Isu Minyak Sawit Bikin Referendum Perdagangan Bebas Swiss-Indonesia Bakal Ketat
Indonesia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar dunia, bahan yang banyak digunakan dalam produk kosmetik, makanan, dan juga sebagai bahan bakar nabati. Minyak sawit menjadi sorotan dari para aktivis dan kelompok lingkungan, yang menganggapnya bertanggung jawab atas hilangnya hutan, kebakaran, dan eksploitasi pekerja.
JERNIH– Para pemilih Swiss dalam sebuah referendum Minggu (7/3) mendatang akan memutuskan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia, yang akan menawarkan tarif lebih rendah untuk ekspor minyak sawit dari Indonesia ke Swiss. Pro-kontra soal minyak sawit diperkirakan akan membuat referendum ini berlangsung ketat.
Swiss sebelumnya sudah menandatangani pakta perdagangan dengan Indonesia pada 2018 bersama dengan kelompok European Free Trade Association (EFTA) lainnya, yaitu Islandia, Norwegia dan Liechtenstein.
Berdasarkan Perjanjian Perdagangan Bebas itu, kedua belah pihak secara bertahap akan mengurangi atau menghapus bea masuk atas produk industri. Untuk minyak sawit, Swiss akan menurunkan tarif sekitar 20 persen – 40 persen hingga 12.500 ton per tahun, tetapi hanya jika standar keberlanjutan terpenuhi.
Indonesia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar dunia, bahan yang banyak digunakan dalam produk kosmetik, makanan, dan juga sebagai bahan bakar nabati. Minyak sawit menjadi sorotan dari para aktivis dan kelompok lingkungan, yang menganggapnya bertanggung jawab atas hilangnya hutan, kebakaran, dan eksploitasi pekerja.
Tuntutan kubu pro lingkungan
Parlemen Swiss sebetulnya telah meratifikasi kesepakatan tersebut pada tahun 2019, tetapi gerakan “Hentikan Minyak Sawit”– yang digalang terutama oleh Partai Hijau serta LSM lingkungan–berhasil menuntut penyelenggaraan referendum di bawah sistem demokrasi langsung yang berlaku di Swiss.
Dalam jajak pendapat terbaru oleh lembaga peneliti pasar GFS Bern untuk stasiun siaran Swiss SRG, 52 persen pemilih Swiss mengatakan mereka bermaksud mendukung kesepakatan tersebut. Tetapi penentangnya juga banyak.
“Saya menentang perjanjian perdagangan bebas karena menghapus bea cukai yang diterapkan untuk mencegah persaingan tidak sehat di negara-negara berbiaya rendah,” kata Willy Cretegny, produsen anggur organik di Swiss barat yang memprakarsai referendum. “Ini akan mengarah pada masyarakat yang membuang-buang sumber daya. Standar untuk melindungi lingkungan atau kesehatan dan keselamatan orang juga terlupakan,”kata dia.
Kubu yang tidak setuju mengatakan, kesepakatan itu akan meningkatkan permintaan minyak sawit murah, menghancurkan hutan tropis dan memengaruhi produksi minyak nabati Swiss sendiri.
Sementara pemerintah Swiss mengimbau pemilih untuk menyetujui Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Indonesia, dengan mengatakan perjanjian itu akan membuka peluang bagi ekonomi Swiss yang berorientasi ekspor ke pasar Indonesia yang tumbuh stabil. Selain itu, perjanjian ini dapat mempromosikan produksi minyak sawit yang lebih berkelanjutan, karena hanya minyak yang bersertifikat yang akan dapat menikmati pengurangan tarif.
Swiss memiliki lebih dari 30 perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara di luar Uni Eropa dan EFTA. Uni Eropa saat ini juga sedang merundingkan kesepakatan perdagangan bebas dengan Indonesia. [Reuters]