POTPOURRI

‘Nyawang’ Tatar Ukur, Bandung dan Priangan di Abad 17 M

Padataran Bandung jadi suwung, Tanah ukur leungit kama’muranana, sabab geus taya nu nyicingan. Pasawahan jadi gamblung, huma-huma jadi leuweung. Mangtaun-taun Bandung kosong lawas pisan jamanna Tanah Ukur teu katincak ku jelema.

JERNIH.CO – Aen een negrije genaemt Bandong bestaende uijt 25 a 30 huyse (Ada sebuah negrei dinamakan bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah),  demikian tulisan Juliaen de Silva- orang asing pertama yang datang ke Bandung – dalam bahasa belanda kuno tahun 1641 M. Kalimat tersebut ditulis di Landsarchivaris (Arsip Negara) dan ditemukan E.C Godee Molsbergen.

Kawasan Bandung, di Abad 17 M, lebih dikenal sebagai Tatar Ukur. Wilayahnya berdampingan dengan Sumedang, Galuh dan Cirebon. Kisah Tatar Ukur dikenal oleh tokohnya yang bernama Wangsanata alias Dipati Ukur. Ia putra Prabu Lembu Alas alias Wangsajaya atau Dipati Ukur Ageung yang berkuasa sekitar 1587 M. Dipati Ukur Ageung adalah penguasa Ukur pertama yang masuk Islam dan mengakui kekuasaan Mataram Islam.

Penguasa Ukur memiliki kedekatan dengan Para Penguasa Tatar Galuh ketimbang dengan Sumedang. Tahun 1620 M saat Sumedanglarang dikuasai oleh Aria Suriadiwangsa I (Putra Prabu Geusan Ulun),  Kerajaan Sumedang telah menjadi vazal mataram dan wilayahnya disebut Priangan. Aria Suriadiwangsa I kemudian diangkat  oleh Sultan Agung sebagai wedana bupati dan bergelar Rangga Gempol I.

Istilah Priangan ini menurut Hageman berasal dari kata prayangan yang artinya memberikan atau menyerahkan dengan hati yang suci. Hal ini dikaitkan dengan penyerahan Sumedang kepada Mataram oleh Aria Suriadiwangsa I. Istilah Priangan ini  menurut Otto van Rees, digunakan oleh Komandan Jacob Couper tahun 1684 M ketika ia diperintah oleh Gubernur Jendral VOC memberikan acte van aanstelingen kepada para bupati Priangan. 

Menurut Ajat Rohaedi, Priangan merupakan kontraksi dari kata parahyangan yang artinya tempat tinggal Hyang yang harus dihormat. Selanjutnya wilayah Priangan ini oleh Sultan Mataram dipecah menjadi kabupaten-kabupaten yang masing-masing dipimpin oleh seorang bupati. Sebagai kordinator para bupati maka diangkat seorang wedana bupati yang dianggap paling berpengaruh dan bertanggung jawab kepada Sultan Mataram.

Pembagian wilayah priangan menjadi kabupaten-kabupaten dalam dokumen belanda disebut Westerlanden. Dan yang menjadi wedana bupati pertama adalah Rangga Gempol I (1620-1625 ), lalu dilanjutkan oleh Dipati Ukur (1625-1629) dan yang terakhir adalah Rangga Gempol II (1641-1656). Jabatan Wedana bupati selanjutnya dihapus oleh Sultan Agung dan masing-masing bupati bertanggungjawab langsung kepada Mataram.

Ketika Wangsanata atau lebih dikenal sebagai Dipati ukur menjadi wedana bupati, ia menyanggupi membantu Mataram untuk merebut Batavia dari VOC. maka tanggal 11 September 1628, Dipati Ukur berangkat ke Batavia untuk mempersiapkan penyerangan dengan membuat garis batas pertahanan sampai berjarak sekira satu tembakan pistol. Pertahanan yang dibangunnya diperkuat dengan kayu dan tumpukan tanah.

