Tsabit bin Qais, Sahabat yang Berwasiat Setelah Kematiannya
Tsabit yang saat itu bersiap-siap untuk mati, mengambil kain kafannya dan berdiri di depan khalayak. Ia berkata, “Wahai kaum Muslimin, tidak seperti ini kami berperang bersama Rasulullah SAW. Ini sangat buruk, karena kalian membiarkan musuh kalian berani melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kalian.
JERNIH— Tsabit bin Qais al-Anshari, atau lebih dikenal sebagai Abu Muhammad, adalah seorang sahabat Nabi dari golongan Anshar. Gaya bicaranya lantang, tegas, lugas, jelas dan sangat mempesona, sehingga mampu mendatangkan simpati lawan bicaranya. Dia juga terkenal sebagai pria berpenampilan parlente, berbusana baik, kadang mengesankan ‘wah’, yang membuat orang terkesima.
Ketika dianugerahi putra pertama, Tsabit langsung membawa bayi merah itu ke hadapan Rasulullah SAW. Belialah yang memberi bay itu makanan pertama, berupa kunyahan kurma dari mulut beliau. Tsabit bin Qais mempunyai tiga orang anak laki-laki, semuanya syahid dalam membela Islam.
Ibunya seorang dari kabilah Thai, yang terkenal pandai dan cerdas. Ibunya itu yang mendorong keras para putranya untuk belajar membaca dan menulis, hingga digelari “yang sempurna”—gelar kehormatan di kalangan bangsa Arab bagi mereka yang bisa menulis, saat itu.
Di antara istri-istri Tsabit adalah Habibah binti Sahl. Seorang perempuan berwatak keras. Ia pernah datang kepada Rasulullah SAW, meminta supaya dirinya diceraikan dari Tsabit. Setelah itu Habibah menikah dengan Ubay bin Ka’ab.
Tsabit termasuk satu di antara orang-orang yang masuk Islam angkatan pertama di Yatsrib—nama sebelum Madinah. Begitu dia menyimak ayat-ayat Alquran yang penuh hikmah, yang dilantunkan seorang da’i Makkah, Mush’ab bin Umair, dengan suaranya yang syahdu, Alquran langsung menawan hatinya.
Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah sebagai muhajir—kaum yang berhijrah, Tsabit bin Qais menyambut beliau bersama sekelompok orang dari para petinggi kaumnya dengan hangat, menerima beliau dan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq dengan penuh kemuliaan. Tsabit mengucapkan khutbah di depan Rasulullah SAW dengan sebuah khutbah di mana dia mengawalinya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada Nabi-Nya.
Dia menutup khutbahnya dengan, “Kami berjanji kepadamu ya Rasulullah, akan melindungimu seperti kami melindungimu diri kami, anak-anak kami dan istri-istri kami dari setiap marabahaya yang akan menimpa. Lalu apa yang kami dapatkan sebagai balasannya?”
Nabi SAW menjawab. “Surga.”
Begitu kata surga menyentuh telinga mereka, wajah-wajah mereka mengisyaratkan kegembiraan dan raut muka mereka memperlihatkan keceriaan, mereka berkata, “Kami rela ya Rasulullah. Kami rela ya Rasulullah.”
Sejak hari itu Rasulullah Saw, menjadikan Tsabit bin Qais sebagai juru bicara beliau, sebagaimana Hassan bin Tsabit adalah penyair beliau.
Jika para delegasi datang kepada Rasulullah untuk membanggakan diri atau berdialog dengan lisan yang fasih dan lantunan kata yang merdu mendayu, baik para khatib maupun para penyairnya, maka Tsabit bin Qais maju ke depan untuk menjawab para khatib mereka, sedangkan Hassan bin Tsabit meladeni para penyairnya.
Tsabit adalah seorang laki-laki mukmin dengan iman yang dalam, bertakwa dengan ketakwaan yang bersih, sangat takut kepada Rabb-nya, sangat berhati-hati dari segala perkara yang membuat Allah SWT marah.
