Tarawangsa, Seni Sakral yang Bertahan 1000 tahun
Na(ng)gapan, sada canang, sada gangsa tumpang kembang, sada kumbang tarawangsa ngeui(k), sada titilar ring bumi, sada tatabeuhan Jawa, sada gobeng direka cali(n)tuh di a(n)jung, sada handaru kacapi la/ng/nga/ sada keruk sagunga.
Terjemahan dari bahasa sunda kuno diatas : terdengar bunyi-bunyian, suara canang, suara gamelan tumpang kembang, suara kumbang dan tarawangsa menyayat, suara peninggalan bumi, suara gamelan Jawa, suara baling-baling di tingkahi calintuh di dangau, suara deru kecapi penuh khawatir, suara sedih semua
Narasi itu tertulis dalam naskah sunda kuno berjudul ‘Sang Sewaka Darma’ yang berasal dari tahun 1021 Saka atau 1099 M. Berdasarkan naskah tersebut maka dapat ditelusuri bahwa kesenian tarawangsa telah dikenal sejak abad ke-11 M dan seni sakral tersebut kini genap bertahan 1000 tahun.
Salah satu daerah yang masih melestarikan seni tarawangsa yaitu Rancakalong, Sumedang. Hanya saja, hadirnya tarawangsa di Rancakalong Sumedang belum diketahui secara pasti. Ada beberapa versi mengenai masuknya kesenian ini ke Rancakalong.
Pada suatu masa di zaman kekuasaan Mataram islam , kehidupan masyarakat di Rancakalong mengalami bencana kelaparan. Hal itu disebabkan tanaman padi selalu mengalami gagal panen akibat kemarau panjang dan terus menerus diserang hama. Banyak sekali warga yang meninggal dunia akibat kelaparan.
Untuk mengatasi bencana kelaparan, masyarakat mencoba alternatif lain yaitu menanam hanjeli. Namun sayang setelah tanaman tersebut berhasil diproduksi, pada suatu ketika menimbulkan malapetaka.Seorang anak terperosok ke dalam tumpukan hanjeli di sebuah tempat penggilingan hingga tewas.
Sejak peristiwa naas tersebut, masyarakat berniat kembali menanam padi sebagai makanan pokok. Hanya saja mengalami kesulitan untuk mendapatkan benih padi yang berkualitas baik. Masyarakat bermusyawarah, akhirnya mereka mengirim utusan ke Mataram untuk mendapatkan benih padi. Singkat cerita, para utusan berhasil menjalankan misinya.
Menurut sebuah versi, benih padi tersebut berhasil diperoleh dengan cara mencuri, sehingga untuk membawa ke Rancakalong mereka membuat alat musik jentreng dan tarawangsa untuk menyembunyikan benih padi yang telah didapat. Dalam perjalanan pun mereka bertindak seolah-olah sedang mengamen. Alhasil berkat cara tersebut, utusan dapat membawa benih padi ke Rancakalong dengan selamat.
Namun cerita di atas dibantah oleh sejumlah tokoh Rancakalong. Mereka mengatakan bahwa Seni Tarawangsa di Rancakalong sudah ada sebelum zaman Mataram islam. Budayawan WD. Dharmawan, dalam karya tulisnya Profil Potensi Wisata Seni, adat dan Budaya Kabupaten sumedang, menuliskan tarawangsa lahir dari rahim imajinasi masyarakat Rancakalong, kemudian tumbuh seiring dengan dinamika perubahan zaman.
Unsur mitos telah mendorong pula terhadap perkembangan seni tersebut. Sehingga secara perlahan-lahan semakin dikenal oleh masyarakat secara luas dan diterima sebagai kesenian tradisional masyarakat Sumedang.
Masyarakat Rancakalong melakukan upacara diawali iring-iringan dan memainkan alat musik dalam setiap upacara ritual setelah panen padi. Hal itu mereka anggap sebagai bentuk rasa syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang berlimpah. Serta sebagai pengingat jasa-jasa para leluhur Rancakalong.
