihad di tempat yang tepat. Keterangan ini memang sederhana. Tetapi marilah kita melihat beberapa contoh:

Sebuah hadis mengatakan bahwa “izin untuk dinikahkannya seorang perawan adalah diamnya.” Menurut mazhab zhahiri, ketika kita melamar seorang wanita, kemudian wanita tersebut menjawab: ”Saya bersedia…,” maka pernikahannya tidak sah, karena, menurut hadis, izinnya ialah diamnya. Jadi, mazhab ini hanya melihat nash secara lahiriah, yang diamalkan oleh mazhab ini ialah yang tersurat, dan tidak sedikit di antara kita menganut mazhab ini.

Contoh lain: sebuah hadis menyebutkan bahwa bejana yang dijilat anjing, hendaknya dibasuh sampai tujuh kali. Menurut mazhab zhahiri, kalau yang dijilat itu adalah tangan atau baju kita, maka tidak apa-apa. Karena, dalam hadis yang disebutkan hanya menjilat bejana.

Kita dapat mengkritik kaum zhahiri dengan kata-kata seperti ini:”Bolehkah melakukan salat dengan hanya wajah kita yang menghadap kiblat, sedangkan badan kita menghadap ke tempat lain.”  Mereka bilang bahwa hal itu tidak boleh. Tetapi, mengapa tidak boleh. Bukankah yang disuruh menghadap kiblat, di dalam Al-Ouran, hanya wajah: “Hadapkan wajahmu ke Masjidil Haram!” Jadi, boleh saja tubuh menghadap ke tempat lain, asalkan wajah masih menghadap ke kiblat.

Lalu, di dalam Al-Quran, daging babi diharamkan. Maka gajihnya, jantungnya, dan lainnya, tidak diharamkan. Itulah bahayanya bagi kaum yang hanya memegang lahirnya saja.

Mazhab ruhi, sekarang disebut kaum modernis, mencoba menyesuaikan ajaran Islam dengan tuntutan modern atau perubahan zaman melalui logika yang bebas. Biasanya yang dijadikan pijakan ialah kaidah ushul fiqh: “Hukum berputar menurut “illat-nya.”

‘Illat adalah sebab yang menetapkan berlakunya hukum. Seorang tokoh modernis menyatakan bahwa dewasa ini pencuri tidak harus dipotong tangan. Mengapa? Karena pada zaman dahulu, bila orang mencuri, ia mencuri barang dan harga diri sekaligus, Ini ‘Illat-nya. Sekarang orang hanya mencuri harta saja. Judi, kata modemis lainnya, hanya disebut judi “bila dipenuhi illat-nya–yakni berhadap-hadapan. Wanita memperoleh setengah dari bagian laki-laki dalam perwarisan, karena dahulu wanita sangat tergantung kepada suaminya dan tidak mencari nafkah.

Kalau bukan ‘illat yang disebut, biasanya dicari ruh ajaran Islam. Apa maksud Islam mendirikan negara? Untuk menegakkan keadilan. Bila tanpa embel-embel Islam, negara sudah berhasil menegakkan keadilan, negara Islam tidak diperlukan lagi. Untuk apa Allah menyuruh wanita Muslimah menutupkan kerudung ke lehernya? Untuk memelihara kehormatan wanita Islam, supaya tidak diganggu dan dikenal sebagai wanita Muslimah. Karena itu, tidak diperlukan kerudung bila wanita sudah dapat memelihara kehormatannya dan dikenal sebagai wanita Islam. Kita harus menangkap ruh, esensi, semangat atau api Islam, kata modernis.

Sahabat yang sering dijadikan model ialah Umar bin Khattab. Umar tidak memberikan hak mualaf walaupun tegas disebutkan dalam Al-Quran, karena ia berpendapat bahwa hak ini diberikan kepada mereka selama Islam masih lemah. Ia juga menetapkan berlakunya talak tiga yang diucapkan pada satu saat dengan maksud memberikan pelajaran untuk tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak. Masih banyak contoh lain. Bila Umar boleh menolak nash yang sharih dengan beralasan menangkap ruh Islam, mengapa kita tidak? Begitu dalih kaum modernis.

Bahaya yang besar dari mazhab ruhi ialah kecenderungan menolak nash dengan alasan yang tidak jelas kriterianya. Semangat untuk memodernkan Islam menyebabkan nash-nash ditunjukkan kepada paham-paham temporal dan temporer (duniawi dan sesaat). Kita tidak akan mengkritik mazhab ini secara terperinci pada tulisan ini.

Bagaimana sikap kita terhadap perbedaan mazhab?

