Solilokui

Tentang Cacing Hitam dan Makan Pisang

Boleh saja Elena bilang, misalnya, black is beautiful, atau apalah untuk membuat orang Jepang demen udang item itu. Kagak ngaruh

JAKARTA—  Sekitar seperempat abad lalu—karena mengatakannya 25 tahun kadang terkesan ‘kemarin’, Indonesia pernah punya utang cukup berarti kepada seorang warga Filipina. Elena Lim namanya. Bukan apa-apa, Elena punya peran membantu Indonesia mendobrak pasar udang Jepang, yang saat itu terkunci dengan ketatnya.

Sejatinya Elena membantu usahanya sendiri. Awalnya, putri seorang kaya Filipina itu sedang tenang-tenangnya menjadi anak yang dimanja kekayaan orang tua. Sampai suatu saat seorang teman akrabnya, direktur sebuah perusahaan di Jepang, berkata,”Filipina kan negara maritim. Laut yang mengitari Anda tentu banyak udangnya. Kami orang Jepang tergila-gila akan udang. Kenapa Nona tak menangkapi udang itu dan menjualnya kepada kami? Kami jamin, Nona akan lebih kaya…blah blah blah…”

Elena tertarik. Dana untuk membiayai operasi penangkapan udang gampang saja didapatnya dari orang tuanya. Memasarkan udang kepada masyarakat Jepang yang kelewat gemar tempura, sushi dan sashimi, yang menghabiskan ratusan ribu ton udang setiap tahunnya itu pun nggak repot-repot amat. Dan sejalan dengan kian naiknya kesejahteraan bangsa Jepang saat itu, konsumsi udang pun semakin membubung.

Dagangan Elena laris manis. Sebagaimana perkataan blah blah blah temannya dulu, otomatis Elena kini kaya dengan usahanya sendiri. Segera terlintas di benaknya, mengapa menjala udang di laut? Mengapa tidak membudidayakannya di tambak-tambak? Akhirnya, tanah-tanah di beberapa pesisir  pantai Filipina dijadikannya tambak dan di’tanami’nya udang.

Tetapi begitu Elena menjualnya ke pasar Jepang, datang persoalan. Nah, persoalan itu pula yang tengah menjadi masalah bagi eksportir udang Indonesia saat itu. Udang laut biasanya berwarna putih bersih, atau merah jambu. Sementara udang tambak, entah mengapa, berwarna hitam.

Benar, Anda pun tahu bahwa warna punya peran signifikan dalam industri makanan. Apalagi buat Jepang, negeri yang sebagaimana Prancis memiliki cita rasa tinggi dalam pengolahan dan penyajian makanan. Warga Jepang saat itu ogah membeli udang berwarna hitam blewuk tersebut. Praktis, udang jualan Elena dan petani tambak Indonesia saat itu, tak laku dijual di pasar Jepang.

Boleh saja Elena bilang, misalnya, black is beautiful, atau apalah untuk membuat orang Jepang demen udang item itu. Kagak ngaruh. Bahkan di kalangan toko-toko pengecer hasil laut di Jepang saat itu, udang hitam itu ditolak karena ditakutkan mengotori rak pajang mereka. Tahukah sebutan untuk udang black tiger di kalangan pemilik toko-toko pengecer hasil laut Jepang saat itu? The big black worm alias si cacing hitam besar!

Dimana kemudian peran penting Elena? Tak kehilangan akal, Elena membawa udang hitamnya ke berbagai hotel mewah dan pusat-pusat perbelanjaan. Dia gelar demonstrasi sim salabim tanpa perlu ilmu sihir. Dia celupkan baik udang laut maupun udang tambak yang dijualnya ke air mendidih. Hasilnya? Warna keduanya akhirnya sama saja, merah dan menerbitkan nafsu makan.

Cara itu efektif membuat orang sadar. Apalagi ternyata kadar lemak dan kalori si hitam lebih rendah dibanding si putih atau pun si merah jambu yang tinggal di laut.  Sadar untuk meraih kembali pasarnya, Elena mengirim berpuluh-puluh tim demo setiap hari ke berbagai toko swalayan yang ada. Akhirnya, setahun kemudian gelombang antiudang hitam mereda di Jepang. Baik Elena maupun petani udang Indonesia kembali bernafas lega.

Ada lagi contoh lain bahwa kita tak bisa menilai segala hal sebagai ‘sepele’. Ada seorang pebisnis besar yang mengaku bisa mendapatkan kejayaan seperti saat ini, hanya gara-gara soal makan pisang. Ceritanya, saat itu sebelum berpindah ke perusahaan yang turut ia besarkan saat ini, ia hanya seorang karyawan menengah di sebuah konglomerasi bisnis.

Suatu hari, teman baiknya— anak seorang taipan bisnis terkemuka, memintanya menemani makan malam, menjamu seorang rekan bisnis dari Eropa. Duduk di samping temannya itu, si teman ternyata memperhatikan dan menirunya cara makan pisang. Dikupas kulitnya, pegang dengan tangan kiri, lalu tangan kanan mematahkan isi buah pisang sedikit demi sedikit untuk dimasukkan ke dalam mulut. Itu cara yang benar menurut tata karma internasional, yang ternyata tak dikuasai si putra taipan. Saya tentu tak harus menyebut nama pebisnis besar yang sejak itu diajak bergabung dan mendapatkan kepercayaan besar dari temannya itu.

Satu hal saja, kedua cerita itu mewanti-wanti kita untuk banyak berpikir dan banyak tahu. Dan keduanya, menurut pengalaman saya, banyak disokong oleh kebiasaan membaca. Baik membaca apa yang kita lihat di dunia nyata, atau membaca buku. Jadi, marilah banyak membaca untuk meraih kebaikan dan mencipta inovasi. [DSY—dari catatan 2015 dengan sedikit pengubahan]

Back to top button