Unsur Lokalitas Penafsiran Syu’bah Asa Atas Al-Quran
Tafsir Syubah Asa, “Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat Sosial Politik”, jika merujuk pada kategorisasi Gusmian masuk ke dalam poin terakhir. Ini disebabkan background intelektual dan status sosial Syubah Asa. Ia dikenal sebagai budayawan dan esais. Tersebab itu, penafsiran Syubah Asa terbilang unik dan khas bila dibandingkan dengan karya-karya tafsir arus utama.
Oleh : Khairunnas Jamal*
JERNIH– Unsur lokalitas merupakan aspek yang sangat memengaruhi seorang mufasir atau pengkaji Al-Qur’an dalam memahami suatu teks. Aspek ini juga yang membedakan karya seorang mufasir dengan mufasir lainnya. Ada yang lebih condong ke bahasa, budaya, sosial, filsafat, tasawuf, dan lainnya. Ada pula penggabungan antara dua atau lebih unsur lokalitas.
Teks Al-Qur’an mengalami proses resepsi dan habituasi yang beragam berdasarkan konteks wilayah di mana seorang mufasir hidup dan berproses. Karenanya, Al-Qur’an memiliki tafsir yang luas, tidak tunggal, yang hanya bersumber dari wilayah di mana Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Ini sekaligus menegaskan mukjizat Al-Qur’an. Melampaui zaman dan kawasan.
Di Indonesia perkembangan karya tafsir bergenre lokalitas cukup signifikan. Bahkan ada pula yang memakai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Madura, dan lain-lain. Tafsir al-Ibriz, Tafsir Al-Iklīl, Tafsir Tarjuman al-Mustafid, dan Tafsir Faiḍ al-Raḥmān, di antara contohnya.
Dari penjajakan Islah Gusmian, era tafsir Indonesia dimulai sejak abad 17, yakni Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf as-Singkili (1615-1693 M). Sampailah di era Quraish Shihab, abad 21, penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia muncul dengan beragam ruang dan orientasi. Masih menurut Gusmian, setidaknya ada lima basis sosial-budaya penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia: politik kekuasaan, pesantren, basis madrasah dan kampus, organisasi sosial Islam, dan jejaring sosial lainnya.
Tafsir Syubah Asa, “Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat Sosial Politik”, jika merujuk pada kategorisasi Gusmian masuk ke dalam poin terakhir. Ini disebabkan background intelektual dan status sosial Syubah Asa. Ia dikenal sebagai budayawan dan esais. Tersebab itu, penafsiran Syubah Asa terbilang unik dan khas bila dibandingkan dengan karya-karya tafsir arus utama. Ditambah lagi gaya penulisan Syubah Asa yang bercorak esai dan reportase. Bagi yang tak terbiasa, butuh waktu untuk menalar dan memahaminya.
Kehadiran karya tafsir Syubah Asa ini, bagi saya, semacam gebrakan baru pada waktu itu di mana metode dan model penafsiran kebanyakan betul-betul mengekor pada mazhab klasik. Apalagi Syubah Asa bukan ilmuwan Al-Qur’an tulen, sehingga tawaran alternatif penafsirannya begitu riskan.
Tak pelak lagi, kritik bahkan hujatan menghujani Syubah Asa. Saya pikir itu hal yang wajar, jangankan Syubah Asa, Mahmud Yunus saja yang terbilang ahli di bidang Al-Qur’an tak luput dari kritik di awal-awal kehadiran “Tafsir Al-Quran Al-Karim”. Ini soal paradigma zaman yang butuh penyesuaian sampai akhirnya diterima.
Corak penafsiran yang diusung Syubah Asa lebih cenderung ke burhani, porsi akal lebih dominan. Sedangkan, metode penafsirannya tematik. Penafsiran kontekstual yang diterapkan Syubah Asa meniscayakan upaya menilik ulang ke masa lampau guna menemukan kerangka sosio-historisnya untuk memastikan esensi ayat, lalu dikembalikan ke situasi sekarang guna melakukan kontekstualisasi (Mustaqim, 2011: 154).
Sumber tafsir yang digunakannya sangat variatif, tidak hanya literatur Timur, namun juga disisip dengan beberapa pendapat dari sarjana Barat. Syubah Asa di beberapa penafsiran juga menyertakan asbab al-nuzul, dan merujuk ke kitab-kitab tafsir klasik seperti “Tafsir Mafatih al-Ghaib” karya Fakhruddin ar-Razi, ”Tafsir al-Baidawi”, “Tafsir al-Kasysyaf” karya al- Zamakhsyari, dan lain-lain.
Unsur lokalitas yang begitu kental dalam tafsir tersebut terbaca dari arah dan wacana yang dikembangkan, yakni kritik dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Misalnya, penafsiran Syubah Asa atas surah Al-Maidah: 32, yang dijabarkan berdasarkan konteks masalah pada waktu itu.
“Hari-hari saat menjelang reformasi pada Mei 1998 itu terdapat banyak pemuda yang diculik, disiksa, bahkan sebagian dibunuh. Aparat keamanan pun tidak mampu menjelaskan pihak mana yang sebenarnya melakukan tindakan biadab tersebut menurut Komnas HAM (Asa, 2000: 46).”
Dari 57 judul yang dimuat dalam buku tafsir tersebut, semuanya nyaris bernuansa kritik sosial. Tampak bahwa Syubah Asa memfokuskan eksplorasi tafsir pada konteks sosial-politik Indonesia di bawah rezim Soeharto. Eksistensi penafsirannya meneguhkan spirit Al-Qur’an dalam membaca zaman, sehingga pesan-pesan Al-Qur’an selalu hidup di setiap lintasan sejarah.
Pendekatan penafsiran yang diperagakan Syubah Asa, meski sudah banyak sarjana Muslim yang melakukan hal serupa, merupakan representatif penafsiran Al-Qur’an yang perlu dimasifkan di tengah arus penafsiran konservatif nan rigid yang berkembang dewasa ini. [ ]
*Penulis doktor dan master dalam kajian agama