Moron

Hathal, Putra Pimpinan Kudeta Masjidil Haram, Dipromosikan Jadi Kolonel Garda Nasional

Jeddah — Arab Saudi sedang bergerak memodernisasi diri. Pertunjukan musik rock terbuka tidak lagi tabu, dan perempaun Arab Saudi berdesak-desak menyaksikan boyband Korea. Muncul kekhawatiran akan munculnya ekstremisme.

Kekhawatiran tidak disampaikan secara vulgar di media, atau dilampiaskan di jalan-jalan, tapi dengan membangkitkan kembali kenangan Pengepungan Masjidil Haram pada November 1979.

ArabNews memberitakan Pengepungan Masjidil Haram kini dituturkan kembali kepada generasi muda, dan apa sebenarnya di balik peristiwa berdarah itu. Apa tujuan Juhaiman Al Otaibib — pemimpin pengepungan berdarah itu — berusaha merebut Masjidil Haram.

*****

Hari itu, 19 November 1979, warga Mekah dan peziarah dari berbagai negara tak beranjak dari Masjidil Haram untuk menunggu jam terakhir di bulan Dhu Al Hijjah, dan bersiap menyambut tahun 1.400 dengan doa.

Tiba-tiba, sejumlah truk pikap tanpa hambatan masuk melalui pintu yang biasa digunakan pekerja konstruksi di sisi utara masjid. Truk itu berisi orang-orang Juhaiman Al-Otaibi — mantan kopral yang sempat bertugas di Pengawal Nasional Saudi.

Juhaiman dipantau pihak berwenang sejak memimpin sekelompok kecil siswa sekolah madrasah di sebuah desa di luar Madinah. Menurut Pangeran Turki Al Faisal, kepala Direktorat Intelejen Umum Arab Saudi saat itu, kelompok itu terdiri dari siswa yang percaya akan datangnya figur eskatologis Mahdi, sang penebus Islam.

“Tujuan mereka adalah membebaskan Masjidil Haram dari penguasa kerajaan yang murtad,” kata Pangeran Turki. “Lainnya, membebaskan Muslim di dunia dengan kedatangan Al Mahdi.”

Juhaiman merekrut orang-orang dari dalam dan luar Arab Saudi. Ia berkorespondensi ke banyak orang, berkhotbah di banyak tempat, dan merekrut ratusan pengikut.

Salah satu pengikutnya adalah penulis Abdo Khal, yang tahun 2010 memenangkan nternational Prize for Arabic Fiction untuk Throwing Sparks, novel fiksi Arab yang ditulisnya.

Dalam wawancara dengan televisi MBC tahun 2017, Khal menceritakan keterlibatannya dengan kelompok pimpinan Juhaiman. Saat itu ia berusia 17 tahun, dan menjadi bagian penting yang membuat dan menyebarkan selebaran.

“Saya menjadi bagian dari kelompok itu,” kenangnya. “Jika bukan karena intervensi kakak perempuan saya, mungkin saya berada di antara orang-orang yang akan merebut Masjidil Haram.”

Menurut Khal, dia seharusnya berada bersama Juhaiman di Masjidil Haram pada hari pertama sampai keempat. Kakak perempuannya menasehati Khal masih terlalu muda untuk tidur jauh dari dari rumah selama tiga malam.

“Pada hari keempat insiden mengerikan itu terjadi. Saya diselamatkan kakak perempuan saya,” kata Khal.

Mansour Alnogaidan masih berusia sebelas tahun ketika peristiwa itu terjadi, tapi dia merasakan pertarungan kelompok Salafi dan Wahabi saat itu. Ia berada di antara dua tarikan kuat itu.

Kini, Alnogaidan adalah manajer umum Harf and Fasela Media — yang mengoperasikan situs antiteroris. Ia melakukan penelitian ekstensif tentang pengepungan Mekkah.

Alnogaidan mengatakan ada sejumlah kemungkinan di balik insiden November 1979, termasuk gagasan di kepala Juhaiman dan kelompoknya. Juhaiman menyebut kelompoknya penerus gerakan Badui dengan nama Ikhwan-men-taa-Allah.

“Beberapa orang di kelompok itu percaya sedang balas dendam kepada pemerintah Saudi Arabia,” kata Alnogaidan kepada ArabNews. “Yang lain adalah keinginan pribadi Juhaiman mencari kekuasaan. Dia ingin memuaskan sesuatu di dalam dirinya.”

Yang tidak boleh dilupakan adalah insiden itu terjadi setelah Ayatollah Khomeini mengakhiri Monarki Persia di Iran. “Pengaruh kehadiran Khomeini mungkin tidak langsung,” katanya.

Pemerintah Saudi Arabia bukan tanpa upaya mencegah aksi kelompok ini. Ulama Kerajaan Arab Saudi beberapa kali menemuinya, mengajak berdialog, tapi Juhaiman tidak mudah dibujuk.

Juhaiman dan pengikutnya beberapa kali dipanggil polisi, diinterogasi, dan diminta menandatangani pernyataan tidak akan berkotbah lagi. Mereka menaati permintaan, tapi setelah keluar mereka berkotbah lagi.

Jelang penutupan abad ke-13 dalam kalender Islam, kelompok Juhaiman mengumumkan Mohammed Al Qahtarni — saudara ipar Juhaiman — sebagai Al Mahdi. Pada dini hari, Selasa 20 November 1979, Juhaiman dal Al Mahdi memimpin pengepungan Masjidil Haram.

Penyerang, menggunakan senjata api, tanpa kesulitan melumpuhkan penjaga yang bersenjata pentungan. Nilai-nilai sakral tempat ibadah ternoda. Darah tumpah di lantai suci masjid.

Korban berjatuhan; petugas keamanan dan jemaah. Total korban jiwa mencapai 100 selama dua pekan pengepungan dan pertempuran di dalam masjid.

Pemerintah Arab Saudi menggunakan berbagai pendekatan. Salah satunya mengeluarkan imbauan dengan kutipan ayat ayat Alquran. Juhaiman merespon dengan menempatkan sniper di menara masjid, dan menembakan orang-orang di luar tempat ibadah.

Raja Khaled mengumpulkan seluruh ulama senior kerajaan dan membahas masalah ini. Ulama setuju para agresor dianggap murtad, karena seorang Muslim tidak pernah membunuh orang tak bersalah.

Keputusan ulama disiarkan. Raja Khaled memerintahkan penyerangan dan sandera harus diselamatkan. Dia juga meminta Ka’bah tidak ternoda sedikit pun.

Hizam Al-Mastouri, saksi mata peristiwa itu, mengatakan; “Kami memasuki Masjidil Haram dengan kendaraan militer untuk mengangkut rekan-rekan dari Marwa. Peluru berhempuran ke segala arah.”

Juhaiman, lanjut Al-Mastouri, bersembunyi entah di mana. Pasukan Saudi tak bisa melihat, tapi Juhaiman bisa melihat kami dan menembak. Sesuai instruksi raja, semua penyerang kalau bisa ditangkap hidup hidup.

Setelah beberapa hari, pasukan Arab Saudi menguasai Masjidil Haram. Menangkap semua penyerang, dan sang pemimpin.

******

Kini, 40 tahun setelah insiden itu, Hathal bin Juhayman Al-Otaibi — putra Juhaiman Al-Otaibi — baru saja dipromosikan sebagai kolonel Pengawal Nasional Arab Saudi. Seperti ayahnya, Hathal juga radikal.

Hathal baru berusia satu tahun ketika ayahnya membuat gempar dunia, dengan menyerang Masjidil Haram.

Di media sosial, promosi Hathal disambut positif. Salah satunya berbunyi promosi Hathal sebagai kolonel adalah contoh keadilan oleh pemerintah Arab Saudi.

Hathal, putra ekstremis dan radikal, menjadi bagian integral aparat keamanan.

Back to top button