Sebetulnya, mazhab itu tidak jelek. Islam memberikan kebebasan berpikir kepada kita. Yang menjadi masalah ialah kalau perbedaan tersebut sampai kepada orang awam. Karena, sebetulnya perbedaan pendapat ini adalah urusan mujtahid, urusan fuqaha yang memahami hukum dan ushul fiqh. Orang awam tak mungkin memperdebatkan hal ini, karena mereka tak memiliki ilmu untuk hal itu.

Yang menakjubkan ialah bahwa di Indonesi perdebatan semacam ini justru terjadi di kalangan orang awam, ahli fikihnya malah tenang-tenang saja. Bagi kita, yang penting memilih mana yang sesuai dengan pemikiran kita, tanpa harus mengafirkan pendapat orang lain.

Tampaknya kita harus membedakan dua kelompok umat Islam: mujtahid dan muqallid. Bila kita tidak memiliki kemampuan ijtihad, kita harus taklid. Orang akan menganggap pasien berlaku sembrono, bila ia berusaha menulis resep sendiri untuk mengobati penyakitnya. Tetapi, mengapa kita membiarkan orang awam berijtihad dengan informasi yang sangat tidak memadai. Rasulullah SAW bersabda: “Rusaknya agama karena tiga hal: fakih yang durhaka, pemimpin yang lalim dan orang bodoh yang berijtihad.”[1]

Sebagai orang awam, kita memilih ‘alim atau mujtahid yang menurut kita memiliki faqahah (kedalaman ilmu agama) dan ‘adalah (berakhlak baik, teguh pendirian, dan ikhlas). Dalam pergaulan sehari-hari, kita tunjukkan sikap tasamuh kepada mereka yang memilih mazhab yang berlainan dengan kita. Menarik untuk mencatat sikap tasamuh di antara para sahabat dan para imam mazhab.

Diberitahukan kepada Ibnu Mas’ud bahwa Usman bin Affan melakukan salat zuhur di Mina empat rakaat. Maka Ibnu Mas’ud berkata: ‘Inna lillahi wainna Wathi raji’un’. Hal itu dianggapnya sebagai musibah, karena di Mina Rasulullah hanya salat dua rakaat. Suatu ketika Ibnu Mas’ud bermakmum di belakang Usman di Mina. Ternyata salatnya Usman adalah empat rakaat pula, dan orang yang melaporkan sebelum peristiwa itu merasa heran, dan ia berkata:”Kau pernah istirja, sekarang kau salat pula empat rakaat pula.”  Kata Ibnu Mas’ud: “Sebetulnya, bertengkar itu jelek.”

Imam Ahmad berpendapat, wajib wudhu bagi orang yang berbekam dan mengeluarkan darah.  Ia pernah ditanya: Jika imam mengeluarkan darah, kemudian ia tidak berwudhu, apakah Anda akan salat di belakang dia? Imam Ahmad menjawab: Bagaimana aku tidak salat di belakang Imam Malik dan Said bin Musayyab? (Kedua imam ini berpendapat tidak wajib wudhu bagi orang yang mengeluarkan darah).

Padahal Syafi’i pernah salat di dekat kuburan Abu Hanifah. Ia tidak qunut karena menghormatinya (Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah tidak mensunnahkan qunut). Imam Abu Hanifah, Syafi’i bersedia salat di belakang para imam di Madinah yang tidak membaca basmalah, baik syir (perlahan) maupun jahar (keras), padahal kedua imam ini mengharuskan pembacaan basmalah pada Al-Fatihah.

Ketika kepada Imam Malik, Al-Manshur — Khalifah Abbasiah — mengusulkan supaya kitab Imam Malik disebarkan ke seluruh pelosok kerajaan dan mewajibkan umat Islam untuk mengikuti kitab itu, Imam Malik dengan tegas menolak: ”Jangan lakukan itu. Kepada mereka sudah datang berbagai qaul. Mereka telah mendengarkan hadis-hadis, meriwayatkan berbagai riwayat, mengambil dari kaum sebelum mereka, memilihnya dari yang diperselisihkan di antara manusia. Biarlah setiap negeri memilih buat diri mereka sendiri.”

Kadang-kadang terpikir di benak kita, kenapa sikap saling menghargai pendapat yang berlainan itu tidak dilanjutkan oleh orang-orang setelah Syafi’i, setelah Hambali, setelah para imam mazhab ini meninggal dunia? [ ]

Dari “Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus”, Jalaluddin Rakhmat, alm.Mizan, November 1986


[1] Hadis riwayat Ad-Dailami. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Jami’ ash-Shagi! pada huruf hamzah, Bandung: Al-Maarif, tanpa tahun

Back to top button