KPK: Lembaga yang (Dibuat) Mati Muda
Sejak awal, bayi KPK memang anak yang tak dikehendaki lahir oleh sebagian kalangan elit di negeri ini
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Jumat malam, 5 Oktober 2012. Tujuh orang, sebagian berseragam polisi dengan epaulet perwira di bahu, merangsek, mencoba membuka pintu menuju ruangan dalam gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Penanggung jawab keamanan bangunan, seorang pensiunan perwira Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dengan tenang namun gigih terus menahan mereka.
“Kami menjalankan tugas negara,” kata salah seorang perwira polisi yang datang dan mendesak masuk itu. Sang pensiunan perwira Kopassus tetap bergeming bertahan. “Tanpa izin pimpinan, saya tak bisa membuka pintu dan menyilakan siapa pun masuk,” kata dia. Ia tetap mempertahankan pintu kaca transparan tebal yang dilengkapi kunci berpengaman digital itu. Mereka terus adu argumen dibatasi kaca tebal, sampai seorang penyidik senior KPK , Komisaris Bhakti Suhendrawan datang. Sebagai sesama korp baju cokelat, ia mengenali sebagian tamu KPK malam itu. Benar, koleganya di Polri.
Saat Bhakti bertanya apa keperluan mereka datang malam-malam, rombongan polisi yang dipimpin Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu, Komisaris Besar Dedy Irianto, segera menyorongkan surat. Isinya perintah penangkapan Komisaris Polisi Novel Baswedan, perwira polisi yang sejak 2007 menjadi penyidik di KPK.
Bhakti membaca dan mengangguk-angguk. “Ada yang lain?” ia bertanya. Komisaris Besar Dedy kembali menyorongkan surat kedua, kali ini perintah penggeledahan gedung KPK. Bhakti mengamati surat itu lebih seksama. “Sudah dilengkapi surat pengadilan?”ia kembali bertanya. Dedy menjawab belum. Mata Bhakti yang terlatih dan berpengalaman melihat bahwa surat itu tidak dilengkapi nomor laiknya sebuah dokumen resmi.
“Belum,” kata Kombes Dedy, pendek.
“Kalau begitu tidak bisa dipakai,” ia kemudian menyilakan para tamu tak diundang itu tetap menunggu di ruang lobi.
Kira-kira seperti itu majalah TEMPO merekonstruksi apa yang terjadi malam itu, berdasarkan wawancara majalah itu dengan sumber-sumber utama mereka yang langsung menyaksikan peristiwa itu di tempatnya terjadi.
Jumat malam itu Novel Baswedan baru selesai memeriksa Inspektur jenderal Polisi Djoko Susilo, mantan Kepala Korps lalu Lintas (Korlantas) Markas Besar Polri, sebagai tersangka kasus korupsi proyek simulator kemudia untuk ujian Surat Izin Mengemudi (SIM) senilai Rp 196,87 miliar. Djoko merupakan perwira tinggi polisi aktif pertama yang dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Novel sejal awal merupakan motor penyidikan kasus yang juga diduga melibatkan banyak perwira tinggi Kepolisian itu.
Sejak kasus itu bergulir, seolah melancarkan pukulan balasan, Mabes Polri mengumumkan Novel sebagai tersangka perkara “penembakan pencuri sarang burung walet” di Bengkulu, yang terjadi pada 2004, delapan tahun sebelum hari itu.
Perseteruan seperti itu, antara KPK dengan institusi pemerintah lainnya—dalam kasus di atas dengan Polri—bukanlah yang pertama, dan bukan pula yang terakhir. Dalam catatan media massa, perseteruan antara KPK dengan Kepolisian RI pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di masa pemerintahan SBY pernah dua kali terjadi kasus perseteruan KPK dengan polisi, yang lazim disebut ”cicak vs buaya”.
