SolilokuiVeritas

Geopolitik Ala Pasar Loak

Doktrin Trump sangat sederhana: jika suatu kebijakan luar negeri tidak menguntungkan secara langsung bagi Amerika Serikat —lebih spesifik lagi, bagi kepentingan bisnis dan citra Trump— maka kebijakan itu layak dibuang. Ini menjelaskan mengapa ia memandang konflik seperti seorang makelar properti: Gaza bisa jadi lahan investasi, Ukraina bisa dijadikan tambang mineral, dan NATO? Yah, kalau Eropa ingin perlindungan, mungkin bisa dicoba sistem berlangganan premium.

Catatan Cak AT

JERNIH– Ada satu hal yang selalu menghibur dari Donald Trump: ia bisa membuat realitas internasional tampak seperti acara TV realitas. Dengan kepercayaan diri seorang sales yang yakin bisa menjual pasir di gurun, ia menciptakan doktrin politik yang, meski terdengar serampangan, ternyata memiliki pola yang cukup jelas.

Nesrine Malik, kolumnis The Guardian, pernah menulis bahwa dulu para analis sibuk bertanya-tanya apakah Trump itu serius atau hanya asal bicara. Kini jawabannya sudah jelas: ia serius, dan ia juga asal bicara. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kebijakan luar negerinya memiliki pola yang konsisten.

“Doktrin Trump” bukanlah sekadar gaya kepemimpinan yang kacau dan impulsif. Menurut Malik, ini adalah pendekatan kebijakan luar negeri yang memiliki pola terstruktur dan dapat dirangkum dalam suatu “teori konflik yang terpadu.”

Dalam konteks ini, unified theory of conflict menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Trump bukanlah kumpulan keputusan acak, melainkan memiliki logika internal yang jelas. Pola ini mencakup tiga karakteristik utama: transaksionalisme, finansialisasi, dan penolakan terhadap soft power.

Dalam transaksionalisme, Trump memandang hubungan internasional sebagai transaksi bisnis, bukan aliansi strategis berbasis nilai-nilai bersama. Jika tidak ada keuntungan langsung bagi AS, keterlibatan tidak diperlukan.

Dari situ, kita sampai ke finansialisasi: konflik dan kebijakan luar negeri diukur berdasarkan nilai ekonomi yang bisa diperoleh. Bantuan luar negeri dan intervensi militer harus memberikan “ROI” (return on investment) yang jelas bagi AS.

Pola ini adalah cetak biru pragmatisme transaksional yang membuang ilusi moralitas global dan menggantinya dengan logika ala pasar loak atau pasar burung.

Doktrin Trump sangat sederhana: jika suatu kebijakan luar negeri tidak menguntungkan secara langsung bagi Amerika Serikat —lebih spesifik lagi, bagi kepentingan bisnis dan citra Trump— maka kebijakan itu layak dibuang.

Ini menjelaskan mengapa ia memandang konflik seperti seorang makelar properti: Gaza bisa jadi lahan investasi, Ukraina bisa dijadikan tambang mineral, dan NATO? Yah, kalau Eropa ingin perlindungan, mungkin bisa dicoba sistem berlangganan premium.

Ini pendekatan yang benar-benar baru —bukan karena orisinalitasnya, tetapi karena keberaniannya dalam membuang segala kepura-puraan. Jika presiden-presiden sebelumnya masih berpura-pura peduli dengan demokrasi dan hak asasi manusia, Trump justru bertanya, “Berapa untungnya buat kita?”

Dengan kata lain, Trump melihat dunia sebagai pasar bebas tempat semua negara bersaing untuk mendapatkan keuntungan maksimal, dan kebijakan luar negerinya beroperasi seperti seorang investor agresif yang hanya mau berbisnis jika ada imbal balik yang signifikan.

Terakhir, Trump menegaskan penolakannya terhadap soft power. Diplomasi berbasis pengaruh budaya dan moral dianggap tidak berguna. Keputusan diambil berdasarkan kekuatan nyata dan hasil konkret, bukan norma-norma global atau citra AS di dunia.

Salah satu pilar kebijakan luar negeri AS selama ini adalah soft power, konsep bahwa pengaruh global tidak hanya berasal dari kekuatan militer, tetapi juga dari budaya, diplomasi, dan bantuan luar negeri.

Namun, dalam dunia Trump, soft power hanyalah angan-angan para elit liberal yang tak tahu cara bernegosiasi. Bagi Trump, jika tidak bisa dikalkulasikan dalam dolar dan sen, maka itu tidak ada gunanya. Dengan logika ini, pendekatan AS terhadap konflik dunia berubah drastis.

Trump tidak melihat perang sebagai pertarungan nilai, tetapi sebagai kesempatan bisnis. Jika tidak ada keuntungan konkret, maka perang sebaiknya dihentikan —dengan atau tanpa kemenangan.

Akibatnya, sekutu-sekutu lama AS kini menghadapi kenyataan pahit: mereka tidak lagi bisa mengandalkan AS untuk dukungan tanpa syarat. Eropa, yang dulu bisa mengandalkan Washington, kini harus berpikir dua kali sebelum meminta bantuan.

Banyak pemimpin dunia masih berharap bisa “mengakali” Trump, menganggapnya sebagai anomali yang akan berlalu dengan sendirinya. Namun, itu seperti berharap badai akan berubah pikiran dan kembali ke lautan.

Trump bukan hanya seorang individu, tetapi simbol dari perubahan struktural dalam politik global. Dunia yang terbentuk pasca Perang Dunia II, dengan AS sebagai pemimpin moral dan militer, sudah mulai runtuh. Dan Trump hanyalah kontraktor yang membongkarnya dengan palu godam.

Para pemimpin dunia kini hanya punya dua pilihan. Pertama, menyesuaikan diri dengan kenyataan baru, membuang ilusi lama tentang persatuan Barat, dan menerima status sebagai pemain sekunder dalam dunia yang lebih transaksional.

Kedua, membangun kekuatan mereka sendiri, mendefinisikan ulang peran mereka di panggung global, dan menciptakan blok yang cukup kuat untuk menantang dominasi AS yang berubah-ubah. Masalahnya, opsi kedua membutuhkan keberanian politik yang luar biasa —sesuatu yang selama ini lebih banyak ditemukan dalam pidato daripada dalam tindakan nyata.

Pada akhirnya, Trump tidak peduli dengan warisan sejarah atau keseimbangan kekuatan global. Ia melihat dunia seperti seorang pengusaha melihat neraca keuangan: yang untung diteruskan, yang rugi dibuang.

Bagi dunia, ini ujian: apakah mereka bisa beradaptasi dengan aturan baru ini, atau tetap terjebak dalam nostalgia tentang AS yang dulu sambil menunggu pemilu berikutnya?

Satu hal yang pasti: Trump tidak akan menunggu jawaban. []

Cak AT – Ahmadie Thaha, Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 25/2/2025

Back to top button