SolilokuiVeritas

Renungan Deden Ridwan: Hasan Mustofa, Sebaris Kebenaran yang Terpotong

Berbeda dengan Kiai Soleh Darat. Memilih jalan hati-hati. Menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab pegon secara literal dan formal. Hasan Mustofa membuka ruang diskursus yang jauh lebih hidup: penuh warna budaya Sunda. Melahirkan tafsir Al-Qur’an bercita-rasa lokal. Ini yang membuatnya disanjung sekaligus dikritik. Badai besar datang ketika, di papan tulis Masjid Agung Bandung, muncul kalimat: Tuhrimu ash-sholaah…”Diharamkan bagimu shalat…”

JERNIH– Saudaraku,

Cerita ini sampai padaku lewat seorang sahabat lama, Yayan Sopyan–guru besar Ilmu Hukum Keluarga Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Suatu siang, dengan mata berkilau oleh antusiasme, ia berkata, “Kang, coba tulis renungan tentang Hasan Mustofa. Sangat menarik.”

Ucapannya terasa sederhana. Tapi, di telingaku, ia terdengar laksana undangan menuju lorong sejarah yang jarang dibuka. Aku pun langsung bilang: sepakat. Tanpa sadar bahwa yang akan kutemui tak hanya kisah seorang penghulu besar di masa kolonial. Melainkan sebaris kebenaran yang pernah terpotong di jalur waktu karena kesalahpahaman. Dari sanalah lahir pelajaran yang menerobos zaman.

Ya, Hasan Mustofa. Penghulu Besar Bandung, 1895–1918. Sebuah posisi strategis di masa kolonial Belanda, yang menempatkannya sebagai penghubung antara umat dan pemerintah kolonial. Bukan sekadar pejabat, tapi penjaga keimanan dalam ruang yang penuh aura ketegangan.

Ia ulama, penyair, dan pemikir. Melawan penjajahan dengan pena dan bahasa, bukan senjata. “Qur’anul Adhimi”, tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Sunda, adalah karyanya yang monumental. Membawa Kalamullah ke dalam bahasa ibu dengan irama dan rasa yang merasuk.

Ketahuilah. Berbeda dengan Kiai Soleh Darat. Memilih jalan hati-hati. Menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab pegon secara literal dan formal. Hasan Mustofa membuka ruang diskursus yang jauh lebih hidup: penuh warna budaya Sunda. Melahirkan tafsir Al-Qur’an bercita-rasa lokal. Ini yang membuatnya disanjung sekaligus dikritik.

Benar. Sebagai pejabat kolonial, dia bukan sosok yang tunduk pasif. Dia berusaha memainkan perannya dengan bijak. Menggunakan kedudukan itu untuk melindungi umat. Membangkitkan kesadaran dalam kancah budaya dan agama.

Namun, keberaniannya membuka tafsir baru dan memakai bahasa lokal mengundang kontroversi di kalangan umat sendiri. Itu terjadi di sekitar awal abad ke-20, saat usianya menginjak 40-an. Badai besar datang ketika, di papan tulis Masjid Agung Bandung, muncul kalimat: Tuhrimu ash-sholaah

“Diharamkan bagimu shalat…” Potongan kalimat yang menggantung itu memicu tuduhan murtad terhadapnya. Shalatnya dianggap haram. Menggemparkan. Namun, mungkin saja dakwaan itu terjadi bukan semata pengaruh faktor budaya lokal dalam tafsir Al-Qur’an, tapi karena dia sendiri sudah terlanjur dicap sekular. Entahlah!

Bayangkan, bagaimana perasaan seorang manusia yang berdiri di tengah keramaian, tapi menjadi terasing. Murid menjauh. Salam menjadi dingin. Dikucilkan tanpa alasan. Pun bisik-bisik fitnah. Membakar ruang-waktu. Penuh kecurigaan, bahkan ancaman.

Camkanlah. Hasan Mustofa tetap diam. Menyelami gelombang kemarahan dengan penuh makna. Bagaikan akar pohon yang kuat menahan badai. Sabar memilih medan, bukan menyerah.

Hingga suatu ketika datang Ajengan Sanusi Gunung Puyuh. Ulama berilmu dan bermartabat. Ia menertawakan kalimat itu, kemudian melengkapi dengan kapur tulis: …lil haaidi wan nufasaa.

Lengkap sudah makna yang benar. Shalat memang diharamkan hanya bagi perempuan haid dan nifas. Bukan karena Hasan Mustofa sesat atau murtad. Itu hanya potongan kata yang menyesatkan.

Badai pun seketika reda. Perdebatan selesai. Bagaikan angin yang menyapu hujan. Suasana kembali normal, saling percaya. Tegur-sapa. Masyarakat tampak bahagia: puas.

Sadarlah. Mengapa Ajengan Sanusi bisa meredam badai itu? Sebab ia punya ilmu, wibawa, dan kepercayaan yang kokoh. Suara yang didengar bukan karena lantang, tapi jernih. Berasal dari pikiran dan hati terdalam.

Renungkanlah. Kini, di era post-truth, papan tulis itu berubah menjadi media sosial. Setiap hari potongan kalimat tersebar. Tak terhitung. Video terpotong, konteks hilang. Kita mudah percaya dan terprovokasi. Kehidupan satu-sama-lain penuh curiga. Bahkan saling benci. Cepat menghakimi. Maka, luka sosial pun membuncah.

Mungkin kita tak punya banyak Ajengan Sanusi. Namun kita bisa belajar: sabar membaca sampai tuntas. Mencari sambungan yang hilang. Menolak jadi penyebar fitnah. Membangun peradaban media sosial: menjadi “kurator” menuju titik-terang di antara gempuran informasi sampah yang menipu.

Saudaraku, ingatlah. Kebenaran yang terpotong adalah luka. Menunggu penyembuhan. Hanya kesabaran yang mampu merangkai serpihan itu menjadi cahaya. Menembus keraguan. Menerangi jiwa-jiwa gelisah; bahkan sekarang pun! [ ]

Back to top button