Alat musik yang digunakan terdiri dari dua waditra, yaitu waditra sejenis kecapai yang disebut jentreng dan sejenis rebab yang disebut tarawangsa. Kecapi jentreng bentuknya seperti perahu dengan ukuran panjang 75-104cm, sedangkan lebarnya 12-14cm. Terdiri dari ruruma, geulang, inang, paksi, lubang suara dan kawat/dawai berjumlah 7 buah.
Sedangkan waditra yang disebut tarawangsa merupakan alat gesek sejenis rebab, resonansinya terbuat dari kayu, berleher panjang dan mempunyai dua buah kawat. Peranannya selain pembawa melodi juga sebagai goong yang dipetik untuk memperkuat aksen petikan pada akhir kenongan atau lagu.
Dalam kesenian ini selalu disediakan sesajen sebagai syarat berlangsungnya ritus yang setiap komponennya mempunyai makna simbolik. Sesajen dalam seni ini terdiri dari sesajen di tengah rumah dan sesajen di padaringan (goah).
Sasajen yang disimpan di tengah rumah berupa kepala boneka kayu yang disebut pangibuan yang memakai kerudung (simbol ibu) dan pangramaan, boneka yang memakai iket (rama), bakakak, duit benggol, dewegan kopi pahit kopi manis, bubur beureum bubur bodas, pakaian kebaya putih, pangradinan, sisir dan kaca, minyak kelapa, tiktek (lipatan sirih), dan sembilan macam rujak.
Sedangkan yang disimpan di goah (padaringan) terdiri dari : ineban yaitu rantang yang dibungkus selendang, di dalamnya berisi berisi beras dan di atasnya disimpan sisir, cermin, minyak kelapa dan telor. Kemudian disimpan pula beras yang ditancapi hanjuang disertai bunga rampai dan kemenyan.
Seni tarawangsa biasa dipergelarkan pada malam hari, mulai pukul 20.00 WIB sampai pukul 04.00 dini hari. Khusus pergelaran pada upacara adat Ngalaksa dilakukan siang dan malam selama satu minggu berturut-turut. Itu dilakukan untuk mengiringi proses upacara Ngalaksa.
Para pemain seni tarawangsa terdiri dari Saehu, penari yang berjumlah 5,7, dan 9 orang penari perempuan yang berusia lanjut, nayaga, saksi, dan Kuncen.Pertunjukannya dibagi ke beberapa bagian, yaitu :Tatalu, Ngukus, Ijab Kabul,Ngalungsurkeun,Nema,Nyumpingkeun dan Nginebkeun
Lagu-lagu yang biasa dinyanyikan dari awal sampai akhir pertunjukan yaitu Pamapag, Mataraman, Iring-iringan, Jemplang, Panimang, Sirna Galih, Dengdo, Angin-angin, Pangapungan, Buncis, Badud, dan Degung.
Sesajen merupakan bentuk keseimbangan komunikasi antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara manusia dengan manusia, dan komunikasi dengan alam. Setiap barang/benda yang disajikan penuh dengan makna simbolok yang pada dasarnya berisi pesan-pesan moral yang harus menjadi rujukan perilaku dalam kehidupan ini.
Sebagai kearifan lokal yang tak lepas dari pengaruh masa lalu, maka Seni Tarawangsa memiliki ciri khas sebagai seni tradisi yang sakral. hal tersebut dapat dilihat dari sarana pertunjukannya yang menjadi syarat ritus atau sasajen.
Makna-makna yang bisa diambil dari seni tarawangsa merupakan bentuk perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa bahwa dalam setiap tindakan harus mipit kudu amit ngala kudu bebeja. Selain itu dalam setiap tindakan manusia, terutama dalam memperlakukan padi (Dewi Sri) harus senantiasa tertib, teliti, dan hati-hati.
Sedangkan penggambaran media yang digunakan mencerminkan bahwa manusia hidup terdiri dari empat unsur. Gambaran kehidupan itu sendiri dilambangkan dengan hanjuang yang terdiri dari unsur bumi (kendi), unsur angin atau udara (hihid), dan darah (air).