Suatu hari Nabi SAW melihatnya sangat bersedih dan berduka, kedua lututnya gemetar karena khawatir dan takut, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu, wahai Abu Muhammad?”
Dia menjawab, “Aku takut telah berbuat celaka ya Rasulullah.” Nabi kembali bertanya,”Mengapa?”
Dia menjawab,”Allah telah melarang kami berharap dipuji dengan sesuatu yang tidak kami lakukan, sementara aku adalah orang yang suka pujian. Allah melarang kami bersikap sombong sedangkan aku adalah orang yang mengagumi diriku.”
Lalu Rasulullah SAW berusaha menenangkan kecemasannya, sampai beliau bersabda kepadanya, “Wahai Tsabit, apakah kamu tidak rela hidup dalam keadaan terpuji, mati sebagai syahid dan masuk surga?”
Wajah Tsabit berbinar dengan berita gembira tersebut, dia berkata, “Ya wahai Rasulullah. Ya wahai Rasulullah.” Lantas Nabi SAW bersabda, “Itu milikmu.”
Ketia Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat; 2), Tsabit pun gemetar ketakutan.
Sejak saat itu Tsabit bin Qais menjauh dari majelis-majelis Rasulullah SAW sekali pun dia sangat menyintai dan berkeinginan untuk mendatanginya. Tsabit diam di rumahnya dan tidak pernah meninggalkannya kecuali hanya untuk shalat berjamaah. Rasulullah pun mencari-cari Tsabit, beliau bertanya, “Siapa yang bisa membawa berita tentangnya kepadaku?”
Maka seorang laki-laki Anshar berkata, “Aku ya Rasulullah.”
Laki-laki Anshar ini pergi ke rumah Tsabit, dan melihatnya dalam keadaan berduka dan tertunduk. Laki-laki Anshar itu bertanya, “Mengapa dengan dirimu wahai Abu Muhammad?”
Tsabit menjawab, “Buruk. Sesungguhnya kamu mengetahui bahwa aku bersuara tinggi, tidak jarang suaraku mengalahkan tingginya suara Rasulullah SAW, sementara ayat Alquran telah turun seperti yang telah kamu ketahui, aku tidak menyangka sama sekali bahwa amalku telah batal dan aku akan menjadi penghuni neraka.”
Laki-laki Anshar ini pun pamit dan menyampaikan jawaban Tsabit kepada Rasulullah. Maka Rasulullah Saw bersabda, “Pergilah kepadanya dan katakan, ‘Kamu bukan penghuni neraka. Sebaliknya, kamu adalah penduduk surga.” Sebuah berita gembira besar untuk Tsabit yang mengharapkan kebaikan di sepanjang hayatnya.
Tsabit bin Qais ikut dalam seluruh peperangan Rasulullah selain Badar. Dia menerjunkan dirinya di dalam peperangan demi mencari syahadah yang telah diberitakan Rasulullah SAW kepadanya. Dia yakin, dirinya akan mendapatkan syahadah yang dijanjikan itu.
Hingga tiba saatnya terjadi perang melawan orang-orang murtad di bawah Musailamah al-Kadzdzab di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq. Saat itu Tsabit adalah panglima pasukan Anshar, sedangkan Salim Maula Abu Hudzaifah adalah panglima orang-orang Muhajirin, dengan panglima tertinggi Khalid bin al-Walid.
Di setiap medan laga dalam perang ini terlihat keunggulan pasukan Musailamah al-Kadzdzab atas pasukan kaum Muslimin, sehingga mereka mampu menembus markas Khalid bin al-Walid dan hampir saja membunuh istrinya, Ummu Tamim. Bahkan pasukan mereka berhasil memotong tali-tali pengikat tenda markas dan memporak-porandakannya.
Saat itu Tsabit bin Qais melihat kelemahan kaum Muslimin yang membuat hatinya bersedih dan teriris. Dia mendengar kaum Muslim satu sama lain saling melemahkan dan ini membuat dadanya sempit dan berduka. Orang-orang kota menuduh orang-orang pedalaman sebagai pengecut. Sementara orang-orang pedalaman menuduh orang-orang kota tidak becus berperang dan tidak tahu memegang senjata.
