Pengunjuk Rasa Gelar Aksi Protes Model Gerilya di Yangon
- Tidak ada lagi pemuda garis depan yang melindungi pengunjuk rasa.
- Semuanya memilih ke luar kota, berlatih tempur dengan etnis pemberontak.
- Aksi protes kali tidak besar, tapi kecil-kecil dan banyak, di banyak tempat.
JERNIH — Setelah tiga pekan berhenti akibat tindakan brutal tentara Myanmar, aksi protes terbatas kembali ke jalan-jalan di kota bisnis Yangon.
“Kami hanya ingin menunjukan betapa kami tidak pernah menyerah, dan tidak akan pernah menerima pemerintahan militer,” ujar seorang penunjuk rasa berusia 30 tahun, yang membantu mengorganisir aksi protes kepada The Irrawaddy, Rabu 28 April.
Ketika ditanya apakah tidak takut ditembak, dia mengatakan; “Kami takut, karena kami tidak bisa lagi membela diri.” Ia melanjutkan; “Jika tinggal di rumah, kami harus hidup dalam ketakutan seumur hidup. Jadi, kami putuskan bertarung.”
Selama 57 hari aksi protes anti-kuta militer, antara 1 Februari sampai 29 Maret, 210 pengunjuk rasa, penduduk, dan pengamat, dibunuh polisi dan tentara.
Pada 29 Maret, tentara menggunakan bahan peledak berat untuk menindak aksi protes di Kota Dagon, selatan Yangon, menewaskan 15 pengunjuk rasa.
Sejak itu, protes anti-rezim jarang terjadi di Yangon. Militer berserak di jalan-jalan, dan penangkapan diperluas, dan nyaris terjadi setiap hari.
Tentara ditempatkan hampir di seluruh kotapraja di Yangon. Tujuannya, mencegah penduduk ke luar untuk bergabung dengan etnis pemberontak di perbatasan Thailand.
Pemuda yang berada di garis dengan aksi protes, dan bertugas melindungin pengunjuk rasa dari aksi kekerasan, bergabung dengan etnis bersenjata untuk mengikuti latihan militer. Mereka akan kembali sebagai pasukan yang akan melawan tentara Myanmar.
Meski tidak ada lagi aksi protes skala penuh dalam tiga pekan terakhir, sejumlah kecil demonstran anti-rezim spontan terjadi di banyak tempat.
Pada 23 April, misalnya, beberapa lusin pengunjuk rasa anti-rezim kembali ke jalan di pusat kota Yangon, meneriakan demokrasi. Itu terjadi sehari sebelum Jenderal Min Aung Hlaing menghadiri KTT ASEAN di Jakarta.
Sejak itu serangkaian protes bergaya gerilya terlihat di jalan-jalan kotapraja Kyauktada, Sanchaung, Ahlone, Hlaing, Kamayut, Dawbon, Thaketa, Tarmwe, Insein dan Hlaign Tharyar.
Lebih 200 pengunjuk rasa anti-rezim melakukan pawai kejutan di jalan-jalan kotapraja Sanchuang, Selasa lalu, untuk menunjukan dukungan terhadap protes. Banyak warga bergabung, penduduk sekitar dan pedagang kaki lima bertepuk tangan dan memberi hormat tiga jari.
Seorang pengunjuk rasa dan anggota keluarganya telah meninggalkan rumah karena takut akan penggrebekan, setelah surat perintah penangkapan untuknya dikeluarkan tentara.
“Sekarang saya di jalanan. Saya telah kehilangan masa depan. Satu-satunya yang ada di benak saya adalah meraih kemenagnan dalam perjuangan akhir untuk demokrasi,” katanya. “Jadi, kami akan berjuang sampai rejim militer tumbang.”
Dunia mengimbau rezim militer mengakhiri kekerasan, tapi Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan hanya akan mempertimbangkan saran konstruktif ASEAN setelah situasi stabil.
Artinya, rezim militer masih akan terus membunuh dan membunuh, menangkap warga, memeras dan meneror penduduk. Stabilitas dalam terminologi militer adalah ketika penduduk ketakutan dan diam.