POTPOURRIVeritas

Di India Era Modi, Tokoh Muslim di Masa Lalu Bukanlah Pahlawan

Sejak BJP berkuasa pada 2014, partai itu secara rutin meremehkan Mughal sebagai penjajah Muslim yang keji dan memuji kebajikan peradaban Hindu pra-Mughal. Kerajaan Mughal jatuh pada tahun 1857, dan India pun—kini dengan bangga, dijajah Inggris.

JERNIH—Pelan tapi pasti hati yang teracuni akan juga membusukkan kepala, membuat produk apa pun yang dibuat alat berpikir itu terdegradasi kebencian membabi-buta. Semua hal itu kini terjadi di India, di milenium ketiga saat seharusnya peradaban tengah tinggi-tingginya.  

Selama 300 tahun sejak abad ke-16 dan seterusnya, India diperintah oleh Dinasti Mughal– namun museum baru yang dimaksudkan untuk merayakan bagian dari sejarah negara itu kini menjadi bahan perdebatan sengit. Museum Mughal, seperti nama aslinya, sedang dibangun di Agra—lokasi dari bangunan tua dan terkenal di India, Taj Mahal.

Dirancang oleh firma arsitek Inggris, David Chipperfield di Berlin, bangunan itu dianggap sebagai pameran artefak dan budaya Mughal–sampai salah satu anggota Partai Bharatiya Janata, partai Perdana Menteri Narendra Modi, dengan sangat  bersemangat terlibat.

Yogi Adityanath adalah kepala menteri negara bagian Uttar Pradesh, tempat Agra berada, dan pada Senin lalu mengumumkan bahwa museum akan diganti namanya menjadi Shivaji—nama seorang raja pejuang Hindu yang menurut para ilmuwan,  hubungannya dengan kota itu sangat lemah.

“Bagaimana Mughal bisa menjadi pahlawan kita?” kata Adityanath saat mengumumkan perubahan nama. Ia mengatakan, “apa pun yang berbau mentalitas tunduk” akan disingkirkan oleh BJP. Orang-orang BJP berkeyakinan bahwa dinasti Mughal adalah “penjajah asing” yang “memperbudak” orang-orang Hindu.

Para sejarawan tentu saja bereaksi dengan cemas atas pengumuman tersebut, kalau pun tidak semaput karena terkejut. Sejak BJP berkuasa pada tahun 2014, partai itu secara rutin meremehkan Mughal sebagai penjajah Muslim yang keji dan sebagai gantinya memuji kebajikan peradaban Hindu pra-Mughal. Kerajaan Mughal akhirnya jatuh pada tahun 1857, setelah itu Raja Inggris menjadi kekuatan tertinggi di India. Tepatnya, India dijajah Inggris sepeninggal Mughal.

Manimugdha Sharma, penulis buku terbaru tentang kaisar Mughal awal Akbar Agung berjudul “Allahu Akbar: Understanding the Great Mughal in Today’s India”, menyebut penolakan Adityanath untuk melihat Mughal sebagai pahlawan adalah hal yang ironis. “Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa Mughal bukanlah pahlawan ketika, di antara kontribusi besar mereka selama berabad-abad, mereka memberi kami Taj Mahal, monumen paling terkenal di negara ini?”kata dia, retoris.

“Bahkan jika Anda mengabaikan yang lainnya, Mughal memberi kami monumen yang mempopulerkan India ke seluruh dunia, jadi bagaimana Anda bisa mendamaikan semua itu?”

Aktivis hak-hak sipil Srinath Rao lebih jauh menunjuk pada bagaimana “Modi berdiri di atas Benteng Merah di New Delhi untuk berbicara kepada bangsa” setiap tahun untuk merayakan Hari Kemerdekaan. “Jika dia merasa sangat kuat, dia harus mencari tempat lain,” katanya.

Para pemerhati Modi melihat bahwa penggantian nama Museum Mughal itu sebagai upaya lain untuk membagi India menjadi Hindu dan Muslim. Mereka mengatakan BJP tidak bisa berhenti memainkan politik komunal, memfitnah 200 juta Muslim di negara itu–yang merupakan sekitar 14,2 persen dari populasi– dan nenek moyang mereka untuk memenangkan suara Hindu. Pendukung partai itu secara rutin menggunakan Twitter untuk menggambarkan Muslim sebagai “penjajah yang membenci Hindu dan membunuh Hindu”.

