Kang Jalal dan ‘Fatwa’ Halalnya Demonstrasi
Tiba-tiba Kang Dedi Djamaluddin Malik yang hadir dalam pertemuan tersebut nyeletuk, “Kalau soal perkaderan tanya saja Aidul. Dia ketua HMI Cabang Bandung.” Semua menoleh kepada saya, termasuk Kang Jalal. Mak deg! Hampir berhenti jantung saya. Kuatir saya dikeluarkan dari PMIB dan dianggap penyusup. Beberapa saat terdiam. Lalu setelah itu justru semuanya takjub, ternyata HMI tidak seperti yang mereka duga.
Oleh : Aidul Fitriciada Azhari*
JERNIH– Saya mengingat Kang Jalal karena setiap minggu rutin ikut pengajian Kang Jalal di Muthahhari. Atas dasar itu pula anak saya yang pertama diberi nama belakang Muthahhar.
Saya banyak menikmati kajian filsafat yang disampaikan dengan renyah oleh Kang Jalal. Hampir semua buku Kang Jalal dan apa pun yang direkomendasikan beliau, saya baca.
Sekalipun begitu saya bukan jamaah Muthahhari yang bermanhaj Ahlul Bayt. Saya penikmat saja dan karenanya tidak banyak menonjolkan diri. Padahal waktu itu pun saya sudah jadi pengurus HMI Cabang Bandung, bahkan jadi ketua cabang. Tidak banyak HMI yang ikut dalam pengajian Kang Jalal secara rutin.
Soal status HMI ini, saya teringat saat diskusi buku “Falsafatuna” karya Muhammad Baqr Sadr di Muthahhari, dengan salah satu pembicaranya Cak Nurcholish Madjid. Selepas acara berakhir, saya mendatangi Cak Nur dan mengenalkan diri sebagai ketua umum HMI Cabang Bandung.
Cak Nur terlihat senang dengan kehadiran saya di acara diskusi tersebut, dan saya ingat betul ucapannya. “Tidak banyak kader HMI yang seperti Anda.” Saya tidak begitu faham maksudnya. Tetapi mungkin saat itu pun sudah tidak banyak kader HMI yang mau hadir dalam diskusi-diskusi intelektual.
Masih soal HMI. Seingat saya, Kang Jalal adalah salah satu ulama yang menghalalkan demonstrasi pada saat banyak ulama “mengharamkan”. Tahun-tahun 1980-an, aksi-aksi demonstrasi memang lebih banyak diinisiasi oleh “teman-teman kiri”. Gerakan Islam umumnya mengambil jalan bawah tanah atau kompromi dengan kekuasaan.
Di kalangan HMI pun gerakan aksi demonstrasi tidak begitu populer. Apalagi isu-isu saat itu lebih bersifat konflik kelas dibanding isu-isu keislaman. Tetapi, setelah peristiwa 5 Agustus di ITB yang berakhir dengan penangkapan para mahasiswa ITB—antara lain Muhammad Jumhur Hidayat, Mochammad Fadjroel Rachman, Enin Supriyanto, Amarsyah, Arnold Purba, Bambang SLN, Lendo Novo, A.Sobur, Wijaya Santosa, Adi SR, Syahganda Nainggolan dan Dwito Hermanadi– muncul ruang kosong gerakan mahasiswa yang ditinggalkan oleh gerakan mahasiswa kiri.
Saat itulah muncul gagasan membentuk PMIB yang fokusnya mengangkat isu-isu keislaman. Saat itulah “fatwa halal” demonstrasi dari Kang Jalal menjadi legitimasi bagi gerakan PMIB yang terbukti berhasil membebaskan jilbab.
Ironisnya, selama aksi-aksi PMIB itu, saya sebagai ketua umum HMI cabang Bandung harus banyak menyembunyikan identitas HMI. Pasalnya, saat itu HMI bukan nama yang diterima secara baik di kalangan aktivis mahasiswa Islam. Kedok HMI saya baru terbuka justru di depan Kang Jalal, pada saat pertemuan di rumahnya untuk mengevaluasi gerakan PMIB.
Saat itu muncul persoalan kaderisasi PMIB. Tiba-tiba Kang Dedi Djamaluddin Malik yang hadir dalam pertemuan tersebut nyeletuk, “Kalau soal perkaderan tanya saja Aidul. Dia ketua HMI Cabang Bandung.”
Semua menoleh kepada saya, termasuk Kang Jalal. Mak deg! Hampir berhenti jantung saya. Kuatir saya dikeluarkan dari PMIB dan dianggap penyusup. Beberapa saat terdiam. Lalu setelah itu justru semuanya takjub ternyata HMI tidak seperti yang mereka duga.
Alhamdulillah, setelah itu Jalan Sabang 17 beberapa kali jadi tempat pertemuan para aktivis Islam. Saya pun sempat diundang berceramah ke Salman, yang kata pengurusnya sudah lama HMI tidak pernah diundang ke Salman. Yang menakjubkan aktivis Salman ini memperlihatkan beberapa dokumen tentang HMI yang tersimpan di Salman, yang sebelumnya tidak pernah saya lihat.
Terlepas itu semua, aksi-aksi demonstrasi PMIB sangat termotivasi oleh Kang Jalal. Beliaulah ulama saat itu yang berani mengeluarkan “fatwa demonstrasi halal”. [ ]
*Prof. DR, ketua Komisi Yudisial