Perjuangan Izzuddin menitikberatkan tiga hal, yakni selalu waspada akan ancaman Yahudi yang terbukti selalu licik di sepanjang sejarah. Kedua, ajakan untuk berjihad, dan ketiga memilih para pemuda berkualitas untuk dibekali pemikiran keagamaan yang lurus serta keahlian militer.
JERNIH—Bernama lengkap Muhammad Izzuddin Abdul Qadir Al-Qassam, Izzudin lahir di Jibillah, Suriah, pada 1882. Beliau sempat belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, dan mendapatkan bimbingan dari mujtahid terkemuka, Muhammad Abduh.
Seiring pengalaman hidupnya, Izzuddin kemudian menjadi seorang syekh tarikat Asy-Syadziliyah (yang didirikan Syekh Abu Hassan Syadzili beratus tahun sebelumnya), di sebuah wilayah di Suriah utara. Namun ia bukan termasuk syekh tarekat yang uzzlah dari realitas masyarakat. Justru dengan menjadi syekh tarekat, Izzuddin bergabung dalam sebuah revolusi menentang penjajah Prancis.
Setelah penjajah Prancis menjatuhkan hukuman mati in absensia, Izzudin pindah ke Haifa, Palestina. Alasan pemilihan tempat tersebut sebagai lokasi hijrah tak lain karena tempat tersebut kian disesaki Yahudi dan sistem mereka yang menindas rakyat kecil. Komunitas Yahudi memang telah lama menjadi kalangan penghisap darah di berbagai lokasi yang mereka datangi dan tempati, sehingga memancing kebencian berbagai bangsa. Inilah yang pada dekade berikutnya menjadi alasan Hitler yang fasis untuk menghabisi mereka secara massal. Di Haifa, Izzuddin tinggal di rumah keluarga Haji Amin Nurruddin.
Di Haifa, Izzuddin mengajar di Masjid Istiqlal. Tidak hanya mengajarkan ilmu agama, Izzuddin juga mengobarkan semangat perjuangan melawan kebatilan dan penjajahan. Karena itu, Izzuddin pun mengobarkan semangat jihad dan membekali para pemuda patriotik pecinta agama dengan seluk beluk kemiliteran. Hal itu membuat kalangan Yahudi dan kolonialis Barat menyebutnya sebagai ustadz radikal.
Perjuangan Izzuddin menitikberatkan tiga hal, yakni selalu waspada akan ancaman Yahudi yang terbukti selalu licik di sepanjang sejarah. Kedua, ajakan untuk berjihad, dan ketiga memilih para pemuda berkualitas untuk dibekali pemikiran keagamaan yang lurus serta keahlian militer.
Pada tahun 1931, bersama pasukan yang dibentuknya, Izzuddin menyerang permukiman Yahudi di Yagur. Dalam penyerangan tersebut tiga tentara Yahudi terbunuh. Selain meneruskan penyerangan ke berbagai komunitas Yahudi, pasukan Izzuddin menyebar ke seluruh pegunungan di Palestina, membentuk markas-markas gerilya. Pada 1935, setelah penjajah Inggris kian mempersempit ruang geraknya, Izzuddin memindahkan markas gerakannya ke area pegunungan.
Pada saat Izzuddin memindahkan pasukan, anggotanya tidak lebih dari 200 orang pemuda belekesenteng buta tulang buta daging (Sunda: muda usia, sekitar awal 20-an). Mereka dibagi ke dalam regu-regu yang terdiri dari 5 orang, dengan seorang pemimpin di antara mereka. Tidak lama setelah pemindahan itu, anggotanya bertambah menjadi sekitar 800-an orang pemuda. Setelah itu anggota regu ditambah menjadi sembilan orang, termasuk komandan regu.
Pada tahun itu pula—1935—penjajah Inggris menyerang markas Izzuddin di Ya’bad. Penjajah Inggris yang saat ini seolah tanpa dosa itu tidak hanya mengerahkan pasukan infantri, tetapi juga pasukan artileri berat, bahkan skuadron pesawat tempur. Pada pertempuran itu Izzuddin Al-Qassam syahid bersama dua mujahid lainnya.
Jenazah Izzuddin dibawa ke Haifa. Ribuan orang menyambut jenazah berlumuran darah dengan baju yang dipakainya saat pertempuran tersebut, menyemut mengantarnya ke keabadian. Usai pemakaman, banyak sekali pergolakan terjadi di Palestina yang saat itu berada dalam penjajahan Inggris.
Kini nama Izzuddin Al-Qassam senantiasa berkibar, tertulis dalam bendera sebuah brigade berani mati organisasi perjuangan Palestina, Haraqah Muqawamah Islamiyah (Hamas). [Sumber : Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Muhammad Said Murshi, Pustaka Al Kautsar]