SolilokuiVeritas

Saya dan Diah Hadaning

Selamat jalan Mbak Diah. Bagi banyak orang, Mbak adalah Umbu Paranggi pada sisi jalur yang lain. Paranggi banyak mengajari orang dengan puisi; membangun jiwa-jiwa yang mencintai dan kemudian memproduksi puisi. Mbak mengajak kami, para junior, untuk menulis cerita. Yang pendek-pendek saja. Sebab akhirnya kita menemui kebenaran yang mungkin pahit, bahwa hidup pun hanya utas benang rapuh yang pendek saja.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Sebenarnya saya tidak harus tersentak manakala pada Minggu (1/8) sore membaca sebuah pesan di grup WA dari sastrawan Riau, Fakhrunnas MA Jabbar, mengabarkan kepulangan Mbak Diah Hadaning. Bagaimanapun, usia beliau yang lahir pada 4 Mei 1940 itu memang sudah tergolong sepuh, 81 tahun.

Yang membuat saya tersentak, tampaknya justru kesadaran dari dalam, betapa saya laiknya Pak Pandir yang tak pernah belajar dari pengalaman, bahwa kematian adalah kepastian, dan karena itu silaturahmi adalah hukum besi. Rajutlah, maka manakala mati yang pasti itu datang memutus segala peluang dan kemungkinan, barangkali, setidaknya saya pernah belajar dari mendiang. Pernah bersilaturahmi, yang konon catatan tentang itu akan sangat berharga di alam mati.

Diah Hadaning, bersama buku puisinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia

Cerita saya tentang almarhumah, sejatinya 100 persen cerita tentang kealpaan diri saya.

Pada tahun 1989, manakala dalam kepengecutan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan usai lulus SMA—lebih naifnya lagi cara itu saya anggap sebagai pemberontakan kepada Bapak—saya memutuskan mencoba menulis sebagai pengisi waktu. Dalam keterbatasan perangkat pembantu, saya menulis di sisa-sisa halaman buku, dengan balpoin. Saya sempat menulis beberapa artikel, satu-dua dimuat di media lokal, antara lain Tabloid Salam dan PR Edisi Cirebon, yang keduanya pun sudah almarhum bahkan di awal datangnya millennium. Saat itu, dalam kenaifan benak seorang anak lulusan SMA, tak pernah saya membayangkan betapa kesalnya para redaktur mendapatkan naskah dalam tulisan tangan yang sampai sekarang pun banyak dipuji orang sebagai tulisan resep seorang dokter itu. Saya woles saja, bahkan rada-rada penuh percaya diri.  

Saya bahkan sempat menulis sekitar delapan-sembilan bab dari ‘novel’ yang ceritanya berlatar belakang rimba Sumatera di awal-awal era HPH, suku Kubu dan kerasnya kehidupan para penebang kayu saat itu. Bapak saya memang penebang kayu (chainsaw man), dan ceritanya tentang rimba Sumatera saat itu menjadi pengganti dongeng pengantar tidur kami. Jadi, alih-alih para pahlawan Islam di masa lalu, sebagaimana anak-anak Muslim saat ini, sosok laki-laki pertama yang kuat melekat di benak saya, tak lain bapak saya sendiri.

Semua coretan tangan itu masih sempat saya pelihara hingga awal-awal pernikahan. Setelah itu, raib entah kemana bersama beberapa dokumentasi tentang gerakan jilbab dan gerakan mahasiswa umumnya yang terjadi di Bandung pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an.

Salah satu ‘karya tulis’ saya di masa-masa pengangguran itu adalah sebuah cerita pendek yang saya kirimkan ke Mingguan ‘Swadesi’. Saat itu Swadesi tergolong surat kabar mingguan yang punya kepedulian lebih terhadap budaya dan sastra. Mungkin semacam ‘Horison’ untuk para pemula, baik pengisi maupun pembacanya.  Tentu saja, dengan ‘maqam’ Horison saat itu, sebagai penulis anak bawang di bawah 20 tahun dengan pendidikan SLTA, saya jeri mengirimkan naskah. Untuk apa pula saya berkirim naskah yang perlu perangko pengembalian—yang bagi saya saat itu cukup berat–, bila peluang ditolaknya lebih besar?

Di media tersebut, Mbak Diah Hadaning menjadi salah seorang redaktur, tepatnya penjaga gawang desk budaya. Beliaulah yang menentukan apakah sebuah karya bisa dimuat di kolom cerita pendek atau tidak.

Sebuah surat balasan ‘Swadesi’ yang dibawa kurir Balai Desa—‘Jugul’ namanya, yang di masa itu sering menggantikan tugas Pak Pos yang bekerja semalas medioker—siang itu menggembirakan saya. Saya minta dana tambahan kepada Ibu, untuk memberikan tips yang lain dari biasa kepada Pak Jugul saat itu. Cerpen saya di-acc untuk dimuat bulan depan, kata surat yang ditandatangani Mbak Diah Hadaning tersebut.  

