Obat Baru Hepatitis C Tiba Bulan Depan
Jakarta – Kabar gembira bagi penderita hepatitis C. Setelah selama pandemi virus corona (Covid-19), Indonesia mengalami kehabisan obat hepatitis C, dijadwalkan obat tersebut akan tiba di Indonesia pada Agustus 2020.
Obat-obatan Direct Acting Antiviral (DAA) akan didatangkan dalam waktu dekat oleh Kementerian Kesehatan. Demikian dikatakan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Achmad Yurianto, Selasa (28/7/2020) saat peringatan Hari Hepatitis Sedunia secara online.
Ia mengakui, proses impor obat yang dikenal sebagai obat oral ini terkendala selama pandemi. “Negara asalnya ada lockdown jadi sempat terkendala, sekarang ada kepastian bahwa obat-obatan tersebut akan didatangkan pada Agustus. Administrasi sudah diselesaikan,” ungkap Ahmad Yurianto.
Segala sesuatu terkait perizinan, lanjut Yuri, sudah diselesaikan. Seperti administrasi di system e-catalogue dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) hingga izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) semuanya sudah rampung. Sehingga tahap awal dengan cara impor ini bisa dilakukan. “Ke depan kita berharap obat ini bisa diproduksi di dalam negeri untuk menekan biaya,” ungkapnya.
Hepatitis C sejak 2012 sudah bisa disembuhkan menggunakan DAA. Obat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan Interferon yang sudah sejak lama digunakan untuk pengobatan hepatitis C di Tanah Air. Tingkat kesembuhan dari DAA mencapai 96 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Interferon yang tingkat kesembuhannya tak lebih dari 66 persen. Selain itu, masa pengobatan yang dibutuhkan hanya 12-24 pekan dengan efek samping jauh lebih rendah dibandingkan dengan Interferon dengan masa pengobatan selama 48 pekan.
Efek samping yang ditimbulkan oleh DAA terbilang ringan. Salah satu jenis DAA, yakni Sovobusvir efek sampingnya tak lebih dari insomnia, anemia, sakit kepala, dan muntah-muntah.
Sementara itu, efek samping yang ditimbulkan oleh Interferon di antaranya adalah demam, malaise, kelelahan, dan nyeri otot. Obat tersebut juga dikenal bersifat toksik atau memberikan efek buruk terhadap hati, ginjal, sumsum tulang, dan jantung.
Pengobatan hepatitis C menggunakan DAA juga hanya membutuhkan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) hepatitis C RNA (ribonucleic acid) sebanyak tiga kali. Pada pengobatan menggunakan Interferon pemeriksaan yang harus dilakukan sebanyak empat kali.
Kelemahan dari penggunaan DAA untuk pengobatan hepatitis C adalah harganya yang terlampau tinggi. Di Amerika Serikat (AS) misalnya Sofosbuvir dibanderol dengan harga US$1.000 per pil atau US$84.000 untuk pengobatan selama 12 pekan.
Walaupun demikian sudah tersedia DAA versi generik dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Sebagai contoh di China tersedia DAA kombinasi Sofosbuvir dan Velpatasvir dengan harga US$10.000 untuk pengobatan selama 12 pekan.
Kemudian di India tersedia pula Sofosbuvir versi generik yang diproduksi di negara tersebut dengan harga US$100 per pilnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat Indonesia yang mengidap hepatitis C akhirnya memutuskan untuk berobat ke India. [*]