“Percikan Agama Cinta”: Once Upon A Time in Darulmutaallimin
Sorot mata Mama Thobari tajam, mencari-cari santri ingusan, berbadan kecil, berkopiah hitam yang sudah lusuh. Santri yang dicari pun mengacung. Tanganku bergetar. Badan menggigil. Gugup. Ketakutan.
JERNIH– Saudaraku,
Kali ini aku ingin berkisah. Ya, cerita pengalamanku waktu mondok di Pesantren Darulmutaallimin, Sukabumi, Jawa Barat. Pesantren ini sangat bernuansa NU, baik secara kultural maupun institusional.
Diasuh almukarram, almagfurllah, K.H. Yusuf Thobari, lebih akrab dipanggil Mama Ajengan atau Mama Thobari; seorang penganut Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah Pesantren Suryalaya di bawah mursyid Pangersa Abah Anom, K.H. A. Shohibul Wafa’ Tajul Arifin ra.
Benar, sebutan Mama mengindikasikan bahwa ulama ini begitu disegani, secara keilmuan maupun spiritual; sangat kharismatik dan berakhlak mulia. Karena itu, dalam kultur Sunda, tak semua ulama atau ajengan bisa dipanggil mama. Kecuali mereka yang oleh masyarakat benar-benar dianggap sudah mencapai maqam spiritual tertentu.
Simaklah. Ada sebuah kisah menarik yang kualami ketika nyantri di bawah bimbingan Mama Thobari. Waktu itu, aku termasuk santri muda/kecil, masih tingkat dasar (sorogan). Setara dengan siswa kelas 2 MTs/SLTP. Sesekali aku mengikuti pengajian tingkat menengah yang langsung diampu Mama Thobari.
Pada sebuah malam Senin yang mencekam, di masjid lantai dua beralaskan kayu, semua santri duduk berkumpul. Kiai mereka muntab. Karena semua santri yang memenuhi ruang masjid cukup besar itu, tidak bisa menjawab/menjelaskan salah satu bait kitab “Alfiyah” karangan Ibn Malik. Kitab Nahwu paling terkenal di jagat pesantren.
Suasana berubah. Hening membeku. Para santri kolot (senior) bungkam seribu bahasa. Dilumat oleh ketakutan dan rasa bersalah. Mereka semua tertunduk. Tak ada yang berani menegakkan kepala, apalagi melihat ke depan—menatap wajah Mama Thobari yang sedang merah.
Waktu sudah menjukkan pukul 21.00 WIB. Sebagaimana tradisi yang sudah berlangsung lama di pesantren ini, sebelum pengajian dituntaskan, shalat Isya berjamaah belum bisa ditegakkan. Dengan kata lain, seluruh santri belum bisa kembali ke asrama/kamar masing-masing. Sementara pada saat sama, perutku–juga santri-santri lain–sudah memainkan irama keroncongan.
Dalam suasana nan mencekam itu, tiba-tiba terdengar suara Mama Thobari yang menggelegar bak guntur di siang bolong.
“Deden mana?”
Sorot mata Mama Thobari tajam, mencari-cari santri ingusan, berbadan kecil, berkopiah hitam yang sudah lusuh. Santri yang dicari pun mengacung. Tanganku bergetar. Badan menggigil. Gugup. Ketakutan.
Aku duduk di pojok kiri baris kedua. Tempat favoritku. Mama Thobari berusaha mencari-cari posisiku. Setelah ketemu, Mama langsung bicara tegas dan keras,”Bantu santri lain. Kamu baca dan jelaskan hasil mengaji bait kemarin. Cepetan!”
Tak ayal. Aku menjadi pusat perhatian semua santri yang raut wajahnya tampak terkejut, ditingkahi rasa was-was dan deg-degan, apakah aku sanggup menjelaskan pertanyaan Sang Guru. Karena kalau tidak, alamat pengajian malam itu belum bisa dibubarkan.
Aku pejamkan mata sejenak. Kuangkat kepalaku pelan-pelan sambil berdoa dalam hati. Memberankan diri tegak, menatap Mama.
Di luar dugaan, aku langsung mampu menjawab pertanyaan itu dan menjelaskannya dengan fasih. Seolah ada yang bimbing di pikiranku untuk menjawab pertanyaan Sang Ajengan. Mama Thobari pun manggut-manggut. Sejurus kemudian, Mama berkata.
“Bener, hade pisan! (Tepat sekali, bagus!).”
Pengajian pun langsung ditutup. Suara santri seketika bergemuruh. Satu persatu mereka berseliweran mengambil air wudhu ke lantai bawah. Pundakku ditepuk-tepuk santri senior yang mengerumuninya sambil mengucapkan, “Hade euy. Hatur nuhun nggeus jadi penyelamat.”
Keesokan hari, angin menyebarkan cerita itu dari mulut ke mulut, bahkan sampai menembus tembok asrama santri putri. Aku sontak menjadi “selebritas” . Ketika aku mau sekolah, namaku dipanggil-panggil. Seorang santriwati bernama Nurhasanah, incaranku, paling heboh ngebut-nyebut namaku. Aku jadi ge-er.. Hahaha..
Saudaraku, kisah itu sekadar menandakkan bahwa setiap perjalanan seorang anak manusia pasti mengalami titik tertentu yang mengasyikkan. Membekas sekaligus menentukan langkah selanjutnya. Mencerahkan. Syukurilah.
Sejak itu, aku jadi lebih percaya diri. Pun semakin rajin mengkaji dan mengaji. Seolah keberkahan turun dari langit. Seni berpikir yang kukembangkan, suatu saat nanti membawaku ke panggung yang lebih terhormat dan luas; memberikan makna hidup. Ternyata benar. [Deden Ridwan]