Politeia

Ungkap Kejahatan ITE, Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan

JAKARTA – Penegakan terhadap pelanggaran Undang-undang nomor 11 tahun 2008, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ternyata tak semudah membalikkan telapan tangan.

Untuk memperoleh data para pelaku kejahatan seperti pada penanganan konten-konten negatif, semisal ujaran kebencian, hoaks, hingga pencemaran nama baik sangatlah sulit.

“Kita harus memohon ke Facebook untuk meminta data,” ujar Kasubdit III Dittipidsiber Bareskrim Polri, Kombes Pol Kurniadi di Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Kesulitan itu, lantaran keterbatasan kewenangan penyidik terhadap platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan sejenisnya. Data-data pengguna itu diperlukan agar polisi bisa menindak tersangka pelanggaran UU ITE.

“Di atas 50 persen kita banyak yang tidak dikasih. Di bawah 50 persen persen itu dikasih kalau kita beri alasan secara spesifik bahwa itu adalah kejahatan,” jelasnya.

Kasus kejahatan ITE, menurut Kurniadi banyak terjadi pada Pemilu Serentak 2019. “Kita kemarin menghadapi pemilu, banyak berita hoaks, ujaran kebencian, segala macam. Data registrasi pemilik akun itu tidak terungkap kalau kita tidak dikasih data oleh pemilik platform,” katanya.

Oleh karenanya, dalam mengungkap kejahatan tersebut, ke depan pihaknya bakal melakukan pendekan personal untuk memudahkan permintaan data. Semisal kepada Facebook yang di Indonesia, begitupun platform media sosial lainnya.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat adanya peningkatan penyebaran berita bohong jelang Pilpres 2019. Ada sekitar 400 hoaks beredar Maret.

Back to top button