Kasus cicak vs buaya pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Susno-lah orang yang pertama kali menyodorkan analogi cicak vs buaya. Ia mengibaratkan KPK sebagai cicak yang kecil, sedangkan Polri ialah buaya, karena besar. “Cicak kok mau melawan buaya?” kata Susno saat itu.[1]
Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK; Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi.
Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Menurut SBY, ada sejumlah permasalahan di ketiga lembaga penegak hukum saat itu, yakni Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK.
“Karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK,” kata SBY saat memberikan pidato terkait kasus cicak vs buaya pada 23 November 2009 di Istana Negara. Setelah itu, perseteruan KPK dengan Polri itu pun meredup.
Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi, yakni pada cerita yang mengawali tulisan ini, awal Oktober 2012. Sebagaimana disebutkan, kasus itu dipicu langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Untuk kasus tersebut, para pegiat antikorupsi kembali beraksi melawan aparat Kepolisian yang mengepung gedung KPK. Para aktivis antikorupsi datang berduyun-duyun ke Gedung KPK, membuat pagar betis, dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan. Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.
“…Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan,” kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012. “Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur sedemikian sehingga muncul masalah politik yang baru.” Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi. Perkataan Presiden SBY benar-benar bertuah karena kasus itu pun kontan kembali redup, tetapi tetap menyisakan bara yang belum sepenuhnya padam.
Cicak vs buaya kembali muncul di era Presiden Joko Widodo pada 2015. Sebelas hari setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, Kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto pada Jumat, 23 Januari 2015.
Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Jokowi memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Tiga jam kemudian, Jokowi memberikan pernyataan singkat.
“Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang,” kata Jokowi di Istana Bogor, hari itu juga. Ratusan aktivis pro-pemberantasan korupsi mendukung KPK memprotes tindakan Polri tersebut. Konflik itu pun disebut sebagai sengketa “cicak vs buaya jilid 3”. Sebagaimana dua sengketa sebelumnya, kasus terakhir pun meredup begitu saja, tanpa akhir yang jelas.
Upaya Penguasaan KPK yang TSM
Di negeri ini, tampaknya koruptor telah menjadi komunitas yang memiliki solidaritas tinggi di antara mereka. Dengan lahirnya KPK, kepentingan mereka tentu terbelenggu, terhambat dan terganggu. Untuk itu mereka tidak diam, melainkan melawan dan berontak.
Upaya itu dilakukan terutama dengan terus berusaha untuk melemahkan musuh bersama dan ikon anti-korupsi, KPK. Paling tidak menurut salah seorang pegawai KPK yang terpental melalui tes wawasan kebangsaan (TWK), Harun Al Rasyid, hal itu telah berlangsung bahkan sejak awal lembaga anti-rasuah itu berdiri, 2003.
“Sejak awal KPK berdiri, perlemahan itu telah terjadi,” kata Harun kepada JPNN di Gedung ACLC KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, awal Juni lalu. Tetapi di masa-masa awal itu, menurut dia, sifat gangguan itu masih kecil dan belum massif. Harun mencontohkan bahwa sejumlah pegawai KPK sempat mengalami ancaman saat menangani perkara korupsi. Hal itu merupakan salah satu cara melemahkan KPK.
Namun seiring waktu, konsolidasi di antara pihak yang melihat KPK sebagai ancaman itu kian kuat, dan perlemahan yang mereka lakukan pun akhirnya sebagaimana jargon Pilpres tentang kecurangan, “TSM: terstruktur-sistematis-masif”.
Hal tersebut dibenarkan peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochammad Nurhasim. Nurhasim mengatakan, berdasarkan perjalanan KPK dari periode ke periode, dirinya melihat jelas bahwa KPK telah cenderung disusutkan atau dilemahkan.
“Kalau kita lihat KPK dari tahun 2001-2014 itu ada kecenderungan bahwa KPK memang superbody. Para politisi dan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan korupsi selalu mengatakan ini lembaga yang tidak bisa dikontrol,”kata Nurhasim.