Peradaban Hindu, pada gilirannya, digambarkan sebagai yang istimewa dan unik, sementara penjajahan Inggris dan pemerintahan India selama hampir satu abad gagal menarik kemarahan atas penaklukan Mughal.

Adityanath–seorang biksu Hindu yang mengenakan jubah kunyit dan tidak merahasiakannya sebagai pemimpin religius, bukan sekuler–telah mengganti nama beberapa kota di negaranya dengan nama Hindu, meskipun non-Hindu membentuk sekitar seperlima dari populasi Uttar Pradesh.

Segera setelah diangkat menjadi menteri utama pada 2017, dia mengancam akan membunuh 100 Muslim “Jika mereka membunuh bahkan satu saja orang Hindu”. Adityanath berpendapat, berhala agama Hindu harus ditempatkan secara paksa di dalam masjid,  dan bulan lalu mengatakan dia tidak akan pernah menerima undangan untuk meresmikan sebuah masjid. “Karena saya seorang Hindu”.

Kata-kata seperti itu telah membuat khawatir Muslim India, apalagi Adityanath berpeluang menjadi kepala negara bagian terpadat di India, rumah bagi sekitar 200 juta orang.

Segera setelah diangkat menjadi menteri utama pada 2017, dia mengancam akan membunuh 100 Muslim “Jika mereka membunuh bahkan satu saja orang Hindu”. Adityanath berpendapat, berhala agama Hindu harus ditempatkan secara paksa di dalam masjid,  dan bulan lalu mengatakan dia tidak akan pernah menerima undangan untuk meresmikan sebuah masjid. “Karena saya seorang Hindu”.

Menurut beberapa perkiraan, hampir 400 desa dan kota di Uttar Pradesh dinamai sejak zaman Mughal yang Islam, dan Adityanath telah mengubah nama resmi kota-kota besar seperti Allahabad dan Faizabad menjadi nama-nama Hindu.

Sumber ideologis partainya, RSS, telah menyerukan agar banyak kota dan bandara diganti namanya, sementara beberapa akademisi Hindu bahkan mengklaim bahwa Taj Mahal–yang dibangun Kaisar Mughal sebagai makam untuk istrinya– awalnya adalah kuil Hindu.

Ketidaksukaan Adityanath terhadap landmark tersebut, yang dalam waktu normal menarik lebih dari 7 juta pengunjung setiap tahun dan menghasilkan hampir 900 juta rupee (12,2 juta dolar AS) dalam pendapatan pariwisata tahun lalu, membuat pemerintahnya menerbitkan brosur pariwisata yang pada tahun 2017 lalu mengabaikan nama situs itu sendiri.

Seorang kurator museum India, yang meminta namanya dirahasiakan karena alasan keamanan, mengatakan bahwa Adityanath berusaha untuk menghapus warisan Islam di negara. “Semua peradaban adalah palimpsests dan warisan India terdiri dari banyak lapisan,” katanya, menggunakan istilah akademis untuk manuskrip, tablet, atau bahan tulisan lain yang telah digunakan lebih dari sekali.

“Tidak ada yang berhak menghapus salah satu dari lapisan itu. Bagaimana segala sesuatu tentang Shivaji dipuji dan segala sesuatu tentang Muslim direndahkan? Mereka semua adalah bagian dari warisan India.”

Sejarawan khawatir bahwa otoritas museum akan merasa tertekan untuk mengisi bangunan dengan artefak yang terhubung ke Shivaji—sementara dia pernah dipenjara di Agra,–dan sekarang namanya akan menjadi penanda tempat itu.

Penulis Mehru Jaffer, yang tinggal di ibu kota Uttar Pradesh, Lucknow, dan telah mengunjungi banyak museum terbaik dunia, mengatakan dia khawatir tentang museum yang akan dibangun di Agra.

“Apakah ini akan menjadi sejarah “potong-tempel” yang dibangun dengan mengorbankan pembayar pajak? Atau akankah ini menjadi rumah bagi informasi cerdas dan edukatif tentang masa lalu kita bersama?” dia bertanya. [South China Morning Post]

Amrit pernah bekerja untuk BBC di London, tetapi memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, India, lebih dari 15 tahun yang lalu. Selain artikel perjalanan, dia melaporkan setiap aspek masyarakat India.

Back to top button