SolilokuiVeritas

Dua Pusat, Dua Pengenyel: Ajakan Berdiskusi untuk Okky Madasari

Sebagai tukang survey, DJA gagal mengapungkan klaimnya, ternyata ada yang kelewat dan tak tersurvey, termasuk puisi Toto ST Radik yang ditulis tahun 1998-1999 yg berjud “Datang dari Masa Depan”, juga sudah menggunakan catatan kaki, dan juga diberangkatkan dari kenyataan. Tapi apa lacur, layar sudah dikembangkan, sauh sudah ditarik, pantang mundur, maka tak ada pilihan selain ngeyel.

Oleh    :  Doddi Ahmad Fauji*

JERNIH–KEHEBATAN para cendekiawan Barat, dapat memetakan potensi kedalaman manusia (jiwa) dimulai dari logika, kemudian etika, barulah estetika, dan itu bisa disebut triumvirat potensi diri. Keimanan atau keyakinan (spiritual), tidak dimasukkan ke dalam potensi itu, hingga abad modern pun intelligent quotion (IQ) masih menjadi pujaan manusia. Disebut cerdas, karena ia memiliki IQ yang tinggi. Baru belakangan Barat menyadari kekeliruannya, bahwa ternyata SQ dan EQ, jauh lebih penting dari IQ.

Logika atau nalar adalah potensi untuk mampu menguji segala sesuatu dengan membedah (analisis), didukung oleh bukti dan kenyataan (data dan fakta). Di tataran pembedahan ini, tidak cukup sebuah argumentasi hanya diajukan dengan berupa penggalan-penggalan yang bersifat pernyataan pendek atau slogan (Slogan adalah kalimat pendek yang menarik, mencolok, dan mudah diingat untuk menyampaikan informasi, pesan, atau nilai tertentu).

Di ranah ini, sudah terjadi perbenturan antara pengakuan sebagai penemu hal baru, dengan yang membantah bahwa penemuannya itu bukan hal baru: Nothing new under The  Sun; nil nuvo sub sole  (euweuh nu anyar di kolong langit mah).

Saya sebut, Denny JA (DJA) mengaku menemukan genre baru puisi Indonesia, yaitu puisi yang dikawinkan dengan esai, sehingga menjadi puisi esai (pusai). Lalu muncul Sugiono Empe (SP), juga mengaku menemukan pola baru dalam sastra yang disebut puisi bonsai (pusai). Pada awal 2025, SP mengubah definisi dari puisi yang dibonsai, menjadi sesuatu yang bukan puisi dan disebut nonprosa, tapi bentuk dan pola ucapnya masih puisi pendek, sehingga mau tak mau, sekuat apapun SP menjelaskan, kesadaran pubik akan menyebut karya yang seperti itu adalah puisi.

Para penentang mengajukan bukti dan kenyataan (data dan fakta), bahwa yang disebut pusai oleh DJA maupun oleh SP, bukanlah hal baru, sudah ada sejak dulu. Penyair yang disebut telah menggunakan catatan kaki antara lain  Alexander Pope yang seringkali memberangkatkan penciptaan puisinya dari realitas, sama seperti DJA, memberangkatkan puisinya dari kenyataan yang demi memperkuat kenyataan itu, dibuatlah catatan kaki. Tapi ingat, Den, Pope juga membuat catatan kaki kan?

Sebagai tukang survey, DJA gagal mengapungkan klaimnya, ternyata ada yang kelewat dan tak tersurvey, termasuk puisi Toto ST Radik yang ditulis tahun 1998-1999 yg berjud “Datang dari Masa Depan”, juga sudah menggunakan catatan kaki, dan juga diberangkatkan dari kenyataan. Tapi apa lacur, layar sudah dikembangkan, sauh sudah ditarik, pantang mundur, maka tak ada pilihan selain ngeyel.

Logika yang kokoh, kukuh, kuat, akan melahirkan etika. Etika adalah aturan. Semua aturan adalah etika. Di sinilah etika perlu dipahami jelujurnya, kemudian dikelompokkan, dikategorisasi dan dinamai.

Aturan yang berangkat dari norma, baik norma agama, adat-istiadat atau konvensi itu saya sebut dengan istilah etika normatif.

Lalu ada aturan yang berangkat dari hukum positif (konstitusi) itu disebut etika postif. Misalnya pencawapresan Gibran terkendala oleh aturan bahwa cawapres minimal berusia 40 tahun. Bila ini dilanggar, maka tidak etis. Supaya jadi etis, maka aturannya diubah dulu. Mengubah aturan dulu demi tercapainya tujuan, ini bisa dipandang tidak etis secara norma, karena tampak akal-akalan. Apakah kalian tidak berfikir (berkali-kali Kitab Quran, Inzil, Veda, membahas tentang alam pikir ini).

Dan, ada aturan yang berangkat dari ukuran kepastian, disebut etika teknikal atau etika matematis. Misalnya, cara membuat kursi yang benar dan nyaman, kakinya harus sama tinggi, sama besar, bila salah satu kependekan, maka kursi akan gigleg, dan itu tidak etis serta bisa mencelakakan. Etika teknikal dan matematis ini, berlaku juga dalam dunia sepakbola. Cara menendang bola yang tepat dan akurat itu mesti begini atau begitu, dan di situ ada etika teknikal yang bisa dipelajari.