Hal itu, kata Nurhasim, terkait erat dengan paradigm KPK di awal pendirian yang membentuknya menjadi lembaga ‘super body’, yakni berdasarkan UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Karena kuatnya pemikiran bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya. Dalam pasal 3 UU no 30/2002 itu memang termaktub posisinya yang independen,”Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”
Hal itu wajar, mengingat pengalaman Indonesia sebagai negara yang pernah morat-marit akibat korupsi, sehingga salah satu amanat Reformasi 1998 pun menyoal korupsi. Amanat itulah yang kemudian pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie dituangkan ke dalam Undang-undang (UU) No. 28 Tahun 1999 tentang “Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Kedua undang-undang yang lahir dari amanat Reformasi 1998 itulah yang kemudian menjadi cikal bakal UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Alhasil, KPK pun tak pelak merupakan buah dari amanat reformasi 1998 untuk menjamin penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari korupsi.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan soal TSM tersebut secara lebih eksplisit. Menurut Zainal, “pembunuhan KPK”, yang salah satunya dilakukan dengan Test Wawasan Kebangsaan merupakan kejahatan yang sempurna karena melibatkan upaya yang sudah terstruktur dan politik tingkat tinggi.
“Pembunuhan KPK adalah perfect crime (kejahatan sempurna). Disusun sedemikian rupa, kekuasaan tingkat tinggi, manajemen canggih, melampaui hukum, moralitas, kemampuan akal sehat, nilai budaya,”ujar Zainal dalam diskusi virtual Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, bertema “Akhir Kisah Komisi Pemberantasan Korupsi”, awal Mei 2021.
Upaya perlemahan yang TSM tersebut terlihat jelas dengan berbagai upaya yang kalau disederhanakan bisa dibagi menjadi beberapa ‘jalur gangguan’.
-Jalur kriminalisasi-intimidasi
Di awal-awal, pada masa pemerintahan Presiden SBY, perlemahan dengan carakriminalisasi banyak dialami para komisioner dan pejabat-pejabat KPK seiring dilakukannya pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pengusaha dan politisi berpengaruh.[2]
Pada 2009, misalnya, Ketua KPK Antasari Azhar didakwa melakukan pembunuhan terhadap pengusaha Nasrudin Zulkarnaen. Ia kemudian divonis 18 tahun penjara pada 2010 dan ia dinyatakan bersalah turut serta melakukan pembujukan untuk membunuh Nasrudin. Setelah bebas, ia mengatakan bahwa kasusnya direkayasa dan bahwa SBY adalah dalang kriminalisasi terhadap dirinya. Namun pernyataan Antasari tersebut tidak pernah dapat dibuktikan.[3]
Yang pasti, salah satu kasus yang menjadi sorotan selama era Antasari adalah penangkapan dan pemenjaraan Aulia Pohan, deputi gubernur Bank Indonesia yang juga merupakan besan SBY, dalam kasus korupsi aliran dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat kejaksaan.
Juga pada 2009, Kepolisian Republik Indonesia menetapkan dua orang wakil ketua KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka. Bibit menjadi tersangka dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan surat cekal untuk pengusaha Joko S. Tjandra. Chandra menjadi tersangka tuduhan yang sama dalam menerbitkan surat permohonan cekal untuk pengusaha Anggoro Widjojo.
Kriminalisasi pada pejabat KPK terus berlangsung, hingga juga terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Pada 2015, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen Kartu Tanda Penduduk, paspor dan Kartu Keluarga.
Di tahun yang sama, komisioner KPK Bambang Wijojanto juga ditangkap polisi atas tuduhan menyuruh sejumlah saksi memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan Mahkamah Konstitusi pada 2010.
Antara 2015 dan 2019, ada dua komisioner, tiga penyidik, dan seorang penyelidik KPK yang dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan. Komisioner Agus Rahardjo dan Saut Situmorang berulang kali dilaporkan ke Kepolisian. Mereka dilaporkan dengan tuduhan pemalsuan surat dan penyalahgunaan wewenang.
