SolilokuiVeritas

Lagu “Bayar! Bayar! Bayar!” Dalam Praktik Wacana Pierre Bourdieu

Lirik lagu berupaya menggambarkan hegemoni aparat penegak hukum yang memaksa masyarakat untuk tunduk pada sistem korupsi. Masyarakat digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki pilihan selain membayar, bahkan ketika mereka tidak memiliki uang sekali pun yang menunjukkan tentang ketidakberdayaan.

Oleh : Fahmy Lukman*

JERNIH– Sebagai peneliti bahasa dan budaya, saya tertarik mencermati praktik berbahasa yang terdapat pada lirik lagu “Bayar! Bayar! Bayar!” yang dinyanyikan oleh Band Sukatani. Lagu ini viral dan mendapat perhatian luas publik nasional dan internasional melalui media mainstream dan media sosial.

Dalam memahami bagaimana praktik kewacanaan yang terdapat pada lagu tersebut, saya melakukan analisis melalui pendekatan praktik wacana Pierre Bourdieu. Konsep habitus yang diperkenalkan Bourdieu dianggap mampu menjembatani berbagai dikotomi dalam ilmu sosial, seperti antara individu dan masyarakat, struktur dan agen sosial, serta kebebasan dan determinisme.

Pierre Bourdieu (1977) telah menulis “Outline of a Theory of Practice” yang diterbitkan Cambridge University Press. Buku ini memperkenalkan konsep habitus, modal, dan arena (field). Bourdieu menjelaskan tentang praktik sosial yang direproduksi melalui interaksi antara struktur objektif (misalnya, institusi seperti polisi) dan disposisi subjektif (misalnya, kepasrahan masyarakat). Analisis lirik lagu “Bayar! Bayar! Bayar!” yang menggambarkan reproduksi korupsi sebagai praktik sehari-hari dapat dipahami melalui kerangka ini.

Melalui pendekatan analisis yang dikemukakan Pierre Bourdieu yang menekankan pada modal simbolik dan kekuasaan yang terlibat dalam wacana, maka lirik lagu “Bayar! Bayar! Bayar!” sebenarnya menggambarkan beberapa aspek, yaitu:


a) Hubungan kekuasaan dan modal simbolik yang digunakan untuk mempertahankan sistem yang bersifat koruptif. Dalam kaitan dengan praktik modal simbolik polisi, maka dapat dipahami bahwa polisi merupakan representasi aparatur keamanan negara dan memiliki modal simbolik yang besar sekali. Dalam praktik sosial digambarkan pada lirik lagu bahwa polisi menggunakan otoritas mereka (modal simbolik) untuk memeras masyarakat, sebagaimana konsep yang dijelaskan Bourdieu dalam “Language and Symbolic Power” (1991). Namun, dalam lirik lagu ini terungkap bahwa modal simbolik tersebut telah disalahgunakan untuk memeras dan menindas masyarakat. Inilah yang menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk mengeksploitasi, bukan melindungi.


b) Hubungan Hegemoni dan Ketidakberdayaan. Lirik lagu berupaya menggambarkan hegemoni aparat penegak hukum yang memaksa masyarakat untuk tunduk pada sistem korupsi. Masyarakat digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki pilihan selain membayar, bahkan ketika mereka tidak memiliki uang sekali pun yang menunjukkan tentang ketidakberdayaan. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “Aduh aduh ku tak punya uang” yang berulang sebanyak tiga kali. Dalam kaitan inilah maka dapat dipahami bahwa lirik lagu tersebut mengungkapkan tentang telah terjadinya reproduksi ketidakadilan. Lirik lagu menunjukkan bagaimana sistem koruptif direproduksi dan dipertahankan melalui praktik sehari-hari. Setiap aktivitas, dari hal kecil (misalnya, membuat SIM) hingga besar perkara besar perkara kasus korupsi misalnya, memerlukan “pembayaran” kepada polisi. Penggunaan frase “bayar polisi” diulang dalam 15 kali penyebutan, maka hal itu menunjukkan bahwa aparatur keamanan polisi telah dimanfaatkan untuk memeras masyarakat. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan simbolik dapat digunakan untuk mengeksploitasi, bukan melindungi.


c) Hubungan legitimasi kekuasaan. Lirik lagu berupaya mengungkapkan bagaimana kekuasaan polisi dilegitimasi melalui praktik sehari-hari. Misalnya, membuat SIM atau melapor barang hilang seharusnya adalah hak masyarakat, tetapi dalam lirik ini, hal-hal tersebut menjadi alat untuk memeras dalam bentuk uang. Hal ini menunjukkan bagaimana modal simbolik digunakan untuk mempertahankan sistem yang koruptif.
d) Hubungan dengan reproduksi ketidakadilan. Modal simbolik polisi direproduksi melalui praktik korupsi yang terus-menerus. Setiap kali masyarakat membayar polisi untuk mendapatkan layanan atau menghindari hukuman, maka mereka secara tidak langsung telah mengakui dan memperkuat kekuasaan simbolik polisi.