Nah, bila logika sudah dikuasai, etika diterapkan, maka karya seseorang akan memukau. Memukau inilah yang disebut dengan estetik. Istilah estetika berangkat dari sesuatu yang memukau itu, saya dapatkan dari  Theodoor Willem Geldorp alis Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni.

Jangan kita lupakan, bahwa puisi adalah karya sastra, dan bahwa karya adalah kesenian, dan kesenian adalah anak dari estetika. Maka, bila sebuah karya tidak kuat secara logika, tidak etis dalam pengedepanannya, ia tidak akan memukau, tidak estetika. Jangan lupa pula, bahwa ternyata seluruh aspek aktivitas manusia, mengandung sisi estetikanya, sisi seninya, sehingga lahir frase-frase seperti seni sepakbola, seni berpidato, seni berpuisi, dll.

Lionel Messi bisa disebut adalah seniman bola. Ia bisa memadukan etika teknikal, etika normatif, logis, dalam satu gerak dan hentakan nafas. Teknik-teknik main bola Messi sudah dikaji dan dirasionalisasi, dan memang mengagumkan. Lalu, cara bermain yang fair play, empatik, itu menggenapkan keetikaan sorang Messi dalam bermain bola yang memehuni kriteria etika normatif. Hasilnya di lapangan, memukau seluruh umat manusia pecinta bola. Ada bukti dan kenyataan untuk memperkuat argumentasi bahwa Messi adalah pemain terbaik di dunia, adalah si GOAT tea, sejenis embe yang bunyinya embeeeee….., Ke-GOAT-nnya itu, bsia dilihat dengan mata dan diukur dengan berbagai capaian rekor. Ia memboyong semua pila bergengsi dalam bidang sepakbola, malah satu-satunya tim yang berhasil mencapai sextrebel (6 Piala dalam satu musim), adalah Barcelona di mana Messi merupakan mesin gol tak terbantahkan. Iya kan?

Lalu bagaimana dengan argumentasi pusai DJA maupun pusai SP sebagai temuan baru? Ini terbantahkan dengan bukti dan kenyataan. Namun, keduanya ngeyel dengan menyodorkan pernyataan sloganistik, pamfletis, spandukisasi, dengan didukung oleh hayalan (ilusi) dan halusinasi (sawan) bahwa karyanya berhak meraih hadiah Nobel. Beu!

Tentang bentuk Pusai

Bentuk pusai DJA itu mengalami obscuritas (kacau) dalam pemetaan, disebabkan yang pokok dalam pusainya itu adalah catatan kaki. Jadi, sebenarnya inilah karya catatan kakisme dalam bentu puisi. Katanya, bentuk barunya itu, adalah guna memasyarakatkan puisi, yang selama ini puisi itu dijauhi masyarakat. Nah, pernyataannya ini dibantah oleh kenyataan lain, bahwa masyarakat di seluruh dunia, kini makin banyak yang gemar berpuisi, termasuk di Indonesia. Namun yang berhasil memasyarakatkan puisi dan mempuisikan masyarakat itu adalah Kyai Mark Zuckerberg yang menemukan Pésbuk. Pusai DJA justru bisa menjauhkan masyarakat dari puisi, karena karyanya tidak mengagumkan, mentah, biasa-biasa saja, tiada sublim-sublimnya, bahkan tema yang pro LGBT, seperti kisah curhatan homo dalam buku Atas Nama Cinta, bisa membuat orang mengeryitkan dahi. Ih, geuleuh.

Sedangkan Pusainya SP, adalah puisi alit, atau puisi pendek, namun ia tak menyebutnya sebagai puisi, demi memenuhi ambisinya untuk disebut penemu karya sastra nonprosa. Nya mangga wae, sampai putus urat leher berteriak, orang tetap akan menganggap itu puisi pendek yang sulit dipahami, yang karena itu, bagaimana bisa sesuatu yang tidak argumentatif dan sulit dinikmati atau dipahami dapat menjadi solusi bagi masa depan?

Ya, salah satu slogan dari sekian slogan yang diajukan SP, bahwa pusainya membawa solusi bagi masa depan. Ada lucu-nya sih, ia yang baru bersentuhan dengan Meta AI, terkagum-kagum dan menngkampanyekan bahwa Meta AI lah yang bisa mengapresiasi puisinya. Begitu dicari di Meta AI, jawabannya beragam, misalnya pusai adalah puisi yang dicetuskan penyair-penyair muda tahun 1970-an, yaitu oleh Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM. Ketiga penyair ini memang pernah membuat puisi-puisi pendek, bahkan radikal, misalnya SCB menulis puisi berjudul ‘Kalian’ dengan isi hanya partikel: Pun, atau puisi Luka, isinya hanya partikel : Ha ha.

Pun dan Ha ha, menjadi kata pun belum, ia masih partikel, yang lebih kecil dari kata. Meski demikian, ketiga tokoh yang menulis puisi-puisi alit itu, tidak mencetuskan apapun, dan tidak berhalusinasi meraih Nobel.

Tetapi kita, minimal saya, membutuhkan dua orang pengaku pencetus ragam baru itu, buat hiburan dan ketawa-ketawaan sih. Hidup tanpa ketawa, kata Nabi Nuh, kau bisa mati di bahtera yang hanya bisa pasrah-semurah di samudra raya. Peun!

*Wartawan dan penyair

Back to top button