Kriminalisasi terhadap pemimpin KPK tersebut jelas berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dari beberapa kasus, setelah penetapan komisioner KPK menjadi tersangka, penanganan kasus yang sedang ditangani KPK pun serta-merta terhambat.
Tidak hanya itu, kekerasan, fitnah dan intimidasi terhadap pejabat KPK juga berulang kali terjadi. Mulai dari tabrak lari, kekerasan, pelemparan air keras, hingga teror bom molotov.
Pada April 2017, penyidik KPK Novel Baswedan disiram air keras oleh dua pria bersepeda motor usai melaksanakan salat subuh di mesjid dekat rumahnya. Novel bahkan nyaris kehilangan penglihatan.
-Jalur legislasi
Upaya kedua yang lebih sistematis dan ‘sabar’, adalah lewat jalur legislasi, via Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Caranya, melalui proses penyusunan regulasi (legislasi) dengan cara melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Revisi UU KPK).
Sejak 2011 upaya merevisi UU KPK sudah mulai digagas. Namun karena di DPR sendiri sampai 2014 itu kekuatan-kekuatan politik di DPR masih belum terkooptasi kekuasaan, maka upaya tersebut sealu gagal.
Upaya untuk merevisi UU KPK itu makin agresif dilakukan pemerintah dan DPR pada tahun 2015, seiring makin terkumpulnya suara partai-partai politik di tangan kekuasaan pemerintah. Tercatat ada tiga kali upaya pembahasan Revisi UU KPK dilakukan, yaitu pada Juni, Oktober dan Desember 2015.
Pada naskah Revisi UU KPK per 2015, ICW mencatat sedikitnya terdapat 17 (tujuh belas) hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK[4]. Beberapa diantaranya adalah pembatasan usia KPK hanya 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan, memberikan kewenangan penghentian penyidikan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekruitmen penyidik hingga membatasi kasus korupsi ditangani.
Menurut ICW, jika Revisi UU KPK disahkan, maka tidak saja KPK yang terancam namun juga agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Beruntung, akibat banyaknya penolakan, proses pembahasan Revisi UU KPK hingga penghujung tahun 2015 itu gagal dilaksanakan.
Upaya itu menguat kembali, ditandai dengan diketuknya palu pada Kamis, 17 September 2019 untuk mulai melakukan proses revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Padahal, rancangan revisi UU tersebut menuai berbagai polemik karena diyakini banyak kalangan masyarakat berujung pada perlemahan KPK.
Tercatat ada enam orang anggota DPR yang menjadi pengusul dilakukannya revisi atas UU KPK tersebut. Mereka adalah Masinton Pasaribu (PDIP), Risa Mariska (PDIP), Achmad Baidowi (PPP), Saiful Bahri Ruray (Golkar), Taufiqulhadi (Nasdem) dan Ibnu Multazam (PKB).[5]
Akan halnya mengapa revisi UU KPK tersebut bergulir,mayoritas masyarakat memang mempertanyakannya, terutama kepada Presiden Jokowi. Mereka tahu bahwa sebelumnya Jokowi bahkan berulang kali berjanji untuk memperkuat KPK—bahkan ada yang menyitir pernyataan beliau secara verbatim: “10 kali lipat”.[6] Publik kecewa karena pasal-pasal revisi yang diajukan, umumnya justru memperlemah KPK, bukan menguatkan posisinya.
