Veritas

Sarekat Islam Afdeling B, Gerakan Radikal AntiPenindasan di Tatar Sunda

Momentum inilah yang menjadi latar aksi radikal pemberontakan SI Priangan 1919. Dalam situasi ini, aktivis SI Afdeeling B mencapai puncak keyakinan dan meneguhkan definisi Pemerintah Kolonial beserta kepanjangan-tangannya—para penguasa lokal, para menak, sebagai “penindas anak negeri”.

Oleh  :  Muhajir Salam

JERNIH–  Liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai tahun 1870, telah memaksa rakyat tatar Sukapura (kawasan Tasikmalaya saat ini) menyerahkan tanah pusaka yang nilainya tak terhingga.

Kekayaan alam pada ratusan ribu hektare lahan dikuasai perusahaan-perusahaan Eropa. Para kapitalis dengan modal yang sangat besar diberikan keleluasaan melakukan eksploitasi dalam skala besar. Hal tersebut dilakukan untuk mengambil keuntungan finansial dari kebutuhan pasar internasional. Tanah subur tatar Sukapura yang membentang meliputi wilayah Tasikmalaja, Ciawi, Manonjaya, Singaparna, Taraju, Karangnunggal, Cikatomas, Banjar, Pangandaran, dan Cijulang, dikuasai 80  perusahaan dengan kapital yang sangat besar. Pencaplokan puluhan ribu hektare tanah rakyat ini mengakibatkan deraan kemiskinan.

Rakyat Tasikmalaya hanyalah pekerja rendahan di tanahnya sendiri. Situasi ini memaksa mereka menjadi kuli kontrak dan buruh perkebunan dengan tingkat kesejahteraan sosial yang sangat rendah.

Rakyat Tasikmalaya masih sangat tebelakang dan tak terdidik. Kebijakan Pendidikan kolonial pro-politik etis membuat klasifikasi elitis yang  rumit berdasarkan kasta. Semangat pemerintah kolonial untuk mencerdaskan kehidupan rakyat Tasikmalaya hanyalah slogan. Kontribusi pemerintah kolonial dalam pengembangan pendidikan rakyat pribumi rendahan sangatlah terbatas. Kontribusi mereka tidak sebanding dengan ekploitasi atas kekayaan dan tenaga masyarakat pribumi. Kolonial hanya menyelenggarakan volkschool untuk rakyat rendahan di desa-desa dengan fasilitas alakadarnya.

Guru-gurunya hanya rakyat rendahan yang memiliki semangat pengabdian dengan kesejahteraan yang memprihatinkan. Rakyat Tasikmalaya hanya dibekali kemampuan untuk membaca, menulis dan menghitung. Kemampuan dasar yang hanya cukup untuk modal bekerja menjadi kuli, buruh, atau pekerja rendahan lainnya.

Pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan tersentral (centralisatie) yang menutup ruang partisipasi politik rakyat pribumi dalam menentukan nasib kehidupannya. Rakyat sama sekali tidak diberikan ruang untuk bersuara menyampaikan harapan untuk memperbaiki nasib kehidupannya. Sementara aristokrat lokal, yang memerintah di kabupaten, tidak bisa diharapkan untuk mengubah nasib kehidupan rakyat. Para menak, memang sudah dapat diduga sifat dan peradatannya. Pengaruh kekuasaan mereka hanya dimanfaatkan pemerintah colonial untuk  melanggengkan kepentingan eksploitasi dan pengerukan keuntungan ekonomi. Hanyalah pemerintahan  terendah yang diurus  oleh bangsa pribumi dengan kewajiban tunduk pada konstitusi rezim kolonial. Rakyat hanya menunggu keberkahan hadirnya sosok pemimpin maju dan cerdas seperti R.A.A. Wiratanoeningrat yang memiliki kehendak kuat untuk mengurusi kesejahteraan rakyatnya.

