12 Artis Mengubah Dunia 2019, Sakdiyah Ma’ruf (Indonesia) Urutan Tiga
Sepanjang 2019, Cultural Frontline BBC World Service bertemu seniman yang membuat perbedaan di seluruh dunia. Terdapat 12 seniman yang karyanya membuat perbedaan sepanjang 2019. Sakdiyah Ma’ruf dari Indonesia di urutan ketiga.
1. Salif Keita
Musisi asal Mali
Dikenal sebagai ‘Suara Emas Afrika’, tapi kehidupanya diwarnai kesulitan dan prasangka. Salif dilahirkan sebagai albinisme, atau albino, dan diasingkan pada usia muda. Dalam budaya Mali, kulit putih albino adalah pertanda nasib buruk.
Salif membangun diri lewat suara yang diberikan Tuhan. Sepanjang karier bernyanyi ia mengkampanyekan hak-hak albino. Tahun 2005 ia mendirikan Salif Keita Global Foundation, untuk membangun kesadaran akan nasib orang albino.
Pada usia 70 tahun ia masih berkampanye melalui musik. Tahun ini ia merilis album ke-14 Un Autre Blanc, yang menurutnya akan menjadi yang terakhir dan karya musik yang melanjutkan perjuangan orang albino. Selama ini kaum albino kerap dilecehkan dan menghadapi kekerasan.
2. Mana Hashimoto
Penari, Jepang
Saat kecil, Mana Hashimoto bermimpi menjadi penari. Dia berlatih balet hingga remaja, tapi ketika atrofi saraf optik mempengaruhi penglihatannya segalanya berubah.
Mana terus menari dan pindah ke New York untuk terus berlatih. Dalam setahun ia kehilangan penglihatannya. Sepertinya, mimpi masa kecilnya berakhir.
Ia mengkhawatirkan masa depannya, tapi tak memutuskan hubungan dengan seni tari. Dia menciptakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mencerminkan pengalamannya sebagai seniman tunanetra.
Mana membawa sepatu dansa ke mana pun dia pergi. Ia mulai menghafal dan memperhalus gerakannya, melalui apa yang dia rasakan secara fisik, apa yang bisa didengar.
Setelah menyempurnakan semua teknik, dia tampil di depan penonton. Kini, Mana membuka lokakarya dansa di New York, yang disebut Dance Without Sight, menyatukan yang terlihat dengan tunanetra.
3. Sakdiyah Ma’ruf
Komedian, Indonesia
Di sebuah klub homor di Jakarta, Sakdiyah Ma’ruf menggunakan humor untuk memahami tempatnya yang sedang berubah.
Dia dibesarkan dalam keluarga konservatif. Ia menghabiskan berjam-jam di depan televisi untuk menonton komedian tampil. Dia tidak membiarkan kendala latar belakang tradisional membatasi dirinya.
Dia tampil di radio, televisi, tur dari satu ke lain panggung, membawakan materi yang ditentukan untuk mengatasi stereotip negatif yang sering dikaitkan dengan agamanya; Islam.
Kehadirannya direspon banyak orang, terutama kalangan wanita. Sakdiyah Ma’ruf tidak sekadar membuat orang tertawa, tapi menyuarakan pemikiran yang takut didiskusikan.
4. Mon Laferte
Penyanyi, Cile
Oktober 2019 lalu, Mon Laferte bertelanjang dada di cara Latin Grammy Award sebagai protes atas perlakukan kekerasan polisi terhadap pedemo. Gambarnya viral. Ia menjadi seniman yang berada di garis depan aksi protes.
Laferte tumbuh di kawasan kumuh di Pantai Vifia del Mar. Ia keluar sekolah pada usia 13 tahun dengan alasan ekonomi. Ia bekerja untuk membantu ibunya membayar tagihan.
Tahun 2003, Laferte mengubah nasibnya lewat suara. Ia tamil dalam kontes nyanyi di televisi, dan membuat publik ternganga.
Laferte bukan kacang lupa kulit tapi ingat toples. Tahun ini ia mengunjungi daerah kumuh dengan membawa pengacara dan psikolog, untuk membantu mereka yang rentan.
5. Ilya Kaminsky
Penyair, Ukraina
Tahun 2019 Ilya Kaminsky merilis antologi puisi berjudul Republik Tuna Rungu, yang bertutur tentang sorang anak ulit ditembak di sebuah negara yang diduduki.
Republik Tuna Rungu bukan sekadar koleksi puisi, tapi dongeng dalam syair — sebuah narasi yang menghantui dan terasa seperti drama. Semua itu cerminan diri sang penyair.
Ilya lahir di Odessa, kota pelabuhan di Ukraina, pada masa Uni Soviet. Ia kehilangan sebagian pendengarannya pada usia empat tahun, dan tidak punya alat bantu hingga usia 16 tahun
Tahun 1993 keluarganya diberi suaka politik oleh AS. Setelah kematian ayahnya tahun 1994, Ilya mulai menulis puisi dalam Bahasa Inggris.
Melalui karya lirisnya ia mempertanyakan sifat diam, dan arti didengar dengan sungguh-sungguh.
6. Ifeoma Fafunwa
Penulis/sutradara, Nigeria
Tahun ini Ifeoma Fafunwa menyatukan 10 bintang teater, film, dan televisi di Nigeria untuk menceritakan kisah kekerasan dalam rumah tangga, membalikan status quo pelecehan dan tidak menghormati keberanian, persaudaraan, dan kegembiraan.
Acara itu disebut Hear World!, yang dalam bahasa Inggris Nigeria diterjemahkan sebagai Listen and Comply. Kisah-kisah berkisar dari London ke Lagos, dan memberikan pandangan intim ke dalam hambatan yang dihadapi wanita Nigeria.