Misalnya, TEMPO.CO merinci sejumlah pasal dalam UU hasil revisi justru berpotensi membuat kelembagaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi makin lemah. Berikut rincian TEMPO[7]:
1. Korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime
Dalam Pasal 46 UU KPK yang lama disebutkan bahwa pemeriksaan tersangka oleh KPK merujuk pada ketentuan UU KPK. Namun dalam UU baru, pasal itu diubah dan pemeriksaan tersangka merujuk pada ketentuan yang ada di kitab hukum acara pidana.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, perubahan itu menyebabkan UU KPK kehilangan status sebagai aturan yang berlaku khusus. Dampaknya, tindak pidana korupsi hukum acaranya sama dengan tindak pidana biasa. “Korupsi menjadi dianggap perkara biasa, bukan extraordinary lagi,” kata Fickar.
2. Kewenangan pimpinan KPK dibatasi
Dalam Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang lama, pimpinan KPK merupakan penanggung jawab tertinggi yang berwenang menerbitkan surat perintah penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan penangkapan. Namun dalam UU baru kewenangan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus. Di UU yang baru, hampir semua kewenangan pimpinan KPK diambil alih oleh dewan pengawas.
3. Kewenangan menggeledah, menyita, dan menyadap dipangkas
Merujuk Pasal 47 UU KPK yang baru, kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas. Pasal 12B mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. Jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1×6 bulan dan dapat diperpanjang 1×6 bulan.
4. Kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan
Pasal 43 UU KPK baru mengatur bahwa penyelidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Namun Pasal 43A menyebutkan penyelidik tersebut harus lulus pendidikan di tingkat penyelidikan. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pembinaan terhadap penyelidik dan penyidik pegawai negeri sipil berada di bawah naungan kepolisian.
5. Pegawai KPK tunduk pada UU ASN
Pasal 24 UU KPK yang baru menetapkan status kepegawaian KPK harus aparatur sipil negara (ASN). Hal ini dinilai akan mengganggu independensi pegawai KPK.
“Ini mendegradasi KPK dari lembaga independen menjadi lembaga di bawah pemerintah, sebagai pegawai negeri atau ASN yang berada di bawah garis komando subordinasi,” kata pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar.
6. Peran dewan pengawas terlalu dominan
Keberadaan dewan pengawas dinilai akan mendominasi dan mengganggu independensi KPK. Wewenang dewan pengawas juga bukan cuma mengawasi dan mengevaluasi, tetapi masuk dalam keseharian teknis penanganan perkara. Peran dewan pengawas ini tertuang dalam Pasal 37B. “Dewan pengawas ini pemborosan, tak efektif, dan bisa menjadi alat intervensi,” kata Abdul Fickar Hadjar.
7. Kewenangan menerbitkan SP3
UU KPK yang baru mengatur kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila penyidikan dan penuntutan suatu perkara tak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Aturan ini ada di Pasal 40 UU KPK hasil revisi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai aturan ini diskriminatif dengan UU Kepolisian dan Kejaksaan. UU Kepolisian, misalnya, tak mengatur batas waktu tertentu dalam penghentian penyidikan. Pembatasan hanya berdasarkan kadaluwarsa perkara sesuai dengan ancaman hukuman.
8. Perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti
UU KPK ini langsung berlaku setelah diundangkan. Akibatnya, penanganan perkara yang saat ini tengah berlangsung di komisi antikorupsi bisa tiba-tiba berhenti dengan berlakunya UU ini. Padahal, KPK masih menangani sejumlah kasus korupsi seperti e-KTP, Bank Century, BLBI, Pelindo II, dan sebagainya.
-Jalur infiltrasi
Yang dimaksud perlemahan melalui jalur infiltrasi adalah cara-cara pihak yang anti-KPK untuk menguasai lembaga anti-rasuah itu dengan memasukkan tokoh atau figur dengan kualitas ‘kebersihan’ yang tidak memadai, kalau pun tidak tersohor figur yang kotor. Figur-figur tersebut, karena rekam jejak dan masa lalu mereka, diyakini akan mudah disetir dan dikendalikan kepentingan yang mendukung dan mengendorsenya.
Tanpa harus menunjuk figur-figur tertentu, kalangan pegiat anti-korupsi melihat bahwa cara ini sudah sukses mengupayakan naiknya figur-figur tertentu sebagai tokoh atau pengambil kebijakan yang strategis di KPK.
