Veritas

Natal di Dua Masyarakat Bersejarah Bernama Papia

  • Mereka adalah masyarakat keturunan Portugis-India yang diberi nama Papia.
  • Kolonialisme membuat mereka terpecah menjadi dua; Papia Kristang di Melaka dan Papia Tugu di Jakarta.
  • Papia Kristang beragama Katolik, Papia Tugu memeluk Protestan.
  • Papia Tugu kehilangan Bahasa Creole. Papia Kristang berusaha memelihara bahasa nenek moyang itu mati-matian.

MELAKA — Gereja St Paul di pusat sejarah Melaka sedemikian hidup dengan versi klasik Silent Night dan versi lokal.

Versi lokal dinyanyikan Martin Theseira, penyanyi folk dan aktivis budaya Portugis-Melaka, dalam Bahasa Creole. Martin Theseira tidak sendiri, tapi ditemani Isabella Georgina, penyanyi pendatang baru.

Creole adalah bahasa campuran Melayu-Portugis, yang selama lebih 400 tahun menjadi bahasa yang digunakan masyarakat Papia di Melaka. Papia adalah masyarakat keturunan Portugis-India, komunitas yang menjadi saksi kebesaran Portugis di masa lalu.

Di Jakarta, tepatnya di Kampung Tugu Jakarta Utara, masyarakat yang sama — yang terpisah dengan leluhur di Melaka selama 400 tahun — larut dalam ibadah Natal di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) yang berusia 270 tahun.

Gereja dibangun Justinus Vinck, tuan tanah Cilincing dan pembangun Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen, tahun 1747. Vinck memberikan gereja itu ke masyarakat Papia Tugu setahun kemudian.

Di sini, tidak ada Silent Night dinyanyikan dalam Bahasa Creole. Tidak ada lagi tradisi campuran Portugis-Melayu yang mewarnai perayaan Natal.

Kristang dan Tugu

Kristang dan Tugu adalah nama yang mengidentifikasi keterpisahan mereka. Kristang adalah sebutan orang Melayu untuk Kristen. Tugu mengacu pada nama kampung tempat mereka dimukimkan oleh VOC.

Papia Kristang relatif mampu mempertahankan hampir seluruh tradisi dan budaya campuran Portugis-Melayu-India. Kepada sesama, mereka bicara Bahasa Creole, sering disebut Bahasa Papia Kristang.

Di Jakarta, komunitas Papia Tugu kehilangan Bahasa Creole setelah Yacobus Quiko, penutur terakhirnya, meninggal tahun 1978. Tidak ada upaya untuk menggali Bahasa Creole dan mengajarkannya kembali ke anak-anak.

Andre Juan Michiels, salah seorang tokoh masyarakat Papia Tugu, mengatakan pernah ada upaya dari Kedubes Portugal untuk mengajarkan Bahasa Portugis kepada penduduk tapi gagal.

Creole, menurut Michiels, berbeda dengan Bahasa Portugis. Creole adalah campuran Melayu dan Portugis. Kedubes Portugal mengajarkan Bahasa Portugis.

Takdir Sejarah

Mayarakat Papia muncul di era kajayaan Portugis sebagai penguasa lautan. Pelaut Portugis membawa orang-orang dari Goa, sekeping wilayah jajahan Portugis di India, untuk dinikahkan dan menetap di Melaka.

Melaka saat itu adalah pos dagang penting dalam sistem kekaisaran maritim Portugis. Di sekitarnya, masyarakat hasil kawin campur Portugis-India dan Portugis-Melayu membangun sejarahnya.

Mereka mengembangkan bahasa dan tradisi sendiri, terpisah dari masyarakat Melayu di sekitarnya.

Tahun 1641, VOC menaklukan Melaka. Dom Luiz Martin da Sousa Chichorro, gubernur Melaka Portugis, ditawan. Bersama istrinya, Dona Maria da Silva, Sousa Chichorro dibawa ke Batavia.

Keduanya, bersama sejumlah orang Papia Kristang, dimukimkan di wilayah yang saat ini bernama Roa Malaka, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Di Batavia, Papia Kristang menjadi budak VOC.

Namun, creole menjadi bahasa niaga dan lingua franca bagi seluruh penduduk Batavia dari berbaga latar belakang bangsa dan etnis. Creole adalah bahasa orang-orang di pelabuhan Sunda Kelapa, dan kantor-kantor dagang VOC.

Situasi ini membuat Baron van Imhoff, gubernur jenderal VOC saat itu, gundah. Terlebih, orang-orang Belanda lebih suka menggunakan creole untuk berhubungan dengan siapa pun.

Lebih mengkhawatirkan penggunaan creole sebagai lingua franca menyebabkan terjadinya perkawinan Belanda dengan Mestizos, perempuan campuran Portugis-Melayu. Pegawai VOC pun dipaksa belajar creole.

Tiga tahun setelah pembantian Tionghoa 1741, Van Imhoff memulai decreolisasi. Ia mengeluarkan larangan berbicara creole kepada seluruh pegawai di kantor-kntor VOC.

Decreolialisasi Papia

Sebagai masyarakat yang mewariskan budaya Portugis, Papia bergama Katolik. Mereka relatif mampu mempertahankan kepercayaan itu sampai seratus tahun sejak tiba di Batavia.

Ketika decreolisasi yang digagas Van Imhoff menyasar mereka, masyarakat Papia harus menyerah pada tekanan berpindah dari Katolik ke Protestan. Mereka juga dilarang berbicara creole, kecuali di lingkungan mereka.

Sebagai gantinya, orang Papia berbicara harus belajar Bahasa Belanda dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari di kantor-kantor VOC.

Decreolisasi Papia berlanjut dengan keputusan VOC mengeluarkan mereka dari Roa Malaka. Masyarakat Papia dimukimkan di sebidang tanah yang dikelilingi rawa-rawa penuh nyamuk malaria, yang kini bernama Kampung Tugu.

Banyak sejarawan berteori, VOC tidak sedang memukimkan mereka tapi membunuh mereka pelan-pelan sampai akhirnya mereka musnah akibat nyamuk malaria.

Teori ini mungkin benar. Sebab VOC tidak membangun akses dari dan ke Kampung Tugu, yang membuat masyarakat keturunan Portugis-Melayu itu terisolir sekian lama. Jalan ke arah Kampung Tugu dibangun setelah VOC dan Pulau Jawa diambil alih Belanda.

Creole Dalam Bahaya

Jika di masyarakat Papia Tugu telah musnah, bahasa Creole di masyarakat Papia Kristang terancam mengalami nasib serupa. Organisasi PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (Unesco) memasukan Bahasa Creole di masyarakat Papia Kristang dalam bahaya.

Saat ini, hanya 2.000 masyarakat Papia Kristan yang masih menggunakan Bahasa Creole. Jumlah ini diperkirakan akan terus turun dari tahun ke tahun.

Apakah Papia Kristang akan bernasib sama dengan Papia Tugu, yaitu kehilangan bahasa nenek moyang. Mungkin tidak. Perjalanan sejarah Papia Kristang dan Papia Tugu relatif berbeda.

Tidak ada decreolsiasi di Melaka saat Inggris berkuasa. Di Batavia, Papia Tugu menghadapi decreolisasi hebat dan sistematis.

Natal di Melaka tahun-tahun berikut masih akan diwarnai lagu Silent Night dalam Bahasa Creole.

Back to top button