Crispy

Pandemi Covid-19, Akhir Bisnis Kuliner Satwa Liar

  • Budidaya satwa liar untuk konsumsi adalah program nasional Cina untuk mengentaskan kemiskinan.
  • Kini semua dilarang. Petani beralih ke budidaya lain, tapi pasar sepi.
  • Hanya satwa liar untuk industri obat tradisional yang diperbolehkan.
  • Aktivis lingkungan mengeluhkan kebijakan perlindungan satwa liar tak meneluruh.

JERNIH — Jika ke daratan Cina saat ini, sempatkan cari kuliner satwa liar. Anda tidak akan menemukannya. Pandemi Covid-19 mengakhiri semua menu satwa liar di restoran Cina.

Pasar Huanan, yang menurut peneliti menjadi titik awal pandemi, masih ditutup. Penjual hewan hidup; segala jenis ular, kelelawar, musang sawit bertopeng, anak serigala, trenggiling, dan lainnya, beralih profesi.

“Tidak ada lagi penjualan hewan hidup,” kata seorang penjual belut di Pasar Qiyimen. “Anda bisa masuk penjara jika berani menjual hewan-hewan itu.”

Otoritas Tiongkok menghentikan perdagangan satwa liar, yang memukul bisnis kuliner yang telah mengakar dalam tradisi dan budaya Cina.

Tradisi itu sangat kuat. Ketika SARS mewabah tahun 2003, bisnis kuliner hewan liar nyaris tak tergoyahkan.

Februari 2020, dalam pertemuan anggota Komite Tetap Politbiro, Presiden Cina Xi Jinping mengatakan; “Kami telah lama menyadari bahwa konsumsi hewan liar sangat berisiko, tapi industri hewan liar masih sangat besar dan menimbulkan bahaya tersembunyi bagi masyarakat dan keamanan. Kita tidak bisa hanya duduk.”

Kongres Rakyat Nasional, badan legislatif Cina, bergerak cepat melarang perdagangan dan konsumsi hewan liar. UU Perlindungan Satwa direvisi. Masyarakat yang mengkonsumsi hewan liar didenda 2.000 yuan, atau Rp 4,3 juta, sampai 10 ribu yuan, atau Rp 21,3 juta.

Pada 20 Desember 2020, Mahkamah Agung Cina, kementerian kehakiman, kementerian keamanan publik, bersumpah untuk menindah perburuan ilegal, pengadaan, pengangkutan, impor dan ekspor satwa liar. Cina serius memutus rantai kepentingan perdagangan satwa liar ilegal.

Pelanggar dihukum pidana maksimal 10 tahun, penyitaan properti, dan denda. Cina juga mendesak penegak hukum bersikap keras, terutama yang berkaitan dengan perlindungan 300 hewan yang terancam punuh dan dilindungi.

Dalam petunjuk umum tidak disebut kegunaan lain satwa liar, kecuali saran para ahli bahwa pandemi lain akan bisa dihindari jika tidak mengkonsumsi satwa liar.

Mengatasi Kemiskinan

Cina bisa saja bertindak keras, tapi jika aturan benar-benar dijalankan sejumla desa akan kehilangan sumber ekonomi. Larangan konsumsi hewan liar dipastikan memberi dampak ekonomi menghancurkan.

Di Cina, banyak petani mengembang-biakan spesies eksotik tertentu sebagai bagian program pengentasan kemiskinan. Hewan liar juga menjadi bagian industri pengobatan tradisional Cina.

Luo Bin (36) adalah peternak tikus bambu yang besar dan dapat dimakan. Ia telah 12 tahun menjalani profesi itu. Mei 2020 Luo Bin tak lagi beternak, karena tikus bambu masuk daftar satwa liar yang dilarang diperjual-belikan.

Penduduk Gongcheng, selatan Guangxi, mengatakan sekitar 2.000 tikus bambu miliknya diambil, Juni 2020, dan dimusnahkan. Pertanyaannya, mengapa pemerintah Cina tidak melepas-liarkan hewan itu.

Luo Bin menerima kompensasi 180 yuan, atau Rp 391 ribu, per tikus. Jadi, Luo Bin menerima 360 ribu yuan, atau Rp 783 juta.

“Saya beralih ke bisnis ulat bambu, tapi konsumen belum ada yang menerima,” Luo Bin mengeluh. “Hanya sedikit orang memakan ulat bambu. Masyarakat lebih suka tikus bambu.”

Budi daya tikus bambu adalah program pemerintah bernilai tujuh miliar yuan, atau Rp 14,2 triliun, sebagai upaya Cina mengentaskan kemiskinan. Luo Bin dan penduduk Guangxi bekerja keras, pemerintah mencari solusi pemasaran. Salah satunya memasuki pasar obat tradisional.

Selain tikus bambu, ular juga masuk daftar yang dilarang. Padahal, daging anggur-ular diyakini menyegarkan dan menyembuhkan rematik. Ada pula yang menggunakannya untuk terapi batuk.

Aktivis Kecewa

Laporan yang disponsori pemerintah Cina, dan diterbitkan Chinese Academy of Engineering, menyebutkan perdagangan satwa liar bernilai 520 miliar yuan, atau Rp 1.13 triliun, dan menyerap 14 juta tenaga kerja.

Di antara sub industrinya, sektor bulu mempekerjakan 7,6 juta dan menyumbang 75 persen dari nilai total industri. Sektor kuliner memiliki sumbangan 24 persen. Sisanya adalah sektor obat-obatan, hewan peliharaan, dan lainnya.

Sayangnya, penggunaan satwa liar non-makanan masih mengecewakan aktivis lingkungan. Aaron White, juru kampanye satwa liar dan spesialis di Enviromental Investigation Agency, mengatakan; “Ini berisiko merusak kebijakan baru dalam kesehatan masyarakat dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Satwa liar masih digunakan untuk industri obat-obatan. Zhou Haixiang, anggota Komite Nasional Cina, mengatakan butuh waktu bagi pembuat kebijakan untuk menyadari pentingnya keanekaragaman hayati dan perlindungan hewan langka.

Back to top button