Spiritus

Catatan Menjelang Buka (24): Pakaian

“Raden Patah jatuh sakit dan kehilangan kesadaran setiap kali mencoba untuk duduk di atas takhta dengan berpakaian sebagai seoang haji. Akan tetapi, setelah ia mengenakan tutup kepala kerajaan gaya Jawa dan ornament-ornamen telinga, ia dapat duduk dengan selamat”.

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Hari ke-24: Lebaran tentu akan tiba sebentar lagi. Tengoklah, kota-kota besar mulai sepi. Sebaliknya, kampung-kampung meramai. Masjid mulai kosong; sedangkan pasar kian sesak. Belanja menjadi tema utama.

Segala penganan dikumpulkan, dikreasikan menjadi kue lebaran. Baju baru, tentu saja, fardu. Dengarlah talu bedug di masjid-masjid: “dug-dulug-dugdag! Menta baju jeung calana/ hayang kapake ayeuna”, “Minta baju dan celana/ingin dipakai sekarang juga”.

Acep Iwan Saidi

Baju dan celana atau secara umum pakaian memang sentral dalam kehidupan manusia. Fungsinya sebagai “pembungkus” tubuh menyebabkan pakaian menjadi yang pertama terlihat. Fungsi inilah yang menyebabkan pakaian menjadi sangat vital.

Tapi, mengapa tubuh harus dibungkus atau ditutup? Kita bisa menatapnya dari berbagai perspektif: alam, budaya, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan alam, pakaian dibutuhkan untuk melindungi diri dari ancaman alam, yang dalam beberapa hal sering tidak bersahabat. Cuaca yang terlalu dingin di daerah kutub, misalnya, menyebabkan penghuninya menggunakan bahan yang tebal untuk menyelimuti tubuh.

Sementara itu, mereka yang hidup di gurun dengan terik matahari menyengat memakai bahan yang lebih tipis, longgar, dus dominasi warna putih. Pilihan atas putih sebab warna ini bersifat memantulkan cahaya. Jadi, dalam konteks masyarakat Arab, putih bukan semata dimaknai suci sebagaimana disabdakan Baginda Tercinta Muhammad shalallahu alaihi wassalam, melainkan karena juga berfungsi untuk menentang panas. Sabda Rasulillah, dalam banyak hal, memang berbasis pada ruang dan waktu ketika ia disampaikan.

“Yang Suci” itu sendiri, Ka’bah, faktanya dibungkus dengan kain hitam.  Sebaliknya dari putih, warna hitam bersifat menyerap cahaya. Dari kacamata ini, Kabah menjadi teduh bukan hanya, yang utama, disebabkan oleh aura keagungannya, melainkan juga karena, secara alamiah, warna kain pembungkusnya.

Perempuan Arab umumnya juga bergaun hitam sebab kebanyakan mereka beraktivitas di dalam rumah. Jika hitam menyebabkan teduh, perempuan bergaun hitam menjadi teduh juga. Mereka peneduh keluarga. Jadi, hitam di Arab berbeda dengan di kita. Di kita, hitam itu suram, duka, dan lumrah dipahami sebagai jahat. Dunia hitam adalah jagad kejahatan.

Sebagai masyarakat yang hidup di alam tropis, nenek moyang kita lebih banyak menggunakan bahan dari daun dan kulit kayu. Mungkin karena alam tropis tidak seganas kutub dan gurun, tubuh yang dibungkus hanya bagian yang dianggap paling vital. Perhatikan, misalnya, koteka di masyarakat Papua.

Daun dan kulit kayu sebagai penutup alat vital sedemikian mengingatkan kita kepada manusia pertama, Adam dan Hawa. Di dalam surga tampaknya  Adam telah mengenal dan memakai pakaian (penutup aurat). Hal ini dapat ditafsir dari firman Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 27 berikut ini: “Ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya”. Penelanjangan ini dilakukan setelah Adam dan Hawa memakan buah dari pohon terlarang. Allah menjelaskan hal ini pada surat yang sama pada ayat sebelumnya.

Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surge.” (QS. Al-A’raf : 22).

Menutup aurat dan melindungi diri dari kemungkinan bahaya alam di atas tentu merupakan fungsi elementer pakaian. Dalam perkembangannya, sejarah kemudian mencatat pergeseran penting. Pakaian menjadi bukan hanya soal yang berkaitan dengan alam belaka. Pakaian adalah perkara kebudayaan yang penting.

Kebudayaan, kita semua tahu belaka, perdefinisi adalah masalah kreatifitas. Kebudayaan adalah respons kreatif manusia terhadap stimulus yang dikirim realitas (alam). Dalam konteks ini, pakaian menjadi bagian penting dari tatalaku manusia. Pakaian adalah soal etika, kesopanan, keindahan, dan lain-lain yang dimotivasi oleh interaksi keseharian manusia di dalam ruang dan waktu tertentu. Pakaian menjadi representasi dari zaman dan dari mana (tempat) kamu berasal. Pakaian adalah sebuah sistem budaya dan identitas. Di situlah kemudian  dikenal apa yang disebut pakaian adat

Posisi pakaian di dalam kebudayaan sedemikian adalah posisi yang sejauh ini paling melekat. Meskipun pakaian adat sudah jarang bahkan tidak dipakai dalam keseharian, misalnya, ia tetap diakui sebagai penanda identitas. Paling tidak, ia tetap dipakai pada acara-acara tertentu yang dianggap sakral, seperti upacara pernikahan.

Pada suatu zaman ketika hubungan antarkebudayaan belum cair seperti sekarang, pakaian sebagai identitas tersebut bahkan berpengaruh secara psikologis kepada pemakainya. Tubuh seorang Jawa yang berpakaian adat Jawa, misalnya, sulit menerima pakaian dari kebudayaan lain.

Kees Van Dijk, dalam artikelnya, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana Pembedaan dan Diskrimanasi”, mencatat bahwa pertemuan antara pakaian masyarakat Jawa dengan pakaian masyarakat Eropa pada mulanya mengalami kendala yang cukup rumit. Dijk antara lain melaporkan peristiwa yang dialami Raden Patah sebagai beriku.

“Raden Patah jatuh sakit dan kehilangan kesadaran setiap kali mencoba untuk duduk di atas takhta dengan berpakaian sebagai seoang haji. Akan tetapi, setelah ia mengenakan tutup kepala kerajaan gaya Jawa dan ornament-ornamen telinga, ia dapat duduk dengan selamat”.

Kita masih akan menemukan berbagai kerumitan lain mengenai pakaian ini. Tapi, sebagai catatan menjelang buka, esei ini kiranya sudah berlebih. Jadi, sementara diakhiri di sini saja. Besok insya Allah  dilanjutkan. Terima kasih. Selamat berbuka. Semoga berbahagia. [ ]  

Back to top button