Azwan Martin: Seorang Jembatan Ukhuwwah yang Tulus
Tak ada adzan terlantun manakala jenazah diangkat memasuki lubang kubur, lalu diterima tiga pasang tangan yang telah menanti di bawah. Sepasang di antaranya hasta Syaiful Rahman, sahabat paling karib almarhum yang sengaja datang dari Bandung. Demikian memang amanat almarhum Azwan Martin. Ia sempat berkata kepada keluarga, bila meninggal, ingin dikuburkan dengan cara-cara sederhana. Tanpa alunan bang atau adzan, di antaranya.
Sekilas wajah almarhum terlihat manakala kafan di bagian kepala disibak. Wajahnya tenang, dengan bibir yang seolah menyungging senyuman. Tak lama, karena wajah itu kemudian dihadapkan ke kiblat, seiring pipi kanannya diletakkan pada segumpal besar tanah lempung sebagai bantal. Sebelum keluar lubang, Syaiful membukai tali temali yang mengikat kafan di bagian kaki. Lengkaplah sudah jenazah kini bersatu dengan tanah: pipi dan sebagian wajah, badan yang terbungkus kafan, dan telapak kaki yang dulu senantiasa menapak bumi.
Pas saat padung atau bilah-bilah papan ditutupkan untuk memberi ruang kosong yang sempit kepada jenazah, terasa pula ada yang tercerabut di batin saya. Ada yang saya rasakan seketika lenyap dan putus. Meninggalkan bolong di jiwa: kosong, tanpa mungkin tergantikan.
Perasaan itu makin tebal waktu tanah mulai diurug ke lubang makam. Pelan saya merasa ada hangat yang mengalir basah, dari sudut mata ke pipi. Barangkali itu hasil perasan rasa di jiwa, setelah sekian puluh tahun kami berteman, saling menenggang. Putus sudah, namun menggantung dalam rasa yang tak selesai. Tak ada jaminan apa pun bahwa kelak, di alam ‘sana’ yang pekat misteri, kami bisa berjumpa dan saling menyapa.
***
Azwan Martin adalah orang Batak pertama yang menjadi teman begitu saya menjadi mahasiswa. Saya lahir dan besar di sebuah kabupaten yang-–saat itu, nyaris homogen. Hampir seluruh warga adalah ‘urang Sunda’. Satu dua orang dari suku lain di sekolah atau pun di lingkungan yang baru saya tinggalkan selepas SMA, membuat mereka menjadi semacam anomali di antara kami. Akhirnya, dalam kekurangan pengalaman itu, mau tak mau di kepala saya pun tercipta stereotype tentang suku-suku lain. Alhamdulillah, semua kesan yang tercipta dari rumors sepanjang masa kanak-kanak itu segera terpatahkan manakala saya mengenal Azwan.
Kami berkenalan saat Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) Sistem 100 jam, dan segera erat sejak awal-awal masa kuliah. Apalagi kemudian ikatan persahabatan itu kian dieratkan sebuah temali organisasi kemahasiswaan. “Kau harus ikut, Dar,” kata Azwan, menyebut sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus. Ia kemudian bercerita tentang organisasi tersebut. Saya merasa cerita itu telah lama akrab dengannya, dan didapatnya secara personal. Mungkin dari orang tua, atau paman, setidaknya dari keluarga besarnya. Saya pun pernah mendengar—atau membaca, organisasi itu dan sebagian legenda tentangnya. Tetapi itu hanya dari bacaan karena kedua orang tua tak pernah mengalami masa-masa kuliah.
Saat kuliah, tak begitu sering kami bertemu, sebenarnya. Meski sama-sama kuliah di Fakultas Ekonomi UNPAD, jurusan yang membedakan kami cukup membuat halangan untuk bertemu. Namun untunglah, kembali organisasi itu menjembatani. Apalagi kami punya para senior yang tekun merekatkan ukhuwwah di antara kami, junior mereka. Sekian banyak kegiatan dan acara digelar. Bahkan pernah sampai menyentuh anak-anak SMA, dengan mengadakan Latihan Kepemimpinan Siswa SMA di Majalengka, saat itu. Kami urunan, mengumpulkan uang untuk bensin dan keperluan lain guna menggelar training. Mobilnya pinjaman beberapa teman dan senior yang beruntung punya orang tua tergolong kaya. Saya ingat, salah seorang peserta sekaligus panitia ‘lokal’nya saat itu Widya Setiabudhi, dekan FISIP Unpad saat ini.
Benar, ghirah kami soal ukhuwwah saat itu tampaknya tengah berada pada puncaknya. Bahkan saking kentalnya passion ukhuwwah ini, organisasi kami terlibat sangat dalam untuk deklarasi ‘Tahun Ukhuwwah’ di Bandung, sekitar awal-awal tahun 1990-an itu.
Tampaknya Azwan mewarisi ghirah soal ukhuwwah itu lebih baik dari rata-rata kami. Paling tidak, sepanjang masa-masa kuliah pun dirinya kerap menjadi jembatan yang menghubungkan (lagi) pertemanan. Semacam juru damai yang selalu bisa diterima kedua atau lebih pihak yang bertikai. Umumnya dia tak pernah harus bicara banyak. Azwan memang bukan orator, ia bahkan cenderung terbata-bata saat bicara. Tapi kami tahu, dia selalu punya niat yang suci, bersih. Ingin kembali mengikat kami dalam sebuah jalinan persahabatan yang suci.
“Aku pernah baca hadits soal persahabatan ini, Dar,” kata dia, di tahun-tahun akhir kami kuliah. “Kalau tak salah baca, bisa menjamin orang Muslim masuk sorga.”
Perhatikan baik-baik argumen di atas. Benar, Azwan adalah seorang yang beragama dengan cara sederhana. Namun tulus, dan–dari waktu kemudian saya tahu, konsisten.
***
Ketika saya mendapatkan berkah dan ujian menjalani hukuman kurungan di Lapas Cipinang, Azwan termasuk orang-orang pertama yang datang berkunjung. Saya masuk Cipinang tanggal 8 Mei malam, bahkan masuk dini hari tanggal berikutnya. Mungkin karena tanggal 9 itu hari Jumat yang biasanya terasa pendek bagi kaum Muslim, Azwan tak datang hari itu. Bersama para kawan dan senior di FE Unpad dan organisasi kemahasiswaan, ia datang Sabtu, 10 Mei. Tentu saja tak bisa masuk karena Sabtu dan Minggu lapas dan rutan libur dari kunjungan.
“Bersama senior dan saudara-saudara alumni Sabang 17 ingin melihat Brother Darmawan Sepriyossa, sayang ternyata libur. Akhirnya ngobrol-ngobrol dan makan mie ayam di samping penjara,” tulisnya di laman Facebook-nya yang saya baca setelah saya bebas. Tulisan itu dia akhiri dengan doa,” Semoga brother Darmawan sehat, kuat dll..” Saya tak tahu apa yang ia maksud ‘dan lain-lain’, dan tak pernah saya tanyakan, tentu.
Hari berikutnya—tentu saja saya tahu kemudian, ia datang. Kalau tak salah bersama Syaiful Rahman dari Bandung. Saat bertemu di ruang kunjungan yang padat, Azwan memeluk saya lama. Begitu ia lepaskan, saya melihatnya agak limbung sehingga kembali saya peluk. Dari Syaiful kemudian saya tahu, Azwan baru saja terkena stroke untuk kedua kali. Saat hendak pulang, dikeluarkannya segepok uang kertas lima ribuan dari balik bajunya.
“Buat Lu di sini. Orang bilang, pecahan lima ribuan begini lebih berguna, benar?” Saya hanya bisa mengangguk dan berkaca-kaca.
Setelah itu hampir sebulan sekali ia datang berkunjung. Kadang bersama Syaiful atau Edi Pohan—sahabat kami yang lain. Namun tak jarang pula ia datang sendirian. Saya selalu mengajak Setiyardi—teman satu perkara, bila menemuinya. Azwan, entah dengan alasan apa, selalu menunjukkan penghargaannya untuk itu. Saya tak akan pernah lupa langkah-langkah kakinya yang sedikit limbung, keluar dari ruang kunjungan manakala waktu berkunjung usai. Langkah kaki yang meski goyah, seolah yakin bisa mengalahkan sisa-sisa penyakit yang sedikit demi sedikit menggerogoti kegagahannya di masa muda.
“Aku nggak sakit, Dar. Aku sehat. Aku menyetir sendiri ke sini dari rumah.” Selalu itu yang ia katakan setiap kali saya memintanya untuk tak memaksakan diri berkunjung. Bukan sekali dua saya bilang, “Kita akan ketemu lagi di luar, tak lama. Gua kan kalau kata orang-orang di sini cuma sekadar numpang kencing.” Tapi tak pernah Azwan mau mendengar permintaan saya—kami teman-temannya juga, tepatnya.
Pada 3 Januari 2019 saat saya bebas bersyarat, kawan yang pertama saya temui di luar tembok penjara, juga Azwan adanya. Ia menunggu di luar komplek berjeruji, meski masih dalam kawasan Lapas. Niatnya mengantar saya ke Cibinong dengan mobil yang ia kendarai sendiri. Untung saja saya lebih gampang menolaknya karena istri saya datang dengan membawa kendaraan. Kami sempat mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponsel yang ia bawa.
“Dari dulu gua mau ambil foto dengan Lu di sini,” kata dia. “Tapi kemarin-kemarin di dalam kan nggak mungkin.”
Seingat saya, belum pernah saya menyetir dan mengantarnya ke sebuah tujuan. Yang ada, setelah saya keluar lepas dari penjara, ia malah mengantarkan saya di malam-malam usai sebuah pertemuan dengan teman-teman alumni FE Unpad. Ia menyetir sendiri di hampir tengah malam itu, mengantar saya ke Stasiun Lenteng Agung. Itu pun setelah saya tolak saat memaksa mengantar saya sampai ke rumah di Cibinong.
***
Dari teman-teman saya mendengar belakangan–apalagi setelah pulang dari ibadah haji tahun ini, Azwan sering merenungkan arti hidup dan kematian.
“Di sana aku lebih banyak merenungkan kehidupan kelak, Mil,” tulisnya kepada junior kami, Emil Edhi Darma, via WA. “Merenungkan orang tua, sahabat-sahabat, saudara yang sudah berpulang. Mendoakan keselamatan dan kebahagiaan bagi mereka.”
Tetapi itu tak membuat Azwan jatuh menjadi seorang melankolis. Barangkali, ia lebih tepat dinilai sebagai seorang romantis. Belakangan, saya pernah membaca statusnya di Facebook. Tanpa saya sadar, ternyata ia mencermati pertemuan saya dengan istri, di saat bersamaan mengunjungi saya di Cipinang.
Di laman FB itu Azwan mengunggah lagu ‘Sepanjang Hidup’ Maher Zein, seraya menambahkan caption :
“Siang ini mengunjungi Brother Darmawan Sepriyossa di Cipinang, bertemu juga dengan istrinya…terkesan dan haru melihat pasangan ini dan romantisnya saat berpisah. Alhamdulillah, semoga keluarga ini sabar, ikhlas, dan kuat….”
***
Selasa pekan lalu saya berfoto dengan Azwan di rumah sakit. Matanya masih berbinar, tangannya mengacung terkepal di foto yang kini mengisi gadget saya. Saat itu saya yakin, kami masih akan menjalani kehidupan masing-masing ke depan.
Selasa 15 Oktober kemarin, setelah bersimpuh sejenak di tepi makam, berharap Allah memberikan segala kemudahan, saya pamit dan mengusap nisan kayu yang belum lama tertancap di situ. Berjanji untuk bertemu kembali di situ, guna menyesap segala teladan yang telah ia tapakkan di jalan dan guratkan dalam kehidupan. Untuk bertemu dalam kesunyian kami masing-masing, di alam kami masing-masing.
Selamat jalan, Azwan, sampaikan salam rindu untuk Kekasih kita….[dsy]