Veritas

Di Sini Orang-orang Kaya Silicon Valley Bersembunyi dari Wabah Covid-19

  • Di South Island, orang-orang kaya memiliki bunker pribadi berharga puluhan miliar.
  • Di Pulau Waiheke, orang-orang kaya bersembunyi di rumah-rumah mewah tanpa diketahui siapa pun, dan tidak saling terhubung.
  • Jika wabah virus korona sedemikian lama, Selandia Baru menjadi negara paling diuntungkan.

Auckland — Kecuali Jeff Bezos yang tak henti menambah kekayaan dan Bill Gates yang sedang bermain di industri vaksin, kemanakah orang-orang kaya Silicon Valley lari ketika wabah virus korona melanda AS?

Jawab: Selandia Baru.

Tepatnya di South Island, sebelah utara Christchurch. Di sini, terdapat jaringan bunker bawah tanah super mewah untuk 300 orang.

Vivos hanya satu dari beberapa perusahaan pembangun bunker untuk orang kaya ketakutan. Lainnya adalah Rising S Co, yang membangun 10 bunker pribadi di Selandia baru.

Vivo tidak hanya membuat bunker di South Island di Selandia Baru, tapi juga di bekas pangkalan militer di Dakota Selatan. Luas bunker sekitar tiga perempat Manhattan, New York.

Bunker lain yang dibangun Vivos terdapat di Indiana, untuk 80 orang, dan sedang membangun bunker berkapasitas 1000 orang di Jerman.

Rising S Co mungkin pembangun bunker paling mahal di Selandia Baru. Harga rata-rata bunker 3 juta dolar AS, atau Rp 46,5 miliar, dan kemungkinan melonjak menjadi 8 juta dolar AS, atau Rp 124 miliar, jika wabah virus korona semakin menggila.

Gary Lynch, general manager Rising S Co, mengatakan beberapa bunker telah dibeli orang kaya Silicon Valley. Saat wabah virus korona menyerang AS, dan membunuh banyak warga New York, ia dihubungi salah satu pembelinya.

“Dia ingin memverifikasi kombinasi untuk membuka pintu, dan dan mengajukan beberapa pertanyaan soal pemanas air serta filter udara tambahan,” kata Lynch.

Lynch tidak menyebut nama pengusaha itu. Ia hanya mengatakan pembelinya menjalankan sebuah perusahaan di New York, episentrum wabah virus korona.

“Pengusaha itu pergi ke Selandia Baru untuk melarikan diri dari virus korona. “Dia masih tinggal di bunker itu.”

Selama bertahun-tahun Selandia Baru adalah destinasi orang kaya, yang mencoba selamat dari bencana kiamat; serangan senjata kimia, kuman pembunuh, dan virus.

Lokasi bunker terisolasi di ujung bumi, lebih seribu mil dari pantai selatan Australia. Selandia Baru adalah rumah bagi 4,9 juta orang, masih hijau, bersih, dan dikenal karena keindahan alamnya.

Selandia Baru nyaris tanpa konflik, dengan politisi yang santai dan fasilitas kesehatan memadai. Kini, Selandia Baru dipuji karena sukses menekan penyebaran virus, dengan hanya 12 orang meninggal.

Ketika korban virus korona di AS terus jatuh, dan menjadi puluhan ribu, banyak warga Silicon Valley pindah ke South Island. Pada 12 Maret, misalnya, Mihai Dinulescu menarik sumbat startup cryptocurrency untuk melarikan diri ke Selandia Baru.

“Ketakutan saya adalah sekarang atau tidak sama sekali, karena saya pikir setiap negara akan menutup perbatasan,” kata Dinulescu, jutawan berusia 34 tahun.

“Saya dicekam ketakutan, sehingga harus pergi,” lanjutnya.

Dinulescu tidak sendiri. Ia datang ke Selandia Baru bersama teman-temannya. Ia membeli tiket paling awal, dan dalam 12 jam alumni Universitas Harvard itu telah berada dalam penerbangan menuju Auckland.

Ia meninggalkan semua perabot mewah dan beberapa lukisn mahal di rumahnya. Ia berangkat dari Bandara San Fransisco pukul 07:00 pagi, ketika semua penerbangan berhenti.

Empat hari setelah tiba di Auckland, Selandia Baru menutup perbatasan. Tidak ada pesawat yang membawa pelancong dibolehkan masuk.

Tempat Teraman di Dunia

Selama bertahun-tahun orang-orang kaya Amerika Utara berebut properti di Selandia Baru. Mereka terdiri perintis bisnis lindung nilai Julian Robertson, sutradara James Cameron, dan Peter Thiel di pendiri PayPal Holdings Inc.

Mereka tidak tinggal di bunker, tapi rumah biasa di tengah kesunyian. Thiel, misalnya, memiliki perkebunan seluas dua hektar.

Dinulescu dan istri bersembunyi di Pulau Waiheke. Ia tinggal di rumah dua lantai, tiga kamar, dan pemandangan laut yang indah. Biayanya, 2.400 dolar AS, atau Rp 37 juta, per bulan.

Sangat murah. Sebab, sewa apartemennya di San Fransisco tiga kali lipat dari harga sewa itu.

Dinulescu tidak berniat kembali ke Silicon Valley, dan melanjutkan bisnia. Alasannya, wabah virus korona tidak akan berkahir dalam waktu dekat.

Pulau Waiheke dihuni 9.000 orang, yang setengahnya adalah masyarakat elite. Pulau ini dijuluki Hamptons Selandia Baru, karena berisi rumah-rumah berarsitektur indah di tebing kapur dan kilang anggur kelas dunia.

Dinulescu berada di Pulau Waiheke tidak sekedar untuk lari, tapi mencari tahu ke mana orang-orang Silicon Valley jika terjadi bencana. “Saya memburu para miliarder,” katanya.

Hanya itu. Tidak satu pun yang ditemui, karena semua miliarder mengisolasi diri, dan menolak bertemu siapa pun.

Perrin Molloy, yang tinggal di Pulau Waiheke sejak usia 11 tahun, menyebut tempat tinggalnya sebagai taman bermain miliarder. Molloy sering dipanggil para miliarder untuk melakukan perbaikan rumah.

Banyak rumah kosong sepanjang tahun. Kini semua rumah terisi.

“Rumah-rumah itu dibangun sebagai tampat perlindungan bagi miliarder, ketika terjadi bencana di seluruh dunia,” ujar Molloy.

Di Pulau Waiheke, pemukim asli tidak pernah tahu siapa penghuni rumah-rumah perlindungan itu. Molloy juga tidak tahu. Bahkan, setiap penghuni rumah perlindungan tidak saling tahu.

Jadi, ketika wabah virus korona di AS menciptakan kemiskinan, warga Pulau Waiheke kebanjiran dolar dari para orang kaya. Akan selalu ada pekerjaan perbaikan rumah, permintaan makanan, dan apa pun, dari para orang kaya.

Robert Vicino, pendiri Vivos, mengatakan yang orang-orang Silicon Valley takutkan bukan virus korona, tapi terjadi depresi global dan bencana ekonomi satu persen orang terkaya di AS menjadi kelompok paling rentan diserang.

“Mereka tidak ingin bertarung mempertahankan rumah. Mereka memutuskan menyingkir sebelum semua itu terjadi,” kata Vivos.

Back to top button