Bourdieu dalam Relasi Kekuasaan dan Dominasi

Bourdieu telah menekankan pada kekuasaan yang terlibat dalam prakti wacana. Kekuasaan tidak hanya bersifat fisik atau ekonomi, tetapi juga simbolik dan kultural. Dalam lirik ini, kekuasaan polisi dan negara digambarkan sebagai kekuasaan yang dominan dan menindas. Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan ini, maka hal tersebut dapat dilihat pada berikut ini, yaitu:

a.Hegemoni Kekuasaan. Lirik lagu menggambarkan hegemoni aparat penegak hukum yang memaksa masyarakat untuk tunduk pada sistem korupsi. Masyarakat digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki pilihan selain membayar, bahkan ketika mereka tidak memiliki uang (“Aduh aduh ku tak punya uang”). Ini adalah contoh bagaimana kekuasaan digunakan untuk mempertahankan status quo.

b.Ketidakberdayaan Masyarakat. Lirik lagu menunjukkan betapa masyarakat terjebak dalam sistem yang koruptif. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau mengubah sistem tersebut. Ini adalah bentuk dominasi yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan simbolik.

c.Kekuasaan sebagai Alat Eksploitasi. Lirik lagu menunjukkan bahwa kekuasaan polisi digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi masyarakat. Misalnya, “Mau korupsi bayar polisi” menunjukkan bahwa korupsi justru membutuhkan dukungan dari aparat penegak hukum. Ini adalah kritik tajam terhadap sistem yang koruptif dan tidak adil.

Dalam kaitan hal di atas, Bourdieu menekankan pula terkait dengan modal simbolik dan kekuasaan saling terkait. Modal simbolik digunakan untuk melegitimasi kekuasaan, sementara kekuasaan digunakan untuk memproduksi dan mereproduksi modal simbolik. Dalam lirik ini, kita dapat melihat bagaimana kedua konsep ini berinteraksi, yaitu:

a.Legitimasi Kekuasaan melalui Modal Simbolik. Kekuasaan polisi dilegitimasi melalui modal simbolik mereka sebagai penegak hukum. Namun, dalam lirik ini, legitimasi tersebut disalahgunakan untuk memeras masyarakat. Ini menunjukkan betapa pentingnya modal simbolik dalam mempertahankan kekuasaan.

b.Reproduksi Kekuasaan melalui Praktik Korupsi. Setiap kali masyarakat membayar polisi, mereka secara tidak langsung memperkuat kekuasaan simbolik polisi. Ini adalah contoh bagaimana kekuasaan direproduksi melalui praktik sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam realitas yang terjadi dalam proses reproduksi sosial, maka korupsi telah menjadi praktik yang direproduksi sehari-hari, sesuai konsep habitus dalam Outline of a Theory of Practice (1977).

c.Kritik terhadap Legitimasi Kekuasaan. Lirik ini adalah kritik terhadap legitimasi kekuasaan polisi. Dengan mengungkapkan praktik korupsi, lirik ini mempertanyakan legitimasi kekuasaan polisi dan negara. Dalam kaitan inilah maka, keberadaan dominasi negara menjadi dipertanyakan. Kritik terhadap polisi sebagai representasi negara yang koruptif dalam pula diperhatikan melalui keselarasan hal itu dengan konsep yang terdapat dalam analisis Bourdieu dalam “On the State: Lectures at the Collège de France”, 1989–1992.

Pada sisi yang lain, melalui pendekatan analisis konsep Bourdieu, maka tampak pada analisis tentang penekanan pada resistensi terhadap kekuasaan. Dalam lirik ini, resistensi terhadap kekuasaan polisi dan negara diungkapkan melalui kritik sosial dan satire, di antaranya:

a.Kritik sosial sebagai bentuk resistensi. Lirik lagu ini adalah bentuk resistensi terhadap sistem yang koruptif. Dengan mengungkapkan ketidakadilan melalui teks, grup band Sukatani telah menggunakan wacana sebagai alat untuk melawan hegemoni kekuasaan yang koruptif.

b.Satire dan ironi sebagai alat kritik. Lirik lagu ini menggunakan satire dan ironi untuk mengkritik sistem, misalnya, “Mau korupsi bayar polisi” adalah kritik tajam terhadap sistem yang koruptif dan tidak adil.

c.Viralitas sebagai bentuk resistensi. Fakta bahwa lagu ini viral menunjukkan bahwa masyarakat merasa terwakili oleh pesan yang disampaikan. Hal ini adalah bentuk resistensi terhadap sistem yang koruptif.

Simpulan

Melalui kacamata pendekatan Pierre Bourdieu, kita dapat melihat bahwa lirik lagu “Bayar! Bayar! Bayar!” yang dinyanyikan grup band Sukatani tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga berperan dalam memproduksi dan mereproduksi struktur kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. Modal simbolik polisi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan mereka, sementara kekuasaan tersebut digunakan untuk mengeksploitasi masyarakat. Lirik ini adalah bentuk resistensi terhadap sistem yang koruptif, sekaligus kritik terhadap legitimasi kekuasaan polisi dan negara. Dengan demikian, analisis ini menunjukkan betapa pentingnya memahami relasi antara modal simbolik, kekuasaan, dan resistensi dalam menganalisis wacana secara kritis.

Dalam kaitan ini pula menjadi penting untuk dikemukakan bahwa berdasarkan objektivitas data, maka data lagu itu tidak menyebutkan secara eksplisit tentang ruang yang merujuk pada tempat atau negara peristiwa itu terjadi dan instansi polisi negara mana yang melakukannya. Hal ini berarti bahwa lagu itu melalui pendekatan analisis Pierre Bourdieu memiliki ruang dan waktu yang sangat terbuka. Artinya, praktik berbagai peristiwa yang disebutkan dalam lirik lagu tersebut berpeluang terjadi pada negara dan instansi polisi di negara manapun. Dalam bahasa yang berkaitan dengan ruang, waktu, konteks sosial, dan ideologi maka diperlukan pendekatan linguistik melalui perangkat critical discourse analysis (CDA) lainnya. [ ]

*Dosen Departemen Linguistik Universitas Padjadjaran dan Ketua Umum Asosiasi Linguistik Hukum Indonesia (ALHI)

Back to top button