Veritas

Kedatangan ‘Wuhan’ yang Mengingatkan Kenangan SARS

Veritas-2

‘Dari mana datangnya virus, dari Cina ke seluruh dunia’. Dari Cina-lah virus SARS, virus H5N1 dan saat ini ‘virus Wuhan’, berasal.

JAKARTA—Kedatangan ‘virus Wuhan’ otomatis membawa benak kita kembali ke 17 tahun lalu. Saat itu dengan segera dunia dilanda kegemparan yang sama, manakala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya  pada 15 Maret 2003 memutuskan bahwa penyakit yang kemudian disebut Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) itu sebagai ancaman kesehatan dunia.

Senyampang itu, meski terkesan terlambat karena wabah sudah menjalar dengan cepat ke seluruh dunia seiring kian mudahnya penerbangan, WHO mengeluarkan peringatan global soal perjalanan antarnegara. Lembaga itu pun untuk pertama kalinya memberikan pedoman berupa definisi, gejala, dugaan, dan kemungkinan lain seiring merebaknya kasus SARS kepada publik.

Sejatinya, WHO—terutama ‘cabang’ Beijing, memang ketinggalan kereta manakala sang virus justru menggunakan transportasi udara. Lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa itu baru sadar ada kejadian luar biasa di masyarakat pada 10 Februari 2003. Saat itu tak hanya lembar-lembar faksimili dari mesin yang mulai jarang berfungsi itu terus-menerus memuntahkan kertas kiriman berita. Surat-surat elektronik alias email pun menyerbu WHO Beijing. Belum lagi pesawat telepon yang nyaris tak henti berdering. Isinya seragam, ratusan pertanyaan serupa yang memberikan gambaran kepanikan luar biasa: sebuah penyakit menular misterius tengah merajalela dan membunuh seratusan orang di Guangdong cuma dalam sepekan saja!

“Orang-orang menyerbu toko obat dan apotik, memborong obat-obat tertentu yang mereka pikir bisa melawan penyakit baru itu,” demikian tertulis dalam catatan WHO.

Padahal, tiga bulan sebelumnya sang virus mulai mumbul ke kehidupan manusia, siap memakan mangsanya. Pada 16 November 2002, di rumah sakit Kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina, seorang pasien yang menderita gangguan pernafasan, gagal diobati. Tak hanya itu, petugas medis bahkan gagal mendiagnosis penyakit yang ia derita. Mereka sempat menduga semua itu hanya influensa, atau variannya. Bukan, ternyata. Tak hanya obat-obat influensa gagal mengobati, virus yang ditemukan pun ternyata sama sekali bukanlah virus influensa.

Hanya dalam tiga bulan, dua hari setelah WHO Beijing menerima serbuan banjir email dan telepon, sudah ada 305 kasus pernapasan akut yang tercatat di Guangdong. Namun dengan alasan klasik khas negara totaliter, yakni menghindari sorotan dunia demi ‘menjaga harkat negara’, pemerintah Cina memilih menutup rapat-rapat terjadinya epidemi itu dari publik. Satu hal yang juga terjadi saat kedatangan sang ‘Wuhan’ kali ini. Selama tiga bulan itu pemerintah Cina berusaha menangani sendiri epidemi yang kian meluas lebar itu. Mereka melakukan berbagai uji laboratorium untuk mengetahui pasti apa sumber penyakit yang meresahkan tersebut.

Pada 14 Februari 2003 pemerintah Cina menyerah dan baru mau membuka informasi adanya serangan wabah tersebut kepada WHO. Tetapi dasar julid, kebohongan masih saja terus mereka lakukan. Pemerintah Cina mengklaim bahwa wabah yang ada telah ‘aman terkendali’,  plus mengurangi data data pasien yang terinfeksi virus.

Kebenaran–sebagaimana diyakini banyak peradaban, kemudian menyatakan dirinya. Epidemi gangguan akut pernafasan itu segera bermunculan di berbagai belahan dunia. Seorang dokter yang bekerja di Sun Yat-sen Memorial Hospital, Guangzhou, Liu Jian Lun—saat itu berusia 64 tahun, tak sadar dirinya ditumpangi virus SARS yang mematikan itu. Sang virus, tanpa harus meminta visa atau daftar ke bagian imigrasi, segera masuk Hong Kong, ikut berjalan-jalan bersama Jian Lun. Ia pun menemani sang dokter yang merawat Zhou Zoufeng, pasien kasus SARS di Guangdong, tidur di lantai 9 Hotel Metropole, Hong Kong.

Hotel Metropole kemudian menjadi pusat ‘distribusi’ virus SARS ke seluruh dunia. Belasan tamu hotel yang sempat berinteraksi dengan dr Jian Lun segera tertular. Saat pulang ke negara masing-masing, otomatis mereka menjadi agen penyebar SARS.  

Peta epidemi pun segera meluas ke seluruh penjuru dunia. Ke Hanoi, Vietnam, virus datang lewat kepulangan Jonny Chen, seorang tamu Hotel Metropole. Sesegera sampai Hanoi, ia menularkan virus itu kepada 61 pekerja medis di Rumah Sakit Hanoi. Ke kanada, perjalanan virus dilakukan dengan nebeng kepada seorang turis wanita dari Toronto. Virus yang datang ke Singapura bahkan mungkin lebih banyak, mengingat ada tiga orang turis Singapura yang baru pulang menginap dari Hotel Metropole.

Indonesia kebagian virus itu pada Mei 2003, melalui seorang WNI yang bepergian dan pulang dari Singapura.

Dr Jian Lun sendiri kemudian sadar tertular manakala ia jatuh sakit dan mengalami gangguan pernafasan. Begitu pula saudara ipar yang mengundangnya ke Hong Kong. Keduanya kemudian dirawat di Rumah Sakit Kwong Wah. Hanya tiga hari saudara ipar Jian Lun terbaring di rumah sakit sebelum diperbolehkan pulang. Sementara, setelah mendapatkan perawatan selama dua pekan, dr Jian Lun tak tertolong. Ia meninggal.

“Dr Jian Lun sempat memperingatkan staf medis rumah sakit yang merawatnya, ada kemungkinan ia mengidap penyakit ganas,”tulis laporan WHO.

Kini, seiring datangnya ‘Wuhan’, wajar bila dunia kembali gempar. Namun kita berharap, semoga kali ini pemerintah Cina telah belajar banyak dari kasus SARS. Yakni bahwa transparansi, dalam kondisi apa pun, lebih baik dibanding menutup-nutupi bukti.

Soalnya, dengan ketertutupan mereka pada saat SARS merajalela 17 tahun lalu, sekian banyak kematian tak bisa dielakkan. Catatan berbagai lembaga atas kasus itu menegaskan, hingga Juni 2003 setidaknya terjadi 8.069 kasus SARS muncul, dengan korban meninggal 775 orang.

Hari ini di Jenewa, Swiss, WHO menggelar panel ahli. Semoga mereka menemukan bukti nyata bahwa kedatangan virus corona dalam bentuk ‘Si Wuhan’ itu bukan termasuk kategori darurat kesehatan global. [ ]

Back to top button