Catatan Menjelang Buka (25): Pakaian-2
Terkait pandangan sang presenter tadi, pendapat seorang ustad muda berikut ini, saya pikir, juga benar. Dalam sebuah ceramah ia bilang begini: “Jika hatinya shaleha penampilannya pasti shaleha. Sebab sebagai perempuan shaleha sejatinya ia mengetahui menjadi shaleha tidak cukup hanya dengan hati. Pedomannya jelas. Dalilnya tegas.”
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke 25. Kita lanjutkan perbincangan yang terputus kemarin. Pakaian memang sebuah kompleksitas. Kasus Raden Patah menunjukkan bahwa pakaian bukan melulu berkaitan dengan bagaimana seseorang harus tampil menawan, melainkan bagaimana menyatakan diri.
Saya memakai lurik, saya Jawa, misalnya. Apakah dengan memakai lurik saya menjadi gagah atau tidak, bukan perkara utama. Kegagahannya ditentukan pada setinggi apa pemakainya meyakini kejawaan sebagai sebuah martabat dalam pergaulan.
Pakaian sebagai pernyataan identitas sedemikian, merujuk kepada Malcolm Barnard dalam bukunya, “Fashion as Communication” (1996), terkategori sebagai pakaian lokal yang statis. Pakaian dalam kategori ini, menurutnya, merupakan pakaian yang nyaris tidak mengalami perubahan. Jika pun bergeser, dibutuhkan waktu yang sangat lama.
Barnard menjelaskan karakter pakaian ini seraya membandingkannya dengan pakaian modern yang bermula dari Barat, yang berada di bawah papan nama “mode dan fesyen”. Pakaian kategori ini bersifat temporer, bergerak dalam kecepatan “trend”. Dan Barat adalah pemicunya.
Kembali ke pakaian sebagai sebuah pernyataan identitas kultur. Kita menemukan hal menarik dibandingkan dengan fungsi awal pakaian dalam kaitannya dengan alam. Sebagaimana telah diuraikan, fungsi utama pakaian adalah melindungi diri dari kemungkinan bahaya alam. Tubuh ditutupi supaya tidak tersentuh bahaya tersebut.
Dalam kebudayaan, tampak yang terjadi adalah sebaliknya. Ketika berpakaian merupakan pernyataan identitas, hal itu berarti pemakainya sedang membuka diri. Sepeti telah disebutkan di atas, lurik yang kamu pakai menginformasikan kepada dunia bahwa kamu Jawa. Implisit di situ bahwa kamu sedang minta dipahami sebagai Jawa. Kamu meminta orang lain masuk ke dalam “diri budayamu”.
Bajumu, jika begitu, bukan untuk melindungi diri, melainkan justru sebaliknya, untuk mengundang berbagai soal dari luar diri.
Sekarang mari kita tarik pernyataan “diri budaya” tersebut ke dalam diri individu. Untuk memudahkan, saya persempit menjadi individu dalam relasi gender (laki-laki versus perempuan). Kembali Barnard perlu dirujuk di sini. Selain menjelaskan tentang fungsi pakaian sebagai adab dan kesopanan, Barnard juga menyebut tentang fungsi untuk ketidaksopanan. Fungsi ini, menurutnya, terkait dengan soal daya tarik dalam relasi gender.
Dalam konteks hubungan demikian dipahami bahwa secara psikologis laki-laki tertarik kepada perempuan mula-mula pada daya tarik luar atau kecantikan tubuh. Pengetahuan ini menyebabkan perempuan berdandan memepercantik diri untuk memikat laki-laki. Dunia fesyen, tentu saja, melihat hal tersebut sebagai peluang. Pakaian perempuan didesain sedemikian rupa, tertutup atau terbuka, untuk menonjolkan daya pikat seksualitas.
Sebaliknya, perempuan tertarik pada laki-laki bukan melulu pada ketampanan fisik, melainkan pada “kegagahan sosial”. Pria sejati adalah ia yang bertanggung jawab, melindungi lahir batin. Pendek kata, status sosial laki-laki adalah bagian daya tarik laki-laki di mata perempuan. Oleh sebab itu, lagi-lagi dalam konteks fesyen, bagi laki-laki pakaian adalah artikulasi dari status sosial.
