POTPOURRIVeritas

Cina Betawi dan Tionghoa di Batavia dalam Sastra

Apakah ini bukti, bahwa orang Tionghoa memang sangat “ketat” pada urusan uang, sehingga segala sesuatu harus membawa keuntungan materi dan bukan yang lainnya? Entahlah, namun lihat fakta ini: “The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society”, dicetak atas dukungan Ford Foundation milik Amerika (1996) dan KITLV milik Belanda (2001), “Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java 1890-1942”, dicetak atas dukungan Toyota Foundation milik Jepang (2002). Sama sekali tidak ada kontribusi dan kepedulian mereka terhadap karya Mona Lohanda, begawan sejarawan yang juga seorang Cina Benteng itu.

Oleh : Arif Firdaus Arif

JERNIH– Tokoh sastra Indonesia, Cecep Syamsul Hari, dalam endorsement untuk salah satu buku puisi karya Chairil Gibran Ramadhan dalam seri “Setangkle Puisi Sejarah & Budaya–Betawi, Batavia, Jakarta”, menulis: “CGR selama ini dikenal sebagai sastrawan sekaligus peneliti sejarah dan budaya Betawi dan menjadikannya sebagai tema sentral prosa dan esai. Kali ini ia mengambil bentuk ungkapan sastrawi lain: puisi, yang disandarkan pada ekspresi skematik bahasa Indonesia dan dialek Betawi yang diberi nuansa kesilaman melalui ragam ejaan.”

“Ini patut diapresiasi. Seorang sastrawan memang harus selalu berada dalam pusaran historisitas bangsanya dan historitas tema, sikap, dan nilai estetis yang dipilihnya. Di pusaran historisitas itu, ia diharapkan mampu menjadi konstitusi semesta yang dapat menarik dan menemukan persinggungan dari benang merah kesilaman, kekinian, dan keakanan. Hanya sastrawan yang memiliki keberanian menjadi konstitusi semesta dari suatu historitas yang mampu melakukan pembaruan. CGR sedang memasuki ranah konstitusi semesta itu.”

Jauh sebelum puisinya dari seri “Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta” dibukukan dalam “Passer Gambier” (2018), “Gedong Bitjara” (2019), ”Koningin van het Oosten” (2019), dan “Mesigit” (2024), CGR sudah lebih dahulu melakukan eksplorasi budaya dan sejarah tanah kelahirannya sebagai tema cerpen, ditulis dalam semua ejaan yang pernah ada di Indonesia termasuk ragam dialek dalam bahasa Betawi.

Pada tahun 2025 ini, CGR berencana meluncurkan buku puisinya yang kelima dari seri tersebut: “Tjenté Manis Hoedjan Gerimis.” Menurut David Kwa, Pengamat Budaya Tionghoa-Peranakan dalam Kata Pengantarnya: Inilah buku puisi pertama di Indonesia yang seluruh isinya mengangkat sejarah dan budaya kalangan Tionghoa Peranakan di Indonesia. Tjenté Manis Hoedjan Gerimis ibarat buku sejarah yang mengajak kita mendatangi setiap lekuk Tanah Betawi pada masa Batavia hingga Jakarta, melihatnya dari sudut pengkisahan melalui puisi, dan kenikmatan membacanya menjadi semakin terasa karena didukung adanya tampilan kosa kata, ragam bahasa dan ragam ejaan yang menguatkan nuansa masa lalu itu—yang hanya bisa diperoleh melalui kerja keras dalam riset lapangan, riset pustaka, pengamatan yang mendalam, dan ketidakengganan bertanya kepada nyang ngarti. Kerja-kerja seperti ini, setau saya, memang kedemenan CGR. Dan jika dilihat rentang waktu penulisannya yang melingkupi kurun waktu antara 1996-2016, berarti bahwa puisi esai yang pernah ramai diberitakan dalam dunia sastra Indonesia pada sekitar tiga tahun lalu, ternyata sudah ditulis jau-jau ari oleh CGR, sastrawan Betawi yang juga penggemar sejarah Batavia dan pengamat budaya Betawi kelahiran kampung Pondok Pinang di Jakarta Selatan itu.

Buku ini direncanakan terbit sejak 2017. Namun kendala pendanaan membuat hal tersebut tidak pernah terwujud. Seorang kawan menyarankan rancangan buku seni-budaya-sejarah diajukan kepada lembaga swasta atau tokoh mapan dari bidang seni, budaya, sejarah, politik, bisnis, karena kecil kemungkinan membawa hasil bila diajukan kepada instansi pemerintah. Saran ini tidak pernah ditindak-lanjuti mengingat beberapa pengalaman “buang-buang umur” terkait kalangan yang disangka memiliki nalar budaya dan kedekatan psikologis dengan bahasan setiap buku, nyatanya tidak ada yang menyatakan kesediaan menjadi penyandang dana cetak.

Menurut CGR yang dekat dengan Mona Lohanda, sejarawan, arsiparis, dan pengajar di FIB-UI, terkait sulitnya menemukan pihak yang menjadi pemberi dana hibah pencetakan atau melakukan apresiasi dalam bentuk pembelian buku-bukunya, guru sekaligus sahabatnya itu pernah berkata: “Orang kita pemikirannya memang baru sampai pada urusan perut ke bawah, bukan dada ke kepala. Dari jaman saya muda, ya seperti itu.”

Keberadaan hasil kerja intelektual memang berbeda dengan pemenangan seseorang terkait pemilihan pemimpin Ibukota yang memungkinkan dalam waktu satu jam berkumpulnya kalangan mapan yang memiliki (tentu saja) kepentingan, terhimpun “dana hibah” sebesar tiga miliar rupiah. Sementara pihak pemerintah yang disangka dan diharapkan memiliki kepedulian-kecerdasan, sedikit pun tidak memiliki ketertarikan pada hasil karya intelektual namun sangat mendukung acara panggung hiburan yang menghabiskan dana sangat besar meski tidak meninggalkan apapun kecuali suara bising dan sampah acara. Semua ikhtiar Penerbit Padasan, belaka hanya membuang umur, tenaga, dan biaya.

Buku “Tjenté Manis Hoedjan Gerimis”, akan terbit secara mandiri. Menurut CGR memang sangat sulit berharap kalangan Tionghoa Indonesia dari bidang seni, budaya, sejarah, politik, lembaga pendidikan besar, raksasa bisnis perumahan, hingga bisnis jalan berbayar, memiliki kepedulian pada karya intelektual meski membawa sejarah-budaya moyang mereka di Nusantara, tempat mencari penghidupan setelah meninggalkan tanah leluhur di Tiongkok.

Apakah ini bukti, bahwa orang Tionghoa memang sangat “ketat” pada urusan uang, sehingga segala sesuatu harus membawa keuntungan materi dan bukan yang lainnya? Entahlah, namun lihat fakta ini: “The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society”, dicetak atas dukungan Ford Foundation milik Amerika (1996) dan KITLV milik Belanda (2001), “Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java 1890-1942”, dicetak atas dukungan Toyota Foundation milik Jepang (2002). Sama sekali tidak ada kontribusi dan kepedulian mereka terhadap karya Mona Lohanda, begawan sejarawan yang juga seorang Cina Benteng.

“Tjenté Manis Hoedjan Gerimis” akan disusul buku sandingannya, “Dajoeng Sampan Dibawah Boelan”, berisi ikhwal para tokoh Cina Peranakan dari dunia seni, berikut tradisi Cina Betawi dari masa Batavia. Saya tutup tulisan ini dengan salam khas CGR: “Tabe srenta hormat! []

Back to top button