Namun tanggal 12 September 1628 pasukan VOC  melakukan serangan mendadak yang mengakibatkan 30-40 orang pasukan Dipati Ukur tewas dan angkatan tempurnya terpaksa mundur. Tanggal 21 Oktober 1628 VOC melakukan penyerangan besar-besaran ke markas Dipati Ukur dibawah komando Letkol Jacques le Febvre  dengan kekuatan  2.866 orang tentara.

Artikel terkait  : West Oedjoeng Broeng Cikal Bakal Bandung

Serangan itu berhasil menewaskan Tumenggung Bahureksa pemimpin pasukan dari Mataram dan menyebabkan Pasukan Dipati Ukur  melarikan diri dan kelak berbalik melawan Mataram. Dalam naskah-naskah sunda kuna, Tumenggung Bahurekso ini tidak meninggal, ia kembali ke Mataram dan melaporkan kegagalannya kepada Sultan Agung.

Kisah tentang Dipati Ukur setidaknya tercatat dalam 8 versi naskah kuno dari Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram dan Batavia. secara garis besar mengisahkan bahwa pasukan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso masing-masing berjumlah 10.000.

Kegagalan menyerang VOC karena salah kordinasi. Sesuai dengan kesepakatan pasukan Dipati Ukur berangkat terlebih dulu dan menunggu untuk bergabung dengan pasukan Tumenggung bahurekso yang akan datang melalui jalur laut di Karawang.

Setelah seminggu menunggu Pasukan Mataram tidak kunjung datang. Maka Dipati Ukur mangambil inisiatif untuk menyerang ke Batavia, namun akhirnya gagal.  Tumenggung Bahurekso yang terlambat datang ke Karawang, marah melihat pasukan Dipati Ukur tidak ada.

Akhirnya dia melakukan serangan dengan 10.000 pasukannya, namun mengalami kekalahan. Tumenggung Bahurekso akhirnya pulang ke Mataram dan melaporkan kegagalannya kepada Sultan Agung yang disebabkan karena pihak VOC telah siap sedia akibat penyerangan awal yang dilakukan oleh Dipati Ukur.

Dipati Ukur menyadari akibat kegagalanya menyerang Batavia dirinya akan dihukum berat oleh Sultan Agung. Maka daripada menyerahkan diri Dipati Ukur merencanakan pemberointakan kepada Mataram dengan mengajak beberapa umbul-umbul yang berada di bawah kekuasaanya untuk memberontak ke Mataram, namun rencananya tidak disukung oleh semua umbul.

Empat umbul yang dipimpin oleh Ngabehi Wirawangsa (umbul Sukakarta), Ngabehi Samahita (Umbul Sindangkasih) Ngabehi Astramanggala (umbul Cihaurbeuti), Ujang Sarana ( Umbul Indihiang) malah melaporkannya ke Sultan Agung yang kemudian menugaskan Tumenggung Bahureksa menangkap Dipati Ukur

Dua tahun kemudian Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram.  Dalam beberapa versi naskah, juga diceritakan bahwa Dipati Ukur tidak meninggal dihukum mati di Mataram, karena yang dihukum mati adalah pengikutnya yang ditangkap karena menyerupai Dipati Ukur.

Atas jasanya, tiga dari empat orang ngabehi itu diganjar menjadi penguasa dengan gelar tumenggung.  Daerah Sindangkasih, Cihaurbeuti, Sukakerta dan Indihiang terletak di perbatasan kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis saat ini.

Pada saat Dipati Ukur berkuasa sebagai wedana bupati, wilayah Bandung berada dalam kekuasaan Dipati Ukur. Namun setelah Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati oleh Sultan Agung karena berbalik memberontak Mataram tahun 1630, maka sampai tahun 1941, wilayah Bandung oleh VOC disebut wilayah terra incognita (wilayah tidak bertuan).

R. Memed Sastrahadiprawira menggambarkan kondisi  terra incognita dengan tepat : Padataran Bandung jadi suwung, Tanah ukur leungit kama’muranana, sabab geus taya nu nyicingan. Pasawahan jadi gamblung, huma-huma jadi leuweung. Mangtaun-taun Bandung kosong lawas pisan jamanna Tanah Ukur teu katincak ku jelema. [ ]

Back to top button