Diskusi Publik #PapuanLivesMatter Ceroboh dan Pembicara Tidak Layak
JAKARTA — Universitas Indonesia (UI) anggap pembicara dalam “Diskusi Publik: #PapuanLivesMatter Rasisme Hukum di Papua” yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI pada Sabtu (6/6/2020) malam tidak layak. Hal tersebut disampaikan Kepala Biro Humas dan KIP Universitas Indonesia (UI), Amelita Lusia.
“Pertimbangan dan perencanaan yang tidak matang, diikuti dengan kecerobohan dalam proses pelaksanaannya, telah menyebabkan diskusi yang diselenggarakan oleh BEM UI tersebut menghadirkan pembicara yang tidak layak,” Amelita dalam keterangan tertulis, Ahad 7 Juni 2020.
Ada tiga pembicara yang diundang dalam diskusi tersebut, yaitu Pegiat HAM dan aktivis isu Papua Veronica Koman, Pengacara HAM Papua Gustaf Kawer, dan seorang mantan tahanan politik Papua. Sedang Ketua BEM UI, Fajar Adi Nugroho, bertindak sebagai moderator.
UI menganggap diskusi yang digelar secara daring tersebut melanggar peraturan dan tata cara yang ditetapkan kampus sebab proses perancangan diskusi yang tidak cermat. Materi diskusi ini pun disebut tidak berpijak pada kajian ilmiah.
Diskusi ini juga dipandang tidak cukup kuat untuk dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan akademik yang baik sebab materi diskusi ini pun disebut tidak berpijak pada kajian ilmiah. Selanjutnya UI t mengatakan bahwa diskusi tersebut bukan pandangan resmi kampus.
“Bersama ini dinyatakan bahwa kegiatan diskusi tersebut, berikut apapun yang dibahas dan dihasilkan, tidak mencerminkan pandangan dan sikap UI sebagai suatu institusi dan tidak menjadi tanggung jawab UI,” tulis Amelita.
Topik yang dibahas dalam diskusi tersebut adalah kasus hukum terhadap tujuh pemuda Papua yang melakukan aksi anti-rasisme pada Agustus 2019 di Jayapura. Mereka adalah empat mahasiswa yakni Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, dan Irwanus Urobmabin. Kemudian Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB Mimika Steven Itlay, dan Ketua Umum KNPB Agus Kossay.
Veronika Koman, yang menjadi salah satu pembicara pada diskusi tersebut, dalam cuitannya lewat akun @VeronicaKoman mengatakan bahwa hendaknya pihak UI jelas menyebut siapa yang dimaksud “pembicara yang tidak layak tersebut”.
“Tunduk di bawah tekanan silakan, tapi jangan sakiti perasaan masyarakat Papua. Kalau ‘pembicara yang tidak layak’ itu maksudnya saya, sebut nama saya. Supaya tidak disangka sebagai narsum dua orang Papua lain. Tidak ada yang lebih ahli tentang Papua selain orang Papua sendiri,” cuitnya pada Minggu (7/6/2020) pukul 16.56.
Unggahan tersebut merupakan komentar untuk retweet-nya atas cuitan @Jasmineusfr yang mengunggah tangkapan layar surat siaran pers resmi Universitas Indonesia.
Dalam persoalan Papua, nama Veronica Koman memang sudah tak asing lagi. Pengacara dan aktivis HAM yang kini tinggal di luar negeri ini ditetapkan Polisi sebagai tersangka untuk kasus provokasi asrama Papua di Surabaya 2019 lalu.
Black Lives Matter dan Papuan Lives Matter
Gelombang gerakan Black Lives Matter (BLM) telah menginspirasi dan menjadi seruan untuk aktivis pro-Papua di Indonesia. Channelnewsasia memberitakan Pengguna media sosial Indonesia telah mengadopsi tagar #PapuanLivesMatter bersama #BlackLivesMatter.
Tuduhan diskriminasi telah berlangsung selama beberapa dekade di provinsi Papua dan Papua Barat yang terpencil namun kaya sumber daya alam dan gerakan BLM dianggap merefleksikan perlakuan aparat keamanan kepada orang Papua.
Sebelumnya, Veronika Koman dalam diskusi #BLACKLIVESMATTER DAN PAPUA di kanal youtube FRI-WP Media yang diunggah Minggu (31/5/2020) menyatakan bahwa kejadian di US saat ini sama dengan kejadian Papua tahun lalu, bukan karena satu kejadian. US sekarang bukan karena George Floyd mati dibunuh polisi, tapi karena banyak sekali orang kulit hitam dibunuh secara brutal begitu saja dengan dan meledaklah.
Banyak yang membandingakn kasus kematian George Floyd di Minnesota dengan kasus Obby Kogoya tahun 2016 ketika terjadi pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016. Saat itu aparat keamanan menginjak kepala dan menarik hidung Obby sehingga memicu kemarahan orang-orang Papua.
Demikian juga ketika terjadi peristiwa penggerudugan Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan Surabaya oleh warga dan ormas di Surabaya yang mendengar isu bahwa mahasiswa asal Papua tidak mau memasang bendera Merah Putih. Saat itu terlontar ejekan rasis, seperti monyet, babi dan anjing.
Dampak dari peristiwa di Surabaya memicu unjuk rasa di Manokwari, Papua Barat dan melebar ke Sorong, Papua. Sampai kemudian para petinggi negara, termasuk Presiden Joko Widodo turut meredam kemarahan warga Papua yang kecewa terhadap perlakuan masa kepada mahasiswa Papua di Surabaya.
“Tidak ada banyak kesadaran dari umumnya orang Indonesia bahwa ada rasisme terhadap orang Papua. Kebanyakan orang Indonesia menganggap Papua sebagai masalah separatisme. Begitulah cara pemerintah membingkai masalah ini selama beberapa dekade.” Kata analis politik Indonesia Yohanes Sulaiman menanggapi persoalan Papua, seperti dikutip dari channelnewsasia
Di lain kesempatan, Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw telah mengingatkan anggotanya menghindari terjadinya rasisme saat bertugas. Dia mewanti-wanti kasus rasisme yang dialami George Floyd di Amerika Serikat (AS) jangan sampai terjadi di Papua.“Kejadian rasis di Amerika Serikat yang dilakukan oleh oknum anggota Polisi saya harap jangan sampai terjadi di sini,” kata Paulus Waterpauw, seperti ditulis detiknews pada Rabu (3/06/2020).