Peristiwa Cimareme, momen perjuangan melawan penindasan Kolonial Belanda dan kambrat-kambratnya

Indutrialisasi terus berkembang, kapitaslisme semakin kuat bercokol. Infrastruktur untuk memfasilitasi kepentingannya terus dikembangkan. Rakyat Tasikmalaya digusur dan dituntut menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Terbangunnya jalur kereta api trans-jawa yang menghubungkan Tasikmalaya dengan kota Batavia, Bandung, Tasikmalaya, Jogja, dan Surabaya,pada tanggal 1 November 1894, mendorong keterbukaan informasi. Kreatifitas ekonomi rakyat mulai tumbuh dan berkembang, bersamaan dengan ramainya aktifitas sosial politik dan intelektual.

Aktivitas para pengusaha Tasikmalaya di pasar-pasar Jawa, sekitar tahun 1900 s.d. 1914-an, telah membawa mereka pada interaksi dan kesadaran pergerakan. Banyak pengusaha bergabung dengan Sarekat Islam (SI) atas dasar kepentingan yang sama yaitu proteksi persaingan ekonomi yang selalu berbenturan dengan pedagang Tionghoa (Cina).

Selanjutnya, mereka mendaulat para tokoh agama untuk mempimpin pergerakan SI. Pengaruh para kiayi dan guru ngaji yang memimpin SI, mempercepat perkembangan gerakan Islam berhaluan sosialis di Tasikmalaya. Gelar haji yang disandang para tokoh ini merepresentasikan pengalaman interaksi mereka dengan ide-ide dan gagasan pembaharuan di Timur Tengah. Demikianlah, pergerakan sosial politik dan ekonomi SI Tasikmalaya menebar dentuman gagasan revolusioner dan perlawanan terhadap kezaliman kolonial.

Sarekat Islam adalah organisasi pertama yang dikenal oleh masyarakat Tasik-malaya. Pada tahun 1914 memiliki anggota 231 orang. Pada tahun 1916, gerakan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat anggotanya mencapai 1.200 orang. Pesatnya perkembangan SI di Kabupaten Tasikmalaya selaras dengan basis aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Tasikmalaya. Dimana, sebagian besar dari anggota SI adalah pengusaha batik dan industri kerajinan, pedagang, haji-haji berpengaruh, kiayi dan guru ngaji yang mengakar.

SI adalah gerakan pencerahan yang telah membawa Tasikmalaya pada sebuah episode kebangkitan nasional. SI memiliki visi yang sesuai dengan semangat politik, ekonomi, sosial,  dan budaya rakyat Tasikmalaya.

Tasikmalaya melahirkan pahlawan besar yang menjadi tokoh sentral pergerakan SI. Dia adalah H. Isma’il, ulama terkemuka, seorang “hadji” asal Gunung Tanjung Manonjaya. Pada tahun 1919, beliau mendesain upaya pemberontakan terhadap kolonial Belanda bersama tokoh-tokoh besar lainnya seperti H. Sulaeman Ciawi, Abdul Jalil, Alhasim, Tabri, H. Adra’i dan H. Hasan Cimareme, dll. H. Ismail membangkitkan perlawan dengan melakukan mobilisasi anggota S.I. se-Priangan. Gerakan tersebut diberi nama SI Afdeeling B.

SI afdeeling B lahir setelah kongres Sarekat Islam (SI) Tasikmalaya yang dipimpin Presiden CSI (Central Sarekat Islam) H.O.S. Tjokroaminoto, di Manonjaya pada tahun 1918. SI Afdeeling B pimpinan H. Ismail adalah gerakan rahasia yang dipersiapkan untuk menyuarakan perang suci (jihad) melawan kolonial Belanda.

Organisasi ini dibentuk atas sepengetahuan Sosrokardono, sekretaris CSI Surabaya. Gerakan ini lahir sebagai gerakan Islam radikal yang tidak diketahui oleh semua anggota Sarekat Islam, baik di Tasikmalaya maupun seluruh cabang yang ada di Priangan. Misi “perang suci” yang dibawa gerakan ini menjadikan aktivitas SI Afdeeling B sangat tertutup dan bersifat rahasia. Strategi itu diterapkan untuk melindungi cita-cita yang dibawa gerakan ini.

Sejak tahun 1918, H. Ismail secara diam-diam menghimpun dan mengorganisasi para kiayi, guru, dan santridi tatar Priangan untuk bergabung dengan SI Afdeeling B. Berdasarkan dokumen kolonial, gerakan yang berasal dari Tasikmalaya ini telah menyebar ke seluruh kota dan pelosok kabupaten di Karesidenan Priangan, meliputi Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Garut, Cianjur, Bandung dan Sumedang.