Permainan dimulai saat gerakan #Me Too menjadi berita utama, dan berhasil menangkap kebenaran tak terucap dari perempuan yang sangat jarang terdengar di panggung.
7. Jasmeen Patheja
Artis/aktivis, India
Jasmeen Patheja mungkin tidak sepopuler, apalagi kaya raya, Deepika Padukone atau Priyanka Chopra. Dia menyita perhatian ketika mengemban misi menantang budaya dan stigma yang menyalahkan korban perkosaan di Bengalore.
Jasmeen mengumpulkan pakaian tapi bukan untuk dijual atau dipakai, tapi sebagai bentuk protes. Kini lemarinya penuh pakaian yang disumbangkan para penyintas kekerasan seksual.
Sejak 2003 Jasmeen mengundang penyintas kekerasan seksual menyumbangkan pakaian yang mereka kenakan saat diserang. Pakaian itu, dari segala ukuran dan bentuk, dikirim wanita India dari AS, Kanada, dan Jerman, lalu dipamerkan di ruang publik dari Bengalore sampai New York.
Jasmeen dan rekan-rekannya berbaris di bawah panji-panji gaun, celana panjang, kaus oblong, di Kalkuta dan New York, untuk menantang mereka yang menanggapi pertanyaan menyerang tentang apa yang kamu pakai saat diserang.
8. Bahara Golestani
Aktor, Afghanistan
Tak banyak orang melakukan perjalanan dari Afghanistan ke Hollywood. Bahara Golestani melakukannya, dan itulah yang menentukan perjalanan hidupnya.
Dia melarikan diri dari Afghanistan sebagai pengungsi yang takut Taliban mengambil alih kekuasaan. Ia mencari perlindungan di Rusia, lalu ke AS.
Kini, Bahara menjadi bintang drama televisi yang sedang hits; This is Us. Ia memerankan seorang dokter Afghanistan yang melindungi keluarganya selama konflik terbaru.
9. Maria Bamford
Komedian, AS
Melihat sisi lucu masalah kesehatan mental bukan sesuatu yang mudah. Komedian Maria Bamford telah memikat penonton dengan cara itu selama 25 tahun.
Melakukan stand-up atau membintangi serial Netflix Lady Dynamite, Maria Bamford membawa misi mengurangi stigma masalah kesehatan mental dengan membicarakannya secara jujur dan menyegarkan.
Maria Bamford juga memiliki masalah kesehatan mental sejak usia sepuluh tahun. Bertahun-tahun kemudian dia didiagnosis memiliki gangguan kompulsif obsesif. Ia beberapa kali dirawat di bangsal psikiatris.
Masa-masa sulit dalam hidupnya mengilhami lahirnya Lady Dynamite, yang mendapat pujian kritis. Ia secara terbuka membahas kenyataan perjuangan kesehatan mentalnya.
10. Abduweli Ayup
Penyair, Muslim Uighur (Cina)
Abduweli Ayup adalah seorang penyair, pakar bahasa, dan aktivis linguistik dari Propinsi Xinjiang. Ia seorang Muslim Uighur.
Dia dilatih sebagai ahli bhasa dan belajar di Beijing. Usai studi, Ayup kembali ke Xinjiang dan mendirikan sekolah yang mengajarkan Bahasa Uighur, karena khawatir bahasa nenek moyang itu lenyap tergerus Bahasa Mandarin.
Agustus 2013 ia ditangkap otoritas Cina dengan tuduhan memiliki hubungan dengan separtis Uighur, dan ditahan selama 15 bulan. Terakhir, dia dipaksa menerima tuduhan ketidak-wajaran keuangan dalam pengumpulan dana untuk sekolahnya.
Kepada The Cultural Frontline, Abduweli mengatakan ia disiksa selama di dalam penjara.
Setelah tahu hidup di Xinjaing tidak lagi nyaman, karena Cina menindas seluruh masyarakat Muslim, Abduweli pergi ke Turki lalu ke Bergen, Norwegia. Kini dia menulis puisi dan mempublikasikan penderitaan Muslim Uighur ke dunia internasional.
Saat ini lebih satu juta Muslim Uighur menghuni penjara. Setiap hari mereka disiksa secara mental dan fisik, dan dilarang beribadah.
11. Aida Muluneh
Seniman, Ethiopia
Aida Muluneh adalah salah satu fotografer terkemuka di dunia. Tahun ini ia bermitra dengan Water Aid, badan amal yang membuat serial foto Water Life.
Melalui rangkaian gambar fantastik, penuh warna, dan futuristik, Aida menggambarkan kehidupan sehari-hari wanita Ethiopia dan upaya mendapatkan air bersih bagi keluarga.
Beberapa foto diambil di studio, lainnya diambil di lanskap ekstrem di salah satu tempat terpanas dan paling kering di muka Bumi, yaitu di wilayah utara Ethiopia.
Lewat karyanya, Aida berusaha menampilkan kekuatan wanita Ethiopia menanggung begitu banyak hanya untuk memastikan keluarga dapat minum dan makan.
12. Aboriginal Comedy All Stars
Komedian, Australia
Pertama kita membuat mereka tertawa, lalu kita membuat mereka berpikir.
Itulah filosofi grup super komedi Aboriginal Comedy All Stars, yang terdiri dari Kevin Kropinyeri, Steph Tisdell, dan Andy Saunders.
Mereka menggabungkan kisah-kisah pribadi dengan sejarah dan pengamatan sosial, lalu memasaknya menjadi komedi segar dan lucu.
Mereka tidak takut menghadapi rasisme, kolonialisme, dan penghancuran komunitas Aborigin Australia.