“Kesuksesan Iran menunjukkan bahwa mendirikan negara Islam bukan hanya mimpi. Revolusi itu menegaskan bahwa melawan hegemoni barat itu adalah sesuatu yang mungkin dan wajar,” tulis Ozalp.
JAKARTA— Diam-diam, laiknya pencuri yang takut terendus polisi, pada pagi hari 16 Januari 1979 itu Shah Iran, Reza Pahlavi, bersama istri, Ratu Farah, pergi meninggalkan istana mereka yang mewah di jantung Kota Teheran. Di bandara telah menunggu sebuah jumbo jet yang akan menerbangkan keduanya ke Aswan, Mesir, lari dari negara yang terus bergolak.
“Tiga anak mereka sudah diterbangkan lebih dulu ke Amerika Serikat,” tulis media Inggris, BBC, tentang peristiwa pelarian itu.
Pelarian itu menandai berakhirnya 2.500 tahun monarki Iran. Reza Pahlavi sendiri harus puas ‘hanya’ 37 tahun menjadi raja, sejak 16 September 1941. Dia tahu, sesegera kakinya meninggalkan istana, saat itu pula Iran akan berganti penguasa. Sekelompok mullah yang dipimpin Ayatullah Ruhullah Khomeini, dipastikan akan menggantikan dirinya sebagai penguasa. Tidak semutlak dirinya yang raja, tentu, karena sejak awal kaum mullah itu sudah bicara tentang republik dan otoritas rakyat selain otoritas keulamaan yang disebut wilayatul fakih.
Kesedihan yang merundung keluarga Pahlavi dalam pelarian justru kegembiraan yang memuncak di sisi rakyat. Bagaimana pun tirani yang merundung Iran sejak Revolusi Putih dan pembaratan di era 1960-an, tumbang. Apalagi Reza Pahlevi pun tak segan menindas rakyat dengan polisi rahasianya yang kejam, Savak. Puncaknya, pada September 1978, Savak dan aparat keamanan Kerajaan Iran membantai ribuan demonstran yang menuntut pemulihan ekonomi. Sejak itulah Shah resmi dibenci.
Kegembiraan rakyat memuncak tatkala Ayatullah Khomeini, tokoh perlawanan terhadap Shah, pulang dari pengasingan terakhirnya di Paris. Sebelumnya, Khomeini diasing ke Irak, lalu berpindah-pindah seiring tekanan Shah terhadap pemerintah setempat. Ervand Abrahamian menulis dalam History of Modern Iran bahwa pada 1 Februari 1979 itu Khomeini yang tertatih turun dari tangga pesawat, disambut jutaan warga Iran yang meneriakkan namanya. Di dalam rombongannya tercatat keikutsertaan seorang jurnalis Indonesia, Nasir Tamara.
“Khomeini, ya Imam, kami hormat padamu! Semoga damai selalu menyertaimu!” teriak massa, menyerukan nama Khomeini yang membalas dengan lambaian tangan. Saat seorang wartawan bertanya kepadanya, apa yang ia rasakan di tengah gemuruh sambutan mass aitu, Khomeini menjawab tenang,” Tak ada.”
Segera setelah itu berdirilah Dewan Revolusi. Sang pemimpin, Khomeini, menunjuk Mehdi Bazargan, menteri perminyakan pada era pemerintahan Mossadeq, untuk menduduki kursi perdana menteri. Namun sebagaimana sebuah revolusi, masa-masa vakum kekuasaan wajar menimbulkan kebingungan dan was-was. Apalagi kaum kiri, yang sebelumnya beraliansi dengan gerakan ulama pun mulai gencar menyerang Khomeini. Mereka tak setuju model pemerintahan Republik Islam yang ditawarkan Khomeini.
Di sisi lain, Perdana Menteri Bazargan pun terlihat tidak sepenuhnya sreg dengan model republik Islam serta model konstitusi yang tengah dirancang. Ia kemudian bermain politik dengan seolah berada di tengah, mengakomodasi gerakan ulama di satu sisi dan kepentingan kalangan sekuler di sisi lain. Pada saat menjelang referendum, Bazargan segera menyerukan ‘Republik Demokratik’, bukan ‘Republik Islam’ sebagaimana dicita-citakan Khomeini. Sejak itu, rakyat tahu pasti bahwa posisinya berhadapan dengan Sang Imam.
Namun ia kalah ‘awu’ serta pengalaman lapangan dibanding Khomeini. Sang Ayatulah segera meminta rakyat Iran memilih antara ‘Republik Islam’ dengan segala bentuk lain yang ditawarkan. Pilihan rakyat menegaskan posisinya yang kuat: 98,2 persen rakyat Iran menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan ”Apakah monarki harus digantikan sebuah Republik Islam?” Mehdi Bazargan sadar posisinya dan segera meletakkan jabatan.
Shah dan keluarganya praktis mencatatkan masa-masa kelam setelah pelarian mereka. Pahlavi segera menjadi buronan utama pemerintah Iran yang baru. Dalam pelariannya, beberapa negara ia datangi, termasuk Mesir, Kepulauan Bahama, Meksiko, hingga sempat menetap di Amerika Serikat, sebelum meninggal dunia di Mesir pada 27 Juli 1980.
