Puisi

5 PUISI RIKI UTOMI

CENGKOK MELAYU


: jefri al malay

langit memang tinggi. sesuara itu wahai, melangit.
seteru ombak memecah pantai, bermuara kemana
selain malayu kau bawa pada lagu. wahai seindah
pelangi melengkung itu di dalam lubukmu.

bercengkok melayu. berbunga rekah sampai ke tuju.
lagumu menyentuh. genap apakah selain rekatnya
kata dalam tungku-tungku debarmu.

menjadi ke cengkok melayumu. utuh bersatu
kepada melayu. kepada debar-debar yang selalu
kau bawa itu.

Selatpanjang, 2025


CATATAN REDAKSIONAL

Cengkok yang Bertuah, Melayu yang Menyala

Oleh : IRZI Risfandi

Membaca puisi Cengkok Melayu karya Riki Utomi terasa seperti mendengar irama gambus dipetik di tepian Selat Malaka, sementara ombak dan pelangi saling menyapa dalam denting syair yang lembut tapi penuh kuasa. Puisi ini adalah perayaan etnosentrisme yang elegan—di mana Melayu bukan sekadar identitas etnik, tetapi menjadi medan spiritual, musikal, dan linguistik yang hidup dalam denyut puisinya. Dengan nada centil tapi khidmat, Riki menghidupkan kembali aura melayu lama ke dalam cengkok bahasa yang segar dan modern, bahkan tak segan menginterpolasi pujian khas seniman panggung untuk seorang Jefri Al Malay, penyanyi yang agaknya menjadi pemantik inspirasi utama.

Baris pembuka—“langit memang tinggi. sesuara itu wahai, melangit.”—sudah seperti mantra pembuka untuk opera puisi. Bahasa yang melengkung, metafora yang berulang tapi teratur, menjadi semacam cengkok liris dalam dirinya sendiri. Seolah Riki menari dengan aksen khas Melayu sambil bersajak, ia tahu betul cara mengangkat lokalitas menjadi daya pukau universal. Sebab ia tidak terjebak dalam romantisme eksotis, melainkan menampilkan identitas Melayu sebagai kekuatan estetika yang bisa bersaing dengan segala bentuk puisi urban masa kini. Di sini, “pelangi” bukan cuma simbol keindahan, tapi juga metafor pertemuan rasa, sejarah, dan suara-suara yang berakar kuat.

Tidak ada kata yang mubazir dalam puisi ini, karena semua terasa seperti notasi gamelan atau petikan rebab: “bercengkok melayu. berbunga rekah sampai ke tuju.” Baris ini menyiratkan bahwa melayu bukan cuma soal genre musik atau identitas etnik, melainkan jalan hidup, bahkan mungkin cara mencinta. Puisi ini mengamini bahwa setiap suku memiliki estetika khas, dan bahwa cengkok—sebagai cara mengolah rasa dan bunyi—adalah pusaka yang layak disematkan dalam tubuh puisi modern.

Riki Utomi bukan nama baru dalam jagat literasi Nusantara. Dengan latar belakang yang kaya sebagai penulis cerpen, esai, dan puisi, ia sudah malang melintang dari Kompas hingga Hari Puisi Indonesia. Namun justru dari puisi ini terlihat satu hal penting: ia tahu bagaimana menyisipkan akar lokal ke dalam tubuh global. Puisi Cengkok Melayu tidak hanya merayakan melayu sebagai identitas, tapi juga melayu sebagai vibrasi artistik. Sebuah gaya yang mungkin tak bisa didefinisikan dengan teori Barat—tapi bisa dirasakan lewat irama yang mengendap di dada dan kepala.

Jadi, kalau ada yang bertanya, bagaimana caranya menulis puisi etnik yang kekinian? Maka jawabannya adalah: pelajari Cengkok Melayu ini baik-baik. Dengarkan ritmenya. Resapi simpuh budayanya. Biarkan Melayu tak hanya hidup di syair lama dan pantun tua, tapi juga tumbuh subur dalam puisi yang berani, sadar bentuk, dan penuh cinta akan akar-akarnya. Dan di tangan penyair macam Riki Utomi, puisi itu tak hanya cengkok—tapi juga mantra.


2025


LAUT TANJUNGPINANG

ombak itu seperti hatimu yang lena.
pantai itu seperti matamu yang mulus.
nyiur itu seperti rambutmu yang urai.

kesana akan melunaskan mimpi.
datanglah, langkah apakah selain pasti.
selain gigil rindu untuk dilunaskan.

laut tanjungpinang membiru, seperti
matamu.

Selatpanjang, 2025


MEMELUK SINGKEP

tubuhmu hangat laut sore. buih bertabur pantai putih.
aku menggesa ingatan di sela remuk ini. singkep
masuk ke hati, mengabar debar-debarku yang dulu.

batu berdaun mungkin menjadi lambang cinta bagi
sesiapa di sana. angin laut memelukku. bukan hanya
panjang pantai itu, tapi jejak kakiku masih terbenam
ingatan bahwa kita pernah menyatu di sana.

Selatpanjang, 2025


PULAU PENYENGAT

kenang masih menjadi sejarah di sana.
pada lembar kitab-kitab tua. pada rindu
di tiap aksara. menajam ke ulu hati.
mengabar arti tentang gempita tanah ini.

di kelilingi laut, kokoh berdiri menara
kerucut masjid gagah menjulang langit.
tepian pantai landai menyimpan saksi
tapak-tapak perintis dahulu.

pada tiap debur ombak memecah.
memberi debar diri untuk melangkah.
bahwa sejarah bersebati di puak melayu.
menjunjung marwah dan resam sampai
kapanpun.

Selatpanjang, 2025


LAPANGAN MERDEKA

merambat saja tiba-tiba dalam kepala.
lautan manusia telah siap untuk berjalan
diterik matahari pukul dua. ini rangka
hari jadi bangsa kita. kau mengenakan
baju kurung lengkap dengan sunting
yang paling istimewa. ah, begitu sempurna
dirimu menjadi dara. tanda melayu sejati.
lihatlah di lapangan bersejarah itu, banyak
mata beralih padamu. sebab lentik matamu,
sebab alis matamu, sebab gemulai gerakmu,
sebab langkah kakimu meluluhkan perih
yang tertekan dari sengat matahari pukul
dua. membuat mereka tak lagi bersungut
tentang luka.

Selatpanjang, 2025


BIODATA :


Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei, adalah penulis produktif yang telah menerbitkan sejumlah buku di berbagai genre, di antaranya: Mata Empat (cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (cerpen, 2015), Mata Kaca (cerpen, 2017), Menuju ke Arus Sastra (esai, 2017), Belajar Sastra Itu Asyik (nonfiksi, 2019), Anak-Anak yang Berjalan Miring (cerpen, 2020), Amuk Selat (puisi, 2020), Menjaring Kata Menyelam Makna (esai, 2021), dan Jelatik (novel, 2021).


Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media nasional dan daerah, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, serta puluhan lainnya, baik media cetak maupun daring. Ia juga menerima sejumlah penghargaan, antara lain Acarya Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2015), Pemangku Prestasi Seni (Sastra) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau (2016), serta juara dalam berbagai lomba sastra, termasuk cerpen, puisi, esai, dan cerita anak.


Buku puisinya Amuk Selat masuk dalam 25 Nomine Sayembara Buku Puisi Hari Puisi Indonesia (HPI) 2020. Saat ini ia bermukim dan berkarya di Selatpanjang, Riau.

Check Also
Close
Back to top button