Perempuan India Diminta Tunda Aborsi Selama Pandemi Covid
Perempuan hamil dari keluarga miskin sering melakukan aborsi medis secara mandiri tanpa edukasi yang memadai sebagai jalan pintas, yang justru berpotensi menimbulkan penyakit atau infeksi rahim.
NEW DELHI-Otoritas kesehatan India meminta perempuan India yang tengah hamil untuk tidak melakukan aborsi. Himbauan itu disampaikan otoritas kesehatan India sejalan dengan tingginya permintaan aborsi ditengah pandemic Covid-19 yang angka kasus barunya masih tinggi.
Otoritas kesehatan juga berdalih bahwa larangan aborsi itu agar para tenaga kesehatan focus menangani pasien Covid-19.
Budaya patriarki yang mengakar di India, tidak menginginkan anak perempuan, menyebabkan tingginya angka aborsi tersebih sejak 1990-an dimana tersedia teknik USG. Banyak perempuan hamil di India lebih memilih aborsi dari pada ‘berjudi’ mengenai jenis kelamin anak yang tengah dikandungnya. Data penelitian menyebut sekitar 15,6 juta kasus aborsi di India setiap tahunnya.
Dilansir dari Reuters, Senin (13/7/2020), terdapat 1,85 juta angka aborsi di India sepanjang pandemi Covid-19 dalam rentang Januari-Juni. Angka inipun masih termasuk rendah dalam kurun waktu setengah tahun jika dibandingkan angka aborsi tahun-tahun sebelumnya.
Dengan adanya aturan pembatasan pelayanan aborsi secara medis di fasilitas kesehatan selama pemberlakukan lockdown akibat Covid-19, baru diketahui trend aborsi selama ini. Selanjutnya otoritas kesehatan India mendorong wargamemanfaatkan alat kontrasepsi atau mengonsumsi pil penggugur kandungan sebagai cara aborsi.
Selama ini perempuan India menggunakan aborsi dengan meminum pil penggugur kandungan namun pilihan tersebut kerap gagal. Sedangkan, cara kedua adalah menjalanin aborsi secara medis.
“Dalam trimester pertama, saya mendengar ada kasus penolakan aborsi di rumah sakit pemerintah. Para dokter akan meminta mereka untuk menunggu beberapa pekan lagi. Kami harus menemukan dokter lain yang bisa membantu perempuan ini,” kata Dr Shilpa Shroff dari Kampanye Aborsi Aman Asia.
“Dia (perempuan) marah dan menangis. Kami merujuknya ke rumah sakit pemerintah terdekat, tahu betul bahwa kebanyakan akan membiarkannya. Sebagian besar klien kami mengeluhkan hal itu,” kata Vijaylaxmi Rao yang menjalankan Klinik Asosiasi Keluarga Berencana. Yang sering menghadapi dilema menghadapi perempuan dari komunitas pertanian yang tak ingin melanjutkan kehamilannya.
“Banyak perempuan dari komunitas pertanian dan tidak ingin memiliki anak lagi. Sekarang mereka dipaksa untuk melanjutkan kehamilan mereka,”.
(tvl)