“Percikan Agama Cinta”: Di Setiap Relung Waktu, Ada Cahaya Tersimpan
Ia hanya perlu membuka paruhnya. Kemudian terbang mengejar secercah cahaya yang tersembunyi di dalam riak.
JERNIH—Saudaraku,
Sungguh kasih sayang-Mu adalah samudra tak kenal batas. Di tengah alun itu, kehidupan terus bergerak menyambangi cahaya Sang Mahacinta. Semesta pun bersulih: bersimpuh dan bertasbih dalam bena pelukan cahaya di atas cahaya. Frekuensi cahaya itu menerangi dunia yang berkelahi melukai waktu. Menyaksikan setan-setan menyelusup relung-relung manusia serba-putih, para penipu agama yang sedang tunduk-lesu karena terpenjara waktu.
Mereka melukis dosa-dosa. Bagaikan sebongkah tanah liat yang dicengkeram di antara paruh seekor merpati. Ia hanya perlu membuka paruhnya. Kemudian terbang mengejar secercah cahaya yang tersembunyi di dalam riak.
Wahai hamba, yakinlah. Di setiap sudut waktu ada cahaya tersimpan. Di mata para perindu cinta, cahaya itu terurai di mana-mana. Bahkan di dalam diri kita sendiri. Karena itu, kita tak perlu mengejar cahaya sampai di ujung spektrum. Namun karena hati kita tersumbat oleh debu-debu kebencian yang demikian membatu, pantulan cahaya itu terhijab kabut gelap. [Deden Ridwan]