Muslim Uighur Dilarang Menikah dengan Cara Muslim
“Meskipun kami diberikan kebebasan beragama di atas kertas (dalam konstitusi Cina], kami sepenuhnya sadar, mencoba melakukan ritual akan menempatkan kami dalamtahanan.”
JERNIH– Di tengah riuh rendah kabar penghancuran masjid dan tempat suci di wilayah Muslim Xinjiang, Cina, beberapa orang Uighur mengatakan kepada VOA, pihak berwenang Cina telah melarang sumpah pernikahan Islam yang dikenal sebagai ijab kabul.
Larangan ini mengemuka setelah sepasang suami istri Uighur berusia akhir 20-an, membocorkan kepada VOA dengan syarat anonim. Mereka harus menelan pil pahit untuk menikah secara sah dan memperoleh akta nikah keluaran pemerintah setempat di wilayah Xinjiang.
Nikah atau ijab kabul adalah sumpah nikah islami formal. Hal itu dianggap integral dari pernikahan Islam yang sah secara agama dan menguraikan hak dan tanggung jawab pengantin pria dan pengantin perempuan. Ayat-ayat dari Alquran dibacakan, dan seorang pemuka agama harus terlibat. Mayoritas warga Uighur mengikuti denominasi Islam Sunni, dan elemen agama Islam seperti nikah memainkan peran penting dalam pernikahan tradisional mereka.
“Meskipun kami diberikan kebebasan beragama di atas kertas [dalam konstitusi Cina], kami sepenuhnya sadar, mencoba melakukan ritual akan menempatkan kami dalam tahanan,”kata pasangan itu kepada VOA.
“Memiliki [sumpah nikah] dalam pernikahan saat ini di sini [di Xinjiang] sama dengan menjadi ekstremis agama, yang akan membuat siapa pun yang terlibat dalam ritual tersebut mendapatkan pendidikan ulang atau bahkan hukuman penjara yang lama,” kata mereka.
Dalam sebuah artikel yang diunggah pada 2018 di platform media sosial Tiongkok WeChat, Behtiyar Ablimit, anggota komite Partai Komunis Cina (PKC) yang berkuasa di daerah Poskam, Xinjiang selatan, membuktikan larangan nikah oleh pemerintah. Itu bertentangan dengan pernyataan resmi Tiongkok, yang sering menekankan, hak-hak agama Uighur “dihormati sepenuhnya” di Xinjiang.
Artikel itu merinci kembalinya “empat kegiatan” ke dunia sekuler. “Empat kegiatan” yang dimaksud adalah upacara pernikahan, pemakaman, penamaan dan khitanan. Dengan kembalinya ’empat kegiatan’ ke dunia sekuler, tidak hanya anggota Partai [Komunis Cina] dan pejabat publik tetapi juga banyak massa secara spontan menolak campur tangan agama pada ’empat kegiatan’. “Mereka juga tidak mengundang tokoh agama pada upacara pernikahan, pemakaman, penamaan, dan sunat mereka,” kata artikel itu.
Menurut Tim Grose, profesor studi Cina di Institut Teknologi Rose-Hulman di Terre Haute, Indiana, PKC telah membatasi unsur-unsur keagamaan dalam upacara tradisional Uighur sejak 2010-an.
“Dengan memantau dan menghilangkan unsur-unsur religius dari ritual ini, PKC dapat mengambil langkah lain dalam upaya mereka untuk mensekulerkan dan karena itu men-Cina-kan Uighur,” ujar Grose, seraya menambahkan, “empat kegiatan” itu memberi Uighur kesempatan untuk mengekspresikan etnis mereka sebagai berbeda, yakni identitas agama.
Nury Turkel, komisaris Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), mengatakan kepada VOA, organisasinya sangat prihatin dengan larangan pemerintah Cina pada upacara pernikahan tradisional Uighur.
“Seperti yang dicatat USCIRF dalam laporan tahunan 2020, pembatasan ini adalah bagian dari kampanye pemerintah untuk secara paksa mengasimilasi Muslim Uighur ke dalam budaya Han Cina,”ujar Turkel.
USCIRF, kata dia, memantau pelanggaran kebebasan beragama semacam itu dan memberi tahu presiden AS, Kongres, dan pemerintah AS melalui pelaporannya.
Penghancuran situs agama
Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) beberapa waktu lalu merilis laporan tentang penghancuran masjid dan situs Islam di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Laporan yang menggunakan citra satelit itu, memperkirakan sekitar 16.000 masjid di Xinjiang (65 persen dari total) telah hancur atau rusak akibat kebijakan pemerintah Cina.
“Diperkirakan 8.500 telah dihancurkan secara langsung, dan sebagian besar, tanah tempat masjid-masjid yang dihancurkan itu dulu masih kosong. Sebanyak 30 persen lebih dari situs suci Islam yang penting (tempat suci, kuburan dan rute ziarah, termasuk banyak yang dilindungi oleh hukum Cina) telah dihancurkan di seluruh Xinjiang. Sebagian besar sejak 2017, dan tambahan 28 persen telah rusak atau diubah dalam beberapa cara, ” tulis laporan tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, menyebut laporan ASPI “hanyalah rumor fitnah” terhadap Cina. Ia juga menyebut, “laporan buruk seperti itu tidak memiliki kredibilitas sama sekali.”
Rian Thum, sejarawan Islam di Cina di Universitas Nottingham, mengatakan kepada VOA bahwa PKC melihat ancaman terhadap kontrolnya melalui lensa rasis dan Islamofobia. “Ekspresi budaya yang khas diperlakukan sebagai ancaman, terlebih lagi bila budaya itu terkait dengan Islam,” kata Thum.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Cina telah membantah penahanan hampir 1,8 juta orang di kamp-kamp interniran. Sebaliknya, kata Cina, pihaknya menjalankan kampanye “pusat transformasi-melalui-pendidikan” di Xinjiang di mana mereka menghadapi “ancaman” dari ekstremisme dan terorisme.
Presiden China Xi Jinping sempat mengatakan, kebijakan pemerintahnya di Xinjiang telah mencapai hasil yang luar biasa, sembari memuji “pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya” oleh PKC sejak 2014.
“Praktik telah membuktikan, strategi partai untuk mengatur Xinjiang di era baru benar-benar benar dan harus ditaati untuk waktu yang lama,” kata Xi dalam pertemuan tingkat tinggi PKC tentang kebijakan Xinjiang di Beijing, menurut Xinhua, kantor berita pelat merah.
Joanne Smith Finley, ahli studi Uighur di Newcastle University, mengatakan negara Cina telah mengaitkan semua bentuk praktik Islam Uighur, betapa pun damai dan biasa, dengan ekstremisme agama. “Negara Tiongkok di bawah Xi Jinping semakin menjadi mayoritas Han dan asimilasi Han sejak 2012. Negara itu telah merekonstruksi tubuh, pikiran, bahasa, agama, dan budaya Uighur sebagai ancaman eksistensial dan biologis bagi bangsa Tiongkok,” katanya kepada VOA. [VOA]