Banyak kalangan publik melihat cara ini berkaitan erat dengan proses seleksi pimpinan KPK. Sebagaimana beredar luas dalam pemberitaan media massa, dari konon ratusan nama yang diseleksi tim yang diketuai Yenti Garnasih, dengan wakil ketua Indriyanto Seno Adji dan para anggota yakni Marcus Priyo Gunarto, Hendardi, Harkristuti Harkrisnowo, Diani Sadia Wati, Al Araf, Mualimin Abdi, serta Hamdi Moeloek, terpilih 10 nama.[8] Kesepuluh nama itu adalah Alexander Marwata, Firli Bahuri, I Nyoman Wara, Johanis Tanak, Lili Pintauli Siregar, Luthfi Jayadi Kurniawan, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Roby Arya B, dan Sigit Danang Joyo.
Terhadap nama-nama capim KPK tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat, mengkritik kinerja Pansel Capim KPK. Mereka menilai Pansel tidak selektif karena ada beberapa capim yang memiliki rekam jejak buruk masih lolos seleksi hingga 20 besar, bahkan 10 besar.[9]
“Cicak vs Buaya 4 terjadi secara parallel, mulai dari revisi UU KPK, beriringan dengan pemilihan panitia seleksi KPK yang bermasalah karena memiliki konflik kepentingan dengan pihak yang menyerang KPK. Pansel ini juga meloloskan orang bermasalah. Ini menunjukkan indikasi bahwa demokrasi Indonesia sudah runtuh,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati.[10]
-Jalur perubahan status pekerja KPK
Salah satu yang paling penting dan berdampak signifikan terhadap independensi dan kekuatan KPK dalam melaksanakan fungsinya memberantas korupsi, adalah status para pekerja yang tergabung di dalamnya.
Menurut peneliti politik di LIPI, Mochammad Nurhasim, UU No.19 tahun 2019—yang pembuatannya tergolong super cepat dalam keriuhan politik yang mengiringinya–adalah bagian awal dari upaya untuk mengubah atau mengontrol KPK sebagai sebuah organisasi. “Termasuk di dalam konteks desain itu adalah alih status pegawai KPK,” kata Nurhasim.[11] Dia menjelaskan, mengubah status pegawai KPK menjadi ASN akan menimbulkan masalah karena sistem organisasi KPK selama ini terbilang jauh lebih efektif dibandingkan dengan model kerja birokrasi ASN.
Keyakinan Nurhasim tersebut diamini Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Bonyamin Saiman dan peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Bonyamin mengatakan, pengalihan pegawai KPK menjadi ASN akan mereduksi independensi lembaga antirasuah itu, lantaran posisi KPK akan berada di bawah Presiden dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
“Setelah menjadi pegawai negeri sipil, maka independensi pegawai KPK akan berubah, mengingat mereka adalah bagian dari pemerintah itu sendiri,” ujar Boyamin kepada Lokadata.id. Sayangnya, untuk persoalan tersebut, sebelumnya Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN. PP tersebut berlaku sejak tanggal diundangkan yakni 27 Juli 2020.
Sementara Kurnia mengatakan, sejak PP yang disetujui Jokowi itu berlaku, independensi KPK semakin terkikis. Alasannya, dengan PP tersebut, KPK tak lagi memiliki sistem kepegawaian yang dikelola secara mandiri.[12]
“Salah satu ciri lembaga independen tercermin dari sistem kepegawaiannya yang dikelola secara mandiri. Ini juga merupakan implementasi dari self regulatory body yang ada pada lembaga negara independen,” kata Kurnia.
Sebagai catatan, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 200 tentang KPK. Dengan UU tersebut, KPK tak lagi menjadi lembaga negara, melainkan lembaga pemerintah pusat.
Enam tahap perlemahan KPK
Keyakinan