Cerpennya sendiri sesederhana alam pikiran anak lepas SMA, tentu. Mengisahkan persahabatan dua anak SMA berlainan jenis. Sebuah jalinan pertemanan yang terjebak apakah akan tetap suci di jalur sahabat, atau beranjak ke jalur lain yang lebih intim, berpacaran, namun tentu saja penuh pamrih. Mungkin pula nafsu.

Cerita diakhiri dengan kematian si pemuda, karena bus yang ditumpanginya saat hendak melanjutkan kuliah di Bandung—namanya pemuda desa di Jabar saat itu, kuliah ya terpikirnya Bandung!—terperosok ke jurang Cadas Pangeran. Dia mati dalam perjalanan, dengan pikiran bercabang pada simpang jalan antara pacaran dan meneruskan pertemanan. Pengarangnya saat itu bangga bisa membunuh si tokoh cerita saat yang bersangkutan tengah bergulat dalam pemikiran. Bukankah berpikir adalah tanda keberadaan dan hidup, laiknya Descartes berkata,”Cogito ergo sum”?

Salinan cerpen itu saya jadikan surat, saya kirim ke adik kelas yang di akhir-akhir masa sekolah sempat saya lirik. Di pekan yang sama, saya pun menerima surat balasan. Bedanya, bila amplop surat dari ‘Swadesi’ berwarna cokelat muda dan mulai kusam dalam pegangan tangan Pak Jugul—saya tak terpikir membauinya—surat dari adik kelas itu bersampul merah muda. Ada ruap-ruap harum, campuran antara Melati dan Mawar, yang biasa dipakai remaja putri. Bukan pak Jugul yang jadi kurirnya, tetapi sahabat dari adik kelas saya itu. Saya lupa prosesnya, tapi rasanya itu saya terima di sekolah, saat saya datang entah untuk urusan apa.

Ada garis yang sama dalam kedua surat itu: pujian. Pujian dari adik kelas itu tentu tak harus saya jelaskan. Selain sudah lupa, isinya yang khas anak-anak abege hanya akan membuat saya geleng-geleng kepala, tampaknya.

Nah, surat dari Mbak Diah itu tidak hanya menyatakan bahwa cerita saya akan dimuat. Beliau juga meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan pujian. Seingat saya bahkan tak ada kritik—mungkin terlupakan atau bisa kepanjangan. Beliau menulis, ada garis kesamaan antara cerpen saya saat itu dengan gaya penulisan Pak Gerson Poyk, penulis cerita pendek terkenal. Saya mengingat bagian itu karena meski sebelumnya saya sempat membaca beberapa cerpen Pak Gerson, setelah surat itu saya banyak mencari tulisan cerpenis tersebut untuk saya baca. Saya lupa, pada sisi apa Mbak Diah menyatakan kesamaan itu. Tetapi anak lepas SMA mana yang tak bangga disandingkan dengan cerpenis Indonesia terkemuka?

Lain dengan tulisan-tulisan awal saya yang lain, yang membuat saya terperosok ke luweng dalam dunia tulis-menulis, saya tidak mengkliping cerpen tersebut. Dua-tiga pekan setelah menerima surat dari ‘Swadesi’ itu saya harus berangkat ke Bandung. Bukan untuk kuliah dan belajar. Untuk menjadi petugas cleaning service di Hero Pasar Swalayan, Gedung Palaguna, di sisi timur Alun-alun Bandung. Gedung itu kini telah rata, menghilangkan semua kenangan peristiwa yang terjadi di sana, hanya menyisakannya di benak masing-masing pelakunya.

Setelah memasuki dunia kewartawanan, meninggalkan jalur yang sempat saya ambil sesuai kuliah, sempat saya berpikir untuk sowan menemui Mbak Diah. Sayang, niatnya kurang kuat, sehingga dengan gampang dikalahkan berbagai hal rutin yang menggayuti jam-jam di keseharian saya.

Niat itu datang tak hanya sekali. Tetapi selalu, dan terus dikalahkan, bahkan oleh hal-hal kecil hingga akhirnya yang tersisa selalu pasti: sesal, kecewa. Kalah.  

Hingga datangnya pesan WA kemarin sore, yang memutus kemungkinan, bahkan kalau pun ada episode lain setelah kehidupan.  

Selamat jalan Mbak Diah. Bagi banyak orang, Mbak adalah Umbu Paranggi pada sisi jalur yang lain. Paranggi banyak mengajari orang dengan puisi; membangun jiwa-jiwa yang mencintai dan kemudian memproduksi puisi. Mbak mengajak kami, para junior,  untuk menulis cerita. Yang pendek-pendek saja. Sebab akhirnya kita menemui kebenaran yang mungkin pahit, bahwa hidup pun hanya utas benang rapuh yang pendek saja. [darmawan sepriyossa]

Back to top button