Perekrutan anggota SI Afdeeling B dilakukan secara rahasia. Setiap anggota yang masuk ke dalam organisasi ini diambil sumpah setia. Sebagaimana keterangan H. Soelaiman, salah satu tokoh Afdeeling B Distrik Ciawi, saat memasuki keanggotan SI Afdeeling B, beliau bersumpah di hadapan H. Ismail.

“Bij God, bij Zijn Profeet, ik zal aan niemand iets vertellen over de inwendige aangelegenheden van de afdeeling B zelfs niet aan SI leden”(Demi Allah dan Rasul-Nya, Aku tak akan memberitahu siapa pun, apa pun tentang urusan Afdeeling B, sekali pun kepada anggota S.I).”

Berbeda dengang keanggotaan S.I. biasa, anggotaan S.I. afdeeling B diatur berdasarkan empat aturan berikut :

-Memelihara dan memperkuat keyakinan, dilarang murtad.

-Akan ada “Amir” yang memimpin segala urusan sekaligus mengontrol. (Amir: raja atau ratu)

-Harus mengorbankan harta yang dimilikinya untuk kepentingan agama dan organisasi afdeeling B.

-Harus menunjukkan keberanian kepada semua orang yang merusak agama dan melawan SI dengan melakukan perang suci dan, jika perlu, melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Meskipun SI Afdeeling B adalah organisasi rahasia dan sangat tertutup, namun mobilisasi keanggotaan S.I. afdeeling B berjalan sangat cepat. Kurang dari satu tahun, H. Ismail berhasil merekrut tokoh-tokoh berpengaruh di kalangan kiayi, santri, guru, dan haji-haji di wilayah Priangan. Sebagai “korps khusus”, keanggotaan SI Afdeeling B sangat selektif dan tidak menyentuh sembarang orang.

Perkembangan SI Afdeeling B terkonsentrasi di beberapa wilayah di Tasikmalaya. Tampaknya Manonjaya, ibu kota lama Tasikmalaya, menjadi pusat perkembangan gerakan ini. Di Manonjaya, selain H. Ismail muncul beberapa tokoh lain yang cukup berperan dalam gerakan ini. Nama-nama tokoh itu adalah H. Dahlan, presiden SI Manonjaya; H. Oedjoe Adjhoeri; H. Badri dan H. Hamaedi dari Gunung Tanjung. Selain itu daerah Kewadanaan Ciawi memiliki peran penting dalam persebaran keanggotaan SI. Afdeeling B. Dari wilayah Ciawi keanggotan SI Afdeeling B berkembang ke wilayah Ciamis, Panumbangan, Panjalu, dan beberapa wilayah di Garut.

SI Afdeeling B Priangan merencanakan aksi pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Gerakan ini disebut sebagai aksi pembersihan penindas anak negeri. Rencana pemberontakan ini dibicarakan dalam pertemuan SI pada suatu malam bulan Februari 1919 di Manonjaya. Pertemuan itu dipimpin H. Ismail (Amir SI Afdeeling B) dan Sosrokardono (Sekretaris Pusat Sarekat Islam/CSI). Pertemuan dihadiri beberapa tokoh penting SI Afdeeling B, di antaranya H. Soedjai (Ciawi), H. Sabandi (Cilangkap), H. Dahlan (Manonjaya), H. Adjhoeri (Manonjaya), H. Badri dan H. Hamaedi (Gunungtanjung), Karta (Cibeureum), dll.

