Veritas

Surat 7 Januari 1566, Ketika Kesultanan Aceh Tunduk Kepada Turki Usmani

Di awal tahun 2020, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berencana melakukan kunjungan ke Indonesia untuk merayakan 70 tahun hubungan diplomatik yang telah terjalin harmonis. Namun jauh sebelum dua negara tersebut menjadi Republik, hubungan nusantara dengan Kesultanan Turki Usmani  telah terjalin dengan baik di abad 16 Masehi.

Kesultanan Aceh adalah kerajaan yang pertama kali berhubungan dengan pemerintahan Turki Usmani. Kala itu yang berkuasa di Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang dikenal sebagai peletak dasar kebesaran Aceh. Ia naik takhta tahun 1537 sampai 1568 M, menggantikan Sultan Salahudin.

Di bawah kekuasaannya, Kesultanan Aceh berkembang pesat menjadi Bandar utama di Asia, terutama bagi pedagang muslim mancanegara. Hal tersebut disebabkan  Portugis telah menguasai Malaka tahun  1511 M sehingga pedagang muslim enggan mengunjungi Malak. Maka jalur jalan perdaganganpun berubah. Saudagar-saudagar Muslim yang berdagang di Malaka berganti ke Aceh. Jalan dagang yang sebelumnya dari Laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata kemudian ke Malaka, pindah jalur melewati Selat Sunda kemudian menyusur pantai Barat Sumatera terus ke Aceh.

Dalam menghadapi tentara Portugis yang dianggap sewenang-wenang terhadap umat Islam di Malaka, Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar menjalin kembali hubungan persahabatan  dengan Kesultanan Usmani Turki dengan mengirim surat kepada Sultan Sulaiman Al-Qanuni, penguasa Turki tahun 1494-1566 M yang dikenal  cakap.  

Permintaan bantuan tersebut dilayangkan dalam sepucuk surat bertanggal 7 Januari 1566 Masehi. Isinya menerangkan bahwa Sultan Aceh meminta bantuan agar Sultan Turki mengirimkan angkatan laut dengan kelengkapan senjata dan meriam ke Aceh. Dengan bantuan tersebut Sultan Aceh berjanji Portugis dapat dihancurkan. Sultan Aceh juga meminta tolong untuk dikirimkan beberapa baschilikcha (meriam raksasa buatan Orban) yang dapat menghancurkan benteng.

Selain itu, Sultan Aceh juga meminta agar Gubernur Jendral Mesir dan Yaman mengizinkan utusan Aceh memasuki wilayah pemerintahan Turki. Karena dulu, saat Karamanoglu menjabat Gubernur Gujarat telah membantu Aceh dengan mengirimkan duta Turki bernama Luthfi Bey dan pengikutnya ke Aceh bersama para pembuat meriam dan kuda yang dikirimkan Turki. Maka Sultan Aceh memohon dikirmkan kembali beberapa pembuat benteng dan kapal yang berbakat,

Persekutuan Aceh dengan Turki Utsmani sebenarnya  sudah berlangsung sejak tahun 1530-an. Menurut Fernão Mendes Pinto, Sultan Aceh merekrut 300 prajurit Utsmaniyah, beberapa orang Abesinia dan Gujarat, serta 200 saudagar Malabar untuk menaklukkan Tano Batak pada tahun 1539.

Kedatangan Lutfi Bey ke Aceh menjadi penting bagi dua kesultanan tersebut. Seperti disebutkan diatas, Lutfi Bey sebelumnya pernah berkunjung ke Aceh membawa bantuan atas permohonan Sultan Alauddin Riayat Syah. Ia melaporkan keadaan Aceh kepada Sultan Turki. Dalam laporannya Aceh disebutkan sebagai tempat yang strategis, baik sebagai pusat perdagangan maupun menjadi benteng terdepan dalam menghadapi misi Kristen yang dibawa Portugis ke di Nusantara. Maka Sultan Turki kemudian mengirimkan bantuannya sehingga Aceh saat itu dapat membangun angkatan perangnya dengan baik.

Surat tanggal 7 Januari merupakan surat kedua yang diajukan Sultan Aceh dan dibawa oleh duta Aceh, bernama Husein, yang memiliki nama lain Batete. Selain menyatakan memohon bantuan, Sultan Aceh juga antusias untuk menjadi bawahan Kesultanan Ottoman. Namun surat tersebut tidak sampai ke tangan Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang saat itu telah wafat saat berperang di Szigetvar Hungaria.

Dikisahkan utusan Sultan Aceh saat pergi ke Turki mengantaran surat membawa lada sebagai oleh-oleh untuk Sultan Sulaiman, namun karena Sultan tidak ada, maka utusan dari Aceh mesti menunggu lama. Untuk membiayai hidup selama di tanah rantau, mereka akhirnya menjual lada tersebut sampai akhirnya tinggal secupak.

Surat Sultan Aceh baru dibalas pada 20 September 1567 oleh Sultan Selim II, pengganti Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang berjanji akan memenuhi permintaan Sultan Alauddin Riayat Syah. Ia segera mengirimkan armada lengkap sebanyak 15 kapal layar. Namun  armadanya ternyata tidak pernah mencapai Aceh karena dialihkan tujuannya untuk memadamkan pemberontakan di Yaman.

Walau demikian, bantuan itu datang jua. 2 kapal dari Kesultanan Turi akhirnya berlabuh di Aceh antara tahun 1566–1567. Setelah itu sejumlah armada lain menyusul ke Aceh dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Reis. Sultan Salim Khan juga mengirim 40 orang ahli artileri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda Kesultanan Aceh, termasuk mengajari membuat dan memperoduksi meriam ukuran sedang, senapan putar bergagang dan arquebus (Senapan kopak). Untuk membalas bantuan tersebut, Kesultanan Aceh membayarnya dengan mutiara, berlian, dan rubi. 

Pada tahun 1568,  Armada Aceh beserta tentara bayaran Utsmaniyah berkekuatan 15.000 orang menyerang Malaka. Namun Kapten Dom Leonis Pereira berhasil mempertahankan kota Malaka  atas dukungan Kesultanan Johor. (Pd)

Back to top button