POTPOURRI

Kerasnya Para Sahabat Rasul Menjaga Kehormatan Diri

“Itulah kemuliaan pribadi saudaramu itu. Ia tidak mau menyebarkan kesulitannya supaya diketahui dan dikasihani. Karena itu, kalau engkau sekarang sudah tahu dan masih makan enak sendirian tanpa melayangkan ingatanmu kepadanya, sungguh engkau ini seorang Yahudi atau kafir.  

JERNIH—“Biasanya Rasulullah selalu minum susu atau lain-lainnya setiap kali berbuka puasa. Beliau memang memperbanyak minum kalau bersantap,” kata Anas bin Malik mengisahkan kehidupan Nabi yang bersahaja, tetapi senantiasa rapi dan teratur.

“Pada suatu ketika aku mempersiapkan minuman untuk berbuka. Ketika itu aku msih tinggal di rumah beliau. Sengaja kusediakan secawan susu bagi Rasulullah yang sejak petang sebelumnya belum pulang. Namun ternyata sampai lewat waktu berbuka Rasulullah belum juga datang,” kata Anas.    

“Karena itu, susu tersebut kuminum habis, sebab aku menduga pasti Rasulullah mendapat undangan berbuka puasa di salah satu rumah sahabatnya. Begitu pula makanan yang kusediakan bagi beliau, kumakan habis daripada menjadi dingin.”

Anas bin Malik berhenti sejenak. Matanya membasah. Lalu dengan tersendat-sendat ia melanjutkan.

“Menjelang larut malam Rasulullah tiba dari perjalanannya yang lebih dari sehari semalam. Ia disertai seorang sahabat yang sering mengiringkan kepergiannya. Kutanya sahabat tersebut apakah Rasulullah telah berbuka puasa. Sahabat itu menggeleng dan berkata bahwa Rasulullah hingga saat itu baru meminum secawan air putih.”

“Oh, tentu saja aku menyesal dan kebingungan. Aku juga kasihan kepada Nabi. Tentu beliau kelaparan dan haus. Tetapi kemana aku harus mencari susu dan makanan di tengah malam begitu? Untunglah, sampai terbit fajar Rasulullah tidak minta apa-apa. Aku lega, namun aku pun sangat terharu akan kearifan dan kebijakannya.”

Demikianlah sikap yang diajarkan Nabi kepada para penerus dan pewarisnya, yaitu menjaga muruah atau kehormatan orang lain yang hendaknya amat diutamakan. Apalagi menjaga kehormatan diri sendiri.

Misalnya yang dialami Jawad al-Amili ketika ia sudah siap hendak menikmati makan malamnya. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, persis manakala ia akan menyuapkan sepotong roti. Ia pun mengurungkan makannya dulu dan membuka pintu.

Ternyata yang datang adalah pelayan seorang ulama kaya bernama Bahrul-Ulum. Pelayan itu berkata,” Tuan, ditunggu majikan saya untuk bersantap malam bersama.”

Jawad segera berganti pakaian, lantas bergegas memenuhi undangan itu. Tiba di sana, hidangan mewah tersedia di atas talam. Seolah-olah air liurnya meleleh karena perutnya sudah keroncongan. Tetapi apa yang ia dengar dari mulut Bahrul Ulum? Bukan kalimat sopan mempersilakan, malahan teguran yang cukup keras.

“Apakah engkau tidak takut kepada Allah, tidak taqarub kepada-Nya? Tidak malu di hadapan-Nya?”

Jawad terkejut setengah mati. Tergagap, ia bertanya. “Apa maksudmu?”

Bahrul Ulum menjelaskan, “Salah seorang saudara engkau tidak mampu membeli beras atau gandum untuk menghidupi keluarganya. Ia hanya sanggup memberi mereka makanan sehari-hari berupa kurma kering. Itu pun ia mengutang dari seorang juragan, dua kali sehari, pagi dan malam saja karena memang ia sangat tidak mampu. Baru saja aku mendapat kabar bahwa juragan itu tak mau lagi memberinya utangan kurma kering sebagaimana biasa. Dengan keras pula juragan itu berkata,” Utangmu sudah kelewat banyak.”

“Dia, saudaramu itu, tidak saja merasa malu, tapi juga sedih. Bagaimana ia harus memberi makan keluarganya malam ini? Maka alangkah hinanya engkau kalau berfoya-foya dengan makanan serba lezat sementara saudaramu itu menahan laparnya sampai pagi.”

“Demi Allah, aku tidak tahu keadaannya semiskin itu,” kata Jawad. “Ia tidak pernah bercerita atau pun mengadu kepadaku.”

“Itulah kemuliaan pribadi saudaramu itu. Ia tidak mau menyebarkan kesulitannya supaya diketahui dan dikasihani. Karena itu, kalau engkau sekarang sudah tahu dan masih makan enak sendirian tanpa melayangkan ingatanmu kepadanya, sungguh engkau ini seorang Yahudi atau kafir. Dan yang membuatku marah sekali adalah keteledoranmu yang tak pernah melihat-lihat atau memantau bagaimana kedadaan saudara-saudaramu.”

Kemudian Bahrul menyerahkan talam berisi makanan serba mewah tersebut. “Sekarang biarlah pelayanku membawa talam ini bersama engkau ke rumah saudaramu. Ajaklah dia dan keluarganya makan bersama. Ini sejumlah uang, sisipkan diam-diam ke bawah kasurnya.”

Sesudah itu Bahrul Ulum memperingatkan. “Ketahuilah, aku tidak akan makan sampai engkau kembali ke mari dan memberi tahu bahwa saudaramu dan keluarganya sudah kenyang menikmati hidangan itu.”

Berangkatlah Jawad bersama pelayan Bahrul Ulum ke rumah saudaranya. Begitu berhadap-hadapan dengan tuan rumah, Jawad berkata,” Aku ingin makan malam bersamamu sekeluarga.”

Setelah duduk menghadapi talam itu, saudara Jawad berkata,”Ini pasti bukan makanan engkau sendiri karena terlalu mewah,tidak sesuai dengan kondisi penghidupanmu. Maka bila engkau tak menceritakan dari mana asal-usulnya, dan aku tidak yakin akan kehalalannya, jangan aku dan keluargaku akan menyentuhnya.”

Terpaksalah Jawad menceritakan peristiwanya. Meskipun hatinya kurang puas, saudara Jawad itu mau menikmati hidangan yang sangat lezat tersebut. Sesudah selesai, ia berkata,”Demi Allah, tak seorang pun tetanggaku yang mengetahui kemiskinanku kecuali Si Juragan penjual bahan makanan itu.” [ ]

Dari “Hikmah Ketulusan”, KH Abrurrahman Arroisi, Penerbit Remaja Rosdakarya, 1990

Back to top button