Tsabit yang saat itu bersiap-siap untuk mati, mengambil kain kafannya dan berdiri di depan khalayak. Ia berkata, “Wahai kaum Muslimin, tidak seperti ini kami berperang bersama Rasulullah SAW. Ini sangat buruk, karena kalian membiarkan musuh kalian berani melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kalian. Sangat buruk, karena kalian membiasakan diri kalian dengan bersikap pengecut di depan musuh kalian.”
Lalu Tsabit mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang dilakukan oleh mereka, yakni Musailamah dan pasukannya. Aku juga berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin!”
Kemudian Tsabit merangsek maju layaknya seekor singa yang terluka, bahu membahu bersama para shahabat yang mulia lainnya, Al-Barra bin Malik al-Anshari, Zaid bin al-Khatthab–saudara Amirul Mukminin Umar bin al Khatthab, Salim maula Abu Hudzaifah dan orang-orang mukmin angkatan pertama lainnya.
Tsabit menunjukkan kepahlawanannya dengan gagah berani. Hal itu menumbuhkan semangat tempur di hati kaum Muslimin dan mulai membuat orang-orang musyrikin cemas dan ketakutan.
Tsabit terus berperang, menebaskan senjatanya ke segala arah, hingga luka-luka menghentikan aksinya yang patriotik.
Dia tersungkur di medan peperangan dengan sangat tenang sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya berupa gugur sebagai syahid. Gugur sebagai syahid dengan dada tenteram karena Allah SWT mewujudkan kemenangan besar bagi kaum Muslimin.
Dalam perang ini Tsabit memakai baju besi yang berharga. Seorang laki-laki dari kaum Muslimin melewati jasadnya, melepaskan baju besi tersebut dari tubuhnya, mengambilnya untuk dirinya.
Di malam kedua dari gugurnya Tsabit, seorang laki-laki dari kaum Muslimin bermimpi bertemu dengannya. Tsabit berkata kepada laki-laki itu,”Aku adalah Tsabit bin Qais, apakah kamu mengenalku?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Tsabit berkata, “Aku berwasiat kepadamu. Jangan berkata bahwa ini adalah mimpi agar kamu tidak menyia-nyiakannya. Ketika aku terbunuh kemarin, seorang laki-laki dari kaum Muslimin yang ciri-cirinya seperti ini melewatiku, dia mengambil baju perangku dan membawanya ke tendanya yang terletak di paling ujung dari markas kaum Muslimin dari arah ini. Dia meletakkannya di bawah sebuah bejana, lalu menutupinya dengan pelana. Datanglah kepada Khalid bin al-Walid, katakan kepadanya agar dia mengutus seseorang untuk mengambil baju besi itu karena zirah itu masih berada di tempatnya. Katakan kepada Khalid, aku mendengar orang-orang Madinah berkata,”Sesungguhnya Tsabit memikul utang sekian sekian, dan bahwa fulan dan fulan dari hamba sahayaku perlu merdeka. Hendaknya dia membayar utangku dan membebaskan hamba sahayaku.”
Laki-laki yang bermimpi itu terjaga. Dia langsung menemui Khalid bin al-Walid dan menyampaikan mimpinya. Khalid segera mengutus seseorang untuk mengambil baju besi Tsabit dari tangan orang yang mengambilnya. Saat laki-laki utusan Khalid itu kembali, tangannya menenteng baju besi tersebut.
Ketika Khalid pulang ke Madinah, dia menyampaikan berita dan wasiat Tsabit bin Qais kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, yang segera memenuhi wasiat itu.
Tidak pernah ada, sebelum atau pun sesudahnya, seseorang berwasiat setelah kematiannya, kecuali Tsabit bin Qais. [ ]
Dari: “Rijaalun wa Nisaa’un Anzalallahu fiihim Quraana”, Dr Abdurrahman Umairah