POTPOURRI

19 Mei 1866, Perlawanan Petani Ciomas Terhadap Tuan Tanah dan Begundalnya

Tahun 1886 di sebelah utara lereng Gunung Salak terdapat tanah partikelir yang dijual Gubernur Jendral Daendels kepada orang-orang swasta Belanda dan pribumi kaya.  Tanah tersebut luasnya 9000 bau dan ditempati penduduk yang jumlahnya mencapai 15.000 jiwa .  

Nina Lubis dkk dalam Sejarah Tatar Sunda menjelaskan bahwa para penggarap tanah partikelir umumnya hidup menderita, tenaganya dieksploitasi oleh tuan tanah, para pengawas dan mesti memenuhi pajak atau cuke yang tinggi.  Oleh karena itu di wilayah tanah partikelir kerap terjadi kerusuhan.

Para petani di Ciomas telah lama menaruh kebencian kepada para tuan tanah dan begundalnya, terutama petugas pajak.  Beberapa masalah sosial ekonomi yang menekan kehidupan para petani akhirnya kelak memicu pada gerakan perlawanan.

Diantara masalah-masalah tersebut yaitu penentuan waktu panen dan penjaga pengawas panen dilakukan oleh tuan tanah. Karena penjaga-penjaga itu tidak ada yang mengawasi, mereka sering curang. Sedangkan di beberapa tanah partikelir di daerah lain, petani  penggarap diberikan keleluasaan untuk menentukan panen.  

Masalah lainnya yaitu ketika panen orang-orang luar Ciomas bisa ikut memanen padi di Ciomas. Hal tersebut mengakibatkan sebagian hasil panen diangkut oleh orang luar Ciomas sehingga petani Ciomas berkurang pendapatannya

Persoalan itu ditambah lagi dengan keharusan mengangkut hasil panen ke lumbung milik tuan tanah yang jaraknya 10 sampai 12 paal (15-18 km).  Kondisi tersebut diperparah dengan adanya sistem perbudakan dan kerja paksa di Ciomas.

Para petani Ciomas juga diharuskan menyerahkan barang tertentu seperti dua butir kelapa dari setiap pohon dan yang dihasilkan pohon enau termasuk hasil panen kopi dari 250 pohon yang diwajibkan ditanan.

Selain itu petani juga dilarang mengekspor kerbau, padi dan hasil bumi lainnya. Jika petani tidak mampu mebayar hutang maka kekayaannya seperti tanah, kerbau dan rumah akan disita. Demikian pula pengawasan hal sepele seperti rumput, kayu, dipantau oleh tuan tanah.

Wanita dan anak-anak petani Ciomas diwajibkan bekerja selama sembilan hari dalam setiap bulan.  Akibat dari berbagai tekanan itu maka penduduk Ciomas banyak yang angkat kaki. Jumlah yang pindah nmencapai 2000 orang

Perasaan tidak puas para petani Ciomas kepada para tuan tanah lambat laun memicu perlawanan dengan kekerasanyang dilakukan secara terbuka.  Tercatat dua tokoh petani Ciomas yang menggerakan perlawanan terhadap tuan tanah dan antek-anteknya, yaitu Mohammad Idris dan Arpan.

Tanggal 22 Februari 1886 terjadi perlawanan petani yang di pimpin oleh Arpan yang membunuh Camat Ciomas bernama Haji Abdurahim.  Kelompok Arpan kemudian  mundur ke Pasir Paok dan menolak menyerah kepada tentara kolonial. Tidak dikatahui kisah selanjutnya dari gerakan Arpan ini.

Mohammad Idris termasuk tokoh penentang tuan tanah. Ia kelahiran Ciomas yang mengundurkan diri ke Gunung Salak.  Karena Idris sangat membenci tuan tanah dan kaki tangannya maka banyak petani yang menggabungkan diri.  Dalam sebuah pertemuan, Idris dan kelompoknya merencanakan untuk menyerang tuan tanah di Ciomas.

Pada Rabu malam, Tanggal 19 Mei 1886 Idris dan kelompoknyabergerak dan berhasil menduduki Ciomas bagian selatan. Selama menduduki Ciomas, kelompok Idris tidak melakukan perampokan terhadap gudang-gudang di Sukamantri, Gadog dan Warungloa. Gerakan mereka estu ditujukan untuk tuan tanah.

Tanggal 20 Mei 1886, kelompok Idris mengadakan upacara sedekah bumi sebagai tradisi yang biasa berlangsung tiap tahun. hajat tersebut dimeriahkan oleh musik, tarian dan lainnya. Di Acara tersebut hadir pula para pegawai tuan tanah.

Menejelang penutupan acara, para pengikut Mohammad Idris yang dendam dan tidak dapat menahan kebencian melihat antek-antek tuan tanah tiba-tiba melampiaskan kemarahannya dengan menyerang mereka secara membabi buta.

Kekacauan berdarah itu menyebabkan 40 orang mati terbunuh dan 70 orang menderita luka-luka.  Tuan tanah dan keluarganya selamat dari amuk masa tersebut karena mereka tidak hadir dalam acara.

Penguasaan tanah-tanah partikelir yang dijual ke pihak swasta Belanda di era Daendels  membuat para tuan tanah layaknya raja kecil yang bisa berbuat semaunya. Luas tanah partikelir di Batavia dan di Jawa Barat mencapai 1.150.000 hektar.

Munculnya hak pertuanan di tanah-tanah partikeir lambat laun disadari oleh pemerintah  Belanda, karena seolah-olah ada negara didalam negara. Maka tahun 1855 Belanda mengeluarkan Regering reglement (S. 1855-2) yang isinya pelarangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual tanah-tanah yang luas kepada perseorangan.

Back to top button