Hubungan antara daya tarik seksual perempuan dan status sosial laki-laki lantas menyebabkan keduanya saling jatuh cinta, saling memuja. Laki-laki memuja wanita cantik; perempuan bertekuk lutut pada laki-laki yang status sosialnya tinggi.
Inilah hubungan yang dibangun oleh dunia mode dan fesyen. Kata fesyen sendiri, secara etimologi, berasal dari factio (membuat/melakukan sesuatu) yang akar katanya, facere, juga seakar dengan fetish (pemujaan). Jadi, dunia fesyen memang identik dengan aktivitas pemujaan: membuat atau melakukan sesuatu yang berpeluang “difetish-kan”.
Dalam dunia fetisisme sedemikian, jelas pakaian tidak lagi berurusan dengan perkara menutupi tubuh, kesopanan, apalagi menyangkut soal agama atau spiritualitas. Alih-alih menutupi, sekali lagi, pakaian justru membuat terbuka; ketimbang untuk kesopanan, ia justru untuk ketidaksopanan. Bajumu, dalam banyak hal, telah menelanjangimu.
Demikianlah pakaian. Kompleksitasnya masih mengundang perbincangan panjang. Pakaian sebagai filsafat, politik, perlawanan, kekerasan simbolik, pengetahuan, dan kemiskinan adalah beberapa topik menarik lain terkait dengannya.
Tapi, kiranya itu kurang cocok untuk mengantar berbuka puasa. Uraian di atas dikedepankan sebagai sebuah stimulus ke arah pemahaman bahwa pakaian adalah lapisan paling duniawi di dalam tubuh kita. Pakaian adalah ruang tamu kita yang sekaligus menjadi etalase godaan. Pakaian adalah penampilan. Kita sering tergoda bukan hanya oleh penampilan yang lain, tetapi juga oleh keinginan untuk menampilkan diri di hadapan yang lain.
Sebab fakta demikian, sebaiknya kita memang berhati-hati dalam membeli, memilih, dan memakai pakaian. Posisinya sebagai pusat godaan, pakaian bisa menjadi salah satu istana buat setan.
Baginda Yang Mulia Muhammad shalallahualaihi wassalam memberi isyarat bahwa di samping kebaikan, di dalam pakaian bersemayam keburukan. Oleh sebab itu, Nabi sangat berhati-hati berurusan dengan pakaian. Dalam Riyadhus Shalihin , Imam An-Nawawi mengutip sebuah hadis sebagai berikut:
“Dari Abu Sa’id Al-Khudi, ia berkata, “Jika Rasulillah mengenakan baju baru, beliau terlebih dahulu menyebutkan jenis baju itu—surban, gamis, atau serempang—kemudian membaca doa: Ya Allah, milik-Mulah segala puji, Engkaulah yang meberikan pakaian ini kepadaku. Aku memohon kepadaMu kebaikannya dan kebaikan apa yang karenanya ia dibuat. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang karenanya ia dibuat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidji; Tarmidji mengatakan bahwa sanad hadis: hasan).
Perhatikan sekali lagi hadis tersebut. Kebaikan (sebut saja kecantikan atau ketampanan) yang ditimbulkan akibat memakai pakaian tertentu, bukan bersumber dari pakaian besangkutan, melainkan dari Allah. Jadi, jika kamu merasa cantik, tampan, percaya diri, dan lain-lain karena pakaian yang dipakai, hati-hatilah. Perasaan atau keyakinan itu riskan menjebakmu pada sikap menyekutukan Allah.
“Yang penting adalah hatinya, bukan pakaiannya. Kita tidak bisa menilai orang karena penampilannya”, demikian kurang lebih kilah seorang perempuan presenter berparas cantik. Ia sampaikan hal tersebut terkait wacana jilbab yang pada setiap kurun waktu memang selalu mejadi perbincangan. Barangkali ada benarnya pendapat itu. Sekali lagi, pakaian hanyalah lapis luar duniawi. Pakaian bisa menipu.
Namun, terkait pandangan sang presenter tadi, pendapat seorang ustad muda berikut ini, saya pikir, juga benar. Dalam sebuah ceramah ia bilang begini: “Jika hatinya shaleha penampilannya pasti shaleha. Sebab sebagai perempuan shaleha sejatinya ia mengetahui menjadi shaleha tidak cukup hanya dengan hati. Pedomannya jelas. Dalilnya tegas.” Selamat berbuka. Semoga berbahagia. [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD–ITB