Dalam pertemuan itu, Sosrokardono membangkitkan semangat perang suci (jihad), lillahi fisabilil haq, untuk membersihkan para penindas anak negeri. Selain itu, beliau mendorong untuk melakukan pemberontakan. Di antara yang akan dibersihkan itu adalah pejabat pemerintah kolonial yang menindas. Saran keras Sosrokardono ini selaras dengan semangat Kongres tahun 1918, dimana SI bersikap revolusioner. Kongres 1918 tidak hanya memprotes keras para penguasa, tapi juga memprotes tindakan pemerintah sebagai pelindung kapitalisme yang “penuh dosa”

Faktor utama yang mendorong arah radikal gerakan SI Afdeeling B ini adalah krisis ekonomi 1918. Pada tahun ini rakyat pribumi menghadapi ancaman kelaparan, krisis beras, yang disebabkan inflasi dan gagal panen perkebunan. Alih-alih, pemerintah Kolonial mengeluarkan kewajiban pengumpulan beras. Kondisi ini menimbulkan kemarahan para petani yang tidak menginginkan menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah. Momentum inilah yang menjadi latar aksi radikal pemberontakan SI Priangan 1919. Dalam situasi ini, aktivis SI Afdeeling B mencapai puncak keyakinan dan meneguhkan definisi Pemerintah Kolonial beserta kepanjangan-tangannya sebagai “penindas anak negeri”.

Aksi pemberontakan SI Afdeeling B dilakukan dengan cara membagikan jimat yang dipercaya memiliki kekebalan, dan bisa melindungi dari berbagai kejahatan. Aksi pemberontakan itu dilatar belakangi perilaku sewenang-wenang pemerintah lokal Garut terhadap kaum petani. Para petani dikenakan kewajiban untuk memberikan sebagian hasil pertaniannya kepada pemerintah. H. Ismail memanfaatkan situasi ini untuk menyusun rencana permberontakan.

Cokroaminoto

Percobaan pemberontakan SI Afdeeling B dipersiapkan dan akan dimulai dari Cimare-me Garut pada bulan juli 1919. Pemimpin percobaan pemberontakan ini adalah H. Hasan, H. Adrai, dan H. Soeleiman.  Puncaknya, pada 7 Juli 1919, H. Hasan, H. Gojali dan keluarganya yang membangkang untuk memberikan hasil taninya, gugur dibunuh tentara kolonial di Cimareme, Leles Garut. Bala bantuan SI Afdeeling B  yang telah dimobilisasi oleh H. Ismail, dari Tasikmalaya, Ciamis, dan Bandung, terlambat mendatangkan bantuan ke Cimareme karena gerakan ini tercium pemerintah kolonial.

Upaya pemberontakan mengalami kegagalan. Peristiwa ini telah menyeret seluruh tokoh SI Afdeeling B berikut H.O.S Tjokro Aminoto dan Sosrokardono, presiden dan sekretaris CSI diseret ke Pengadilan Hindia Belanda.

Gerakan Pemberontakan SI afdeeling B adalah peristiwa penting yang mengundang perhatian semua pihak di Hindia maupun negeri Belanda. Penasihat Urusan Pribumi, GAJ Hazeu, dipaksa mengundurkan diri gara-gara kejadian ini. Peristiwa ini mengejutkan orang Eropa pendukung politik etis. Peristiwa ini juga telah memunculkan keraguan kalangan Eropa akan kemapuan mereka untuk mengawal peralihan bangsa pribumi menuju kehidupan modern secara damai.

Media Belanda memberikan perhatian khusus dan memantau perkembangan kasus SI Afdeeling B Tasikmalaya ini dari tahun 1919 akhir sampai tahun 1922. Berita perkembangan kasus pemberontakan tokoh SI Afdeeling B Tasikmalaya menjadi head line selama dua tahun dalam koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië; Soematra Post, De Indische courant; Bataviaasch nieuwsblad; Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad;De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad; dan koran lainnya.

Peristiwa  pemberontakan SI Afdeeling B membawa dampak pada tumbuhnya gagasan revolusioner. Tujuh tahun berikutnya, Sarekat Rakjat mangadakan aksi percobaan revolusi dan penggulingan kekuasaan kolonial yangtelah bercokol menguasai rakyat.

Pada tahun 1920-an, gerakan SI dianggap sebagai gerakan berbahaya. Pemerintah kolonial aktif melakukan penumpasan dan pelemahan gerakan SI. Tokoh-tokoh SI Tasikmalaya dan Priangan, yang sebagian besar adalah kiayi dan guru ngaji, diseret ke pengadilan kolonial. Sebagian besar dari mereka diasingkan di daerah-daerah pembuangan. [ ]

Back to top button