Tjan Tjoe Siem, ‘Sang Arjuna’ yang Disia-sia Negara
JAKARTA—Fitnah, atau setidaknya syak wasangka tak jarang merugikan bukan hanya orang yang menjadi korban. Seringkali, tanpa disadari negara juga merugi karena potensi besar warganya dikebiri.
Itu juga yang terjadi pada Profesor Tjan Tjoe Siem, seorang Cina Muslim kelahiran Solo, 3 April 1909. Keluarga tersebut terkenal, salah satunya karena paman Tjoe Siem, Tjan Kong Sing, berjasa besar membantu Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa 1825 – 1830. Kong Sing kemudian berganti nama menjadi Prawirasetja dan menikah dengan salah satu kerabat Pangeran Diponegoro.
Siem termasuk generasi pertama intelektual Indonesia yang pasti berpendidikan luar negeri. Siem muda berangkat ke Universitas Leiden pada tahun 1930 setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Di tahun 1940-an itu Universitas Leiden hanya mencatatkan dua nama etnis Cina dari Indonesia, Tjan Tjoe Siem dan Tjan Tjoe Som. Keduanya kakak beradik. Siem dikenal sebagai javanolog dan islamolog, sedangkan Som sang kakak dikenal sebagai seorang sinologi sekaligus ahli hukum Islam yang sama-sama mengabdi di Universiteit Indonesie sekembalinya dari Leiden.
Siem yang juga sangat tertarik pada hokum Islam itu mempertahankan disertasinya,” Hoe Koeroepati zich zijn vrouw verwerft ‘Lakon Sang Kurupati Rabi’” di Universitas Leiden, pada 1938, yang memberinya gelar Phd bidang studi-studi ketimuran (Oriental Studies). Siem mengambil naskah terakhir dari enam naskah Jawa kuna sebagai bahan disertasinya. Naskah tersebut berkisah tentang lakon wayang pernikahan Suyudana atau Duryudana, raja para Kurawa yang diambil dari Mahabharata. Sepulang dari Leiden, Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem menjadi taalambtenaar (pegawai negeri di bidang bahasa) di Yogyakarta. Ia pun sempat menjadi guru di Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta, yang salah satu muridnya adalah Rosihan Anwar.
Pada 1954 – 1958 Tjoe Siem menjadi guru besar Bahasa Jawa Moderen di Jurusan Nusantara Fakulteit Sastra Universitet Indonesia, dan menjadi dekan Fakulteit Sastra Universiteit Indonesia pada 1960–1965.
Siem dikenal sebagai sosok yang sederhana dan membumi. Ia terkenal ramah, terbuka, selain tentu saja berwawasan luas. Ia kadang dijuluki ‘sarjana yang sujana (berkarakter baik)’. Siem, orang ‘non pribumi’ yang ahli Jawa itu sangat menguasai bahasa Jawa Kuna sekaligus falsafahnya. Kegemaran itu diturunkan dari ibunya, yang tak hanya menguasai sastra Jawa, namun juga seorang ahli Aquran. Siem, sebagai hali Jawa, tentu menguasai cara-cara ‘nembang’ dan sering melakukan hal itu bersama murid-muridnya. Siem juga gemar mengajak para mahasiswanya menyaksikan pertunjukan wayang, yang saat itu sering pula ditonton Presiden Soekarno.
Gerakan 30 September/PKI menjadikan ahli dirinya berada dalam titik terendah kehidupannya. Pada tanggal 10 November 1965 berdasarkan surat Dekan FS UI No: S/18/FS/XI/Pedek.II/65 mengenai pembebasan sementara dari segala tugas dan kewajiban di FS UI, serta surat rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965, Tjoe Siem bersama sang kakak Tjoe Som dinonaktifkan dari dunia akademisi. Mereka kemudian disebut oknum-oknum kontrarevolusioner. Dalam seruan tersebut disebutkan kategori para oknum yaitu “…orang-orang yang menjadi ketua/anggota pengurus pusat HSI, anggota pimpinan Universitas Republica, pengajar Aliarham, Ronggowarsito, Multatuli, Universitas Rakyat dan Lekra.”
Sementara sang kakak dipecat dari posisinya sebagai guru besar di Universitas Indonesia karena dianggap berhubungan dengan salah satu gerakan underbouw PKI, Tjoe Siem pun didesak mengundurkan diri dari Fakultas Sastra. Untunglah, emas tetaplah emas. Ia ditawari sebuah universitas di Singapura untuk mengajar. Karier Tjoe Siem pun berlanjut di Singapura, menjadi guru besar bidang ‘Malay Studies’ pada Universitas Nanyang–Singapura.
Pada tahun 1969, Siem menikah dengan Soelastri Soerowardoyo. Siem dan Soelastri sudah bersahabat sejak lama. Pada saat Siem menjadi dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1954, Siem dekat dengan Soelastri yang menjadi sekretaris fakultas. Perasaan Siem kepada Soelastri sempat terhalang karena Sulastri tidak diizinkan orang tuanya menikah dengan orang beretnis Tionghoa. Keduanya baru menikah setelah orang tua Sulastri meninggal.
Yang menarik, sehari-harinya Siem menjuluki Sulastri sebagai Dewi Sembodro (Subadra). Pernikahan itu pun membuat Siem kerap menyanyikan tembang tentang Dewi Subadra. Siem sendiri tidak hadir dalam akad nikah itu karena tengah berada di Singapura. Siem hanya mewakilkan dirinya dengan mengirim sebilah keris. Tak lama Sulastri menyusul ke Singapura sebagai istri. Penantian Prof Tjan Tjoe Siem untuk menikah dengan Sulastri pun selesai. Itu pula yang membuatnya dijuluki ‘Eeuwige de Bruidegom’ atau pengantin abadi.
Pada 1973 Tjoe Siem pensiun dan kembali ke Indonesia. Jiwa akademisinya mendorongnya untuk terus mengabdi di bidang Pendidikan. Ia diterima mengajar di IAIN Sunan Kalijaga pada 1978. Tak lama kemudian, pada 30 Desember 1978, Tjan Tjoe Siem meninggal dunia di usia 69, saat mengambil air wudlu. Tjan Tjoe Siem dimakamkan di Solo, berdampingan dengan Tjan Tjoe Som sang kakak yang meninggal lebih dulu, 1969.
Tjoe Siem tergolong intelektual yang produktif. Buku-buku yang ditulisnya antara lain, ‘Hoe Koeroepati zich zijn vrouw verwert, terbitan Leiden, 1938. ‘Javaansche kaartspelen: bijdrage tot de beschrijving van land en volk, pada 1944, ‘Masques Javanais pada 1960; ‘Azas-azas Hukum Islam: Dikuliahkan untuk tingkat sardjana muda pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, 1963; “Kumpulan kuliah-kuliah: Studies of Islam pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogjakarta, bersama Amir Hamzah; dan sebagainya. [ ]