Veritas

Sungai Helmand Kering, Iran dan Afghanistan di Ambang Perang Air

  • Iran mengeluarkan ultimatum, Afghanistan menghadapi dengan keras.
  • Jika kedua pihak tak menggunakan saluran diplomatik, perang air tak terhindarkan.

JERNIH — Pertengahan Mei lalu Presiden Iran Ebrahim Raisi mengeluarkan peringatan kepada Afghanistan; “Hormati perjanjian pasokan air atau hadapi konsekuensinya.”

Seorang tokoh Taliban merespon ultimatum dengan menyodorkan wadah air 20 liter, seraya menyuruh Ebrahim Raisi berhenti membuat ultimatum menakutkan. Sepekan kemudian, pertempuran meletus di perbatasan. Dua serdadu Iran dan satu Taliban tewas.

Sebagai bangsa doyan perang, Taliban merespon insiden itu dengan mengirim ribuan tentara dan ratusan pembom bunuh diri ke perbatasan Iran. Taliban siap perang lagi melawan tetangga raksasa dengan kemempuan persenjataan jauh lebih hebat.

Taliban tak punya pilihan selain menghadapi ultimatum dengan keras. Cadangan air yang kian menipis akibat pemanasan global membuat wilayah perbatasan Iran-Afghanistan makin tidak stabil.

“Cekungan Sungai Helmand mengering akibat perubahan iklim dan musim kemarah yang parah,” kata Graeme Smith, konsultan senior International Crisis Croup di Afghanistan.

Iran-Afghanistan menandatangani perjanjian air tahun 1973. Isi perjanjian; Afghanistan memasok air dari Sungai Helmand dalam jumlah ditentukan saat iklim normal. Sungai Helmand membentang lebih 1.000 kilometer dari Pegunungan Hindu Kush di Afghanistan dan Iran.

Sungai Helmand menghidupi ratusan ribu hektar pertanian Afghanistan dan Iran, serta menghidupi jutaan orang di kedua sisi perbatasan.

Iran mengatakan Taliban mengurangi pasokan air sejak kembali berkuasa, dan tidak memenuhi kuota seperti tertera dalam perjanjian.

Nasser Kanani, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, mengatakan perjanjian awal telah dibuat dengan pemerintah Taliban atas hak Iran terhadap Sungai Helmand. Namun Kanani tidak merinci penjelasannya.

Saat berkunjung ke Sistan-Baluchistan, propinsi termiskin di Iran, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan; “Perhatikan kata-kata saya dengan serius. Saya memperingatkan pejabat dan penguasa Afghanistan untuk menghormati hak rakyat Sistan-Baluchistan atas air.”

Juru bicara Taliban Zabitullah Mujahid mengatakan komentar Raisi tidak pantas dan merusak hubungan kedua negara. Menlu Amir Khan Muttaqi mengatakan masalah itu hanya terjadi akibat kekeringan, dan Afghanistan menghormati kesepakatan.

Al Arabiya menulis perjanjian air Iran-Afghanistan menyisakan ruang interpretasi, yaitu pada kata ‘disesuaikan’. Kalimat lengkapnya; “Pasokan air harus disesuaikan pada saat kekeringan.”

Menurut Menlu Muttaqi, kedua negara harus terlibat negosiasi diplomatik untuk menyelesaikan masalah apa pun. Namun, Taliban lebih suka mempersiapkan perang.

Taliban mengerahkan ratusan kendaraan militer dan senjata peninggalan AS ke perbatasan Iran. Akibatnya, situasi di perbatasan Iran-Afghanistan memanas.

Omar Samad, rekan senior di think-tank Dewan Atlantik di Washington dan mantan utusan Afghanistan untuk Kanada dan Prancis, mengatakan kedua pihak dapat mengajukan alasan untuk membenarkan posisi mereka.

Sumber Ketegangan Lama

Konflik air Iran-Afghanistan sebetulnya bukan baru, tapi telah berlangsung beberapa dekade. Iran kerap mengatakan tidak menerima cukup air. Situasi memburuk setelah Taliban kembali berkuasa, dan kekeringan di wilayah itu seolah tak pernah usai.

Fatemeh Aman, pakar Timur Tengah yang berbasis di Washington, mengatakan sulit menganalisis klaim kedua pihak karena tidak ada data pasokan air. Di sisi lain, Iran hanya bisa menyalahkan dirinya.

“Otoritas Iran memiliki waktu 40 tahun untuk berinvestasi dalam pengelolaan air atau mempersiapkan kawasan untuk menghadapi bencana,” katanya. “Mereka gagal.”

Anggota parlemen Iran, Juni lalu, mengatakan situasi di Sistan-Baluchistan sangat mengerikan dan bencana kemanusiaan akan terjadi jika orang tidak mendapatkan akses ke air. Lebih 10 ribu keluarga meninggalkan kota di propinsi itu.

Tidak hanya di Sistan-Baluchistan, Iran menghadapi krisis air menyeluruh dengan lebih 300 kota kecil dan besar terkena dampaknya. Seorang akademisi memperkirakan 20 juta orang meninggalkan desa menuju kota karena tanah terlalu kering untuk pertanian.

Beberapa dari tiga juta warga Afghanistan yang melarikan diri ke Iran untuk menghindari perang saudara selama puluhan tahun juga terkena dampaknya.

Berbeda dengan Iran, Afghanistan tidak asing dengan kekeringan. Tahun 2022, misalnya jumlah rumah tangga yang terdampak kekeringan meningkat enam kali lipat dibanding tahun 2020.

Taliban juga menciptakan gesekan dengan tetangga lainnya, dengan membangun saluran irigasi besar untuk mengalirkan air dari cekungan Sungai Amu Darya. Akibatnya, air tidak mengalir ke Uzbekistan dan negara-negara Asia Tengah.

Uzbekistan menyuarakan keprihatinan, tapi berjanji tidak menghalangi proyek itu. Tindakan Afghanistan dan sikap Uzbekistan dipastikan akan menjadi masalah serius di masa depan.

Back to top button