Menteri Purbaya Bilang Kementerian ESDM Belum Pakai DTSEN

Lewat gayanya yang ceplas-ceplos Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bilang jika Kementerian ESDM di bawah Bahlil Lahadalia belum menggunakan DTSEN. Ironis, karena lewat DTSEN mestinya subsidi BBM bisa mencapai target yang tepat.
JERNIH – Sejak awal 2025, pemerintah meluncurkan sebuah sistem data baru bernama DTSEN—Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional. Sistem ini digadang-gadang sebagai terobosan besar dalam pengelolaan data kesejahteraan rakyat. Tidak lagi ada tumpang tindih antara DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), Regsosek, dan P3KE, melainkan semua dilebur dalam satu basis data yang terintegrasi. Dengan DTSEN, pemerintah ingin memastikan seluruh program bantuan dan subsidi benar-benar tepat sasaran, tanpa salah alamat dan tanpa bocor ke kelompok masyarakat yang sebenarnya mampu.
Namun, di balik semangat “satu data” yang digaungkan pemerintah, muncul pertanyaan besar: mengapa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum juga menggunakan DTSEN?

Fakta itu justru muncul dari ucapan sesama menteri kabinet. Yakni Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di depan anggota DPR. Hal ini seakan memberikan kabar yang menohok.
Padahal, kementerian ESDM mengelola salah satu pos anggaran terbesar negara, yakni subsidi energi, terutama BBM dan listrik, yang selama ini kerap dipersoalkan karena lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah atas.
Apa yang membuat ESDM seolah berjalan di luar arus.
DTSEN dan Urgensinya
DTSEN pada dasarnya adalah upaya negara menciptakan sebuah single source of truth—sumber data tunggal yang bisa digunakan semua lembaga pemerintah. Data tersebut dipadankan dengan NIK dan diperbarui secara berkala, sehingga pemerintah memiliki potret terkini kondisi sosial-ekonomi rumah tangga di Indonesia.
Kebutuhan akan DTSEN lahir dari pengalaman panjang pemerintah yang kerap menghadapi masalah salah sasaran dalam bantuan sosial. Ada keluarga miskin yang tidak masuk daftar penerima, ada pula keluarga mampu yang justru rutin menerima bantuan. Kesalahan seperti ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga merugikan keuangan negara.

Di titik itulah DTSEN menjadi penting. Dengan satu data yang lebih akurat dan diperbarui setiap tiga bulan, pemerintah bisa menyalurkan bantuan dengan lebih tepat, menghemat anggaran, serta memperkuat legitimasi kebijakan berbasis data.
Jika diterapkan secara konsisten, DTSEN mampu memberikan banyak manfaat. Pertama, semua program perlindungan sosial akan menggunakan referensi data yang sama, sehingga tidak ada lagi perbedaan versi antara kementerian. Kedua, sistem ini memungkinkan pemerintah menilai kesejahteraan rumah tangga berdasarkan peringkat atau desil, sehingga lebih mudah menetapkan prioritas. Ketiga, adanya mekanisme pemutakhiran rutin memberi peluang bagi warga untuk memperbaiki data mereka jika tidak sesuai.
Dengan kata lain, DTSEN adalah fondasi bagi kebijakan yang lebih adil, transparan, dan efisien.
Mengapa ESDM Belum Memakai DTSEN?
Meski manfaatnya jelas, Kementerian ESDM tampak belum sepenuhnya mengadopsi DTSEN dalam menyalurkan subsidi energi. Ada beberapa dugaan yang bisa menjelaskan situasi ini.
Pertama, sifat program ESDM berbeda dari program sosial murni. Subsidi energi bukan sekadar bantuan, melainkan juga instrumen stabilisasi ekonomi dan politik. Jika tiba-tiba subsidi hanya diberikan kepada kelompok miskin sesuai data DTSEN, maka akan muncul risiko gejolak sosial dari kelompok menengah yang selama ini merasa berhak menikmati subsidi.

Kedua, ada persoalan teknis. Sistem internal ESDM perlu diintegrasikan dengan database DTSEN, sebuah proses yang tidak sederhana. Sinkronisasi data kependudukan, konsumsi energi, kepemilikan kendaraan, hingga tagihan listrik memerlukan interoperabilitas tinggi antar lembaga.
Ketiga, terdapat resistensi institusional. Bagi sebagian pejabat atau kelompok kepentingan, penerapan DTSEN bisa mengurangi fleksibilitas dalam pengelolaan subsidi. Sementara itu, regulasi turunan dan pedoman teknis penggunaan DTSEN lintas sektor juga belum sepenuhnya selesai.
Keempat, DTSEN mungkin belum sepenuhnya menyediakan variabel teknis yang dibutuhkan oleh ESDM. Data sosial ekonomi memang ada, tetapi untuk menentukan siapa yang layak mendapat subsidi BBM misalnya, dibutuhkan data tambahan: jenis kendaraan, konsumsi rata-rata, hingga status kepemilikan rumah tangga. Tanpa itu, ESDM mungkin ragu menjadikan DTSEN sebagai satu-satunya rujukan.
Lebih jauh lagi, ada dimensi politik yang tidak bisa diabaikan. Subsidi energi adalah isu sensitif. Pemerintah tahu bahwa perubahan mendadak, apalagi pengurangan penerima subsidi, bisa memicu protes besar. Maka, adopsi DTSEN dalam ranah energi tidak sekadar soal data, melainkan juga soal waktu, strategi komunikasi, dan kesiapan publik.
Di sinilah tantangan terbesar berada. Jika ESDM memaksakan penggunaan DTSEN tanpa persiapan, risiko resistensi bisa lebih besar daripada manfaat efisiensi yang diperoleh. Namun jika terus menunda, maka tujuan besar DTSEN—subsidi tepat sasaran—tidak akan pernah tercapai.
Oleh karena itu kembali kepada Menteri Bahlil dan pasukannya. Jika memiliki sistem sendiri yang lebih valid, rasanya justru DTSEN lah yang mesti meniru ESDM. (*)
BACA JUGA: Menkeu Purbaya: Mesin Ekonomi Swasta dan Pemerintah Harus Bergerak untuk Capai 8 Persen Pertumbuhan