Setelah itu tragedi demi tragedi mewarnai hidup keluarganya. Putrinya, Leila Pahlevi, bunuh diri pada 2001 lalu, di usia 31. Hanya 10 tahun berselang, putra bungsunya, Reza Pahlevi, ditemukan tewas bunuh diri dengan senjata api di Boston, pada kemudian, pada 4 Januari 2011.
Menurut Mehmet Ozalp, direktur The Centre for Islamic Studies and Civilization, Charles Sturt University, Australia, dalam tulisannya di The Conversation, revolusi Iran adalah peristiwa dahsyat yang tidak hanya mengubah Iran sepenuhnya, tetapi juga memiliki konsekuensi luas bagi dunia. Revolusi Iran, menurut Ozalp, telah membangkitkan ‘politik Islam’ di seluruh dunia Muslim. “Kesuksesan Iran menunjukkan bahwa mendirikan negara Islam bukan hanya mimpi. Revolusi itu menegaskan bahwa melawan hegemoni barat itu adalah sesuatu yang mungkin dan wajar,” tulis Ozalp.
Revolusi itu juga membuktikan bahwa dalam perjuangan harus ada kesesuaian dan kerja sama harmonis antara kalangan pemuka agama—yang dalam contoh Iran direpresentasikan Ayatullah Khomeini, dan kalangan intelektual yang di Iran dipimpin Ali Shari’ati.
Dengan bantuan kalangan intelektual itulah, massa bisa disadarkan bahwa Islam dapat diimplementasikan sepenuhnya, sehingga mengakhiri imperialisme Barat yang menindas. Apalagi dari sisi Islam politik, yang diwakili Khomeini,berkibar gagasan bahwa kewajiban umat Islam untuk mendirikan pemerintahan Islam berdasarkan Alquran dan contoh dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagai justifikasi, dalam bukunya ‘Wilayat-i Faqih: Hukumat-i Islami (Islamic Government: Guardianship of the Jurist’, Khomeini menegaskan bahwa dengan tidak adanya imam yang sebenarnya (satu-satunya pemimpin yang sah dari garis keturunan Nabi Muhammad dalam teologi Syiah), para ulama adalah wakil mereka yang ditugasi untuk memenuhi kewajiban berdasarkan pengetahuan mereka tentang kitab suci Islam. Gagasan ini merupakan inovasi penting yang memberi peluang kepada para ulama untuk terlibat dalam politik dan menyebar kuat ke seluruh dunia setelah Revolusi Iran.
Ozalp sukar dinafikan tatkala mengatakan bahwa Revolusi Iran adalah peristiwa dahsyat yang tidak hanya mengubah Iran sepenuhnya, tetapi juga memiliki konsekuensi luas bagi dunia.Revolusi itu mau tak mau menyebabkan perubahan besar dalam Perang Dingin dan geopolitik global. AS tidak hanya kehilangan sekutu strategis kunci terhadap ancaman komunis, tetapi juga mendapatkan musuh baru, Republik Islam Iran.
Didorong perkembangan di Iran, Uni Soviet menyerbu Afghanistan pada 1979. Ini diikuti oleh meletusnya perang Iran-Irak tahun 1980, yang dirancang untuk menjatuhkan rezim teokratis Iran yang baru. AS mendukung Saddam Hussein dengan senjata dan pelatihan, dan membantunya meraih kekuasaan di Irak, sebelum pada dekade berikutnya menjatuhkan anak emasnya itu dari kekuasaan, bahkan menggantungnya.
Revolusi Iran juga secara dramatis mengubah politik Timur Tengah. Ini memicu perang dingin sektarian regional antara Iran dan Arab Saudi. Revolusi tersebut menantang monarki Arab Saudi dan klaimnya dalam kepemimpinan dunia Muslim. Perang dingin agama dan ideologis antara Iran dan Arab Saudi berlanjut hingga hari ini, dengan keterlibatan mereka dalam konflik Suriah dan Yaman.
Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, partai-partai politik Islam muncul di hampir semua negara Muslim, yang bertujuan untuk mengislamkan masyarakat melalui instrumen negara. Mereka menyatakan bahwa model sekuler telah gagal memberikan kemajuan dan kemerdekaan penuh, dan model Islam adalah satu-satunya alternatif. Bagi mereka, revolusi Iran adalah bukti bahwa itu bisa menjadi kenyataan.
Apakah revolusi Islam Iran berhasil? Dari perspektif ketahanan, revolusi tersebut masih bertahan hingga setidaknya empat dekade ini. Bandingkan dengan misalnya, Taliban yang dalam upayanya mendirikan negara Islam, hanya bertahan lima tahun.
Di sisi lain, Khomeini dan para pendukungnya berjanji untuk mengakhiri kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan memberikan kemajuan ekonomi dan sosial. Saat ini, ekonomi Iran dalam kondisi yang buruk, meskipun ada pendapatan dari minyak yang menahan ekonomi dari jurang kehancuran. Orang-orang tidak puas dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan hiperinflasi. Namun blokade dan sanksi ekonomi juga tak boleh dikeluarkan dari kalkulasi.
Kebanyakan masyarakat Iran menyalahkan kegagalan revolusi itu sebagai akibat sanksi AS yang tidak pernah berakhir. Meskipun Iran berdagang dengan Eropa, Cina dan Rusia, mereka percaya bahwa Barat tidak ingin Iran berhasil dan terus menyerimpung dengan segala cara. “Namun saya yakin, ada kemungkinan Iran akan berkembang sebagai masyarakat moderat di abad 21 ini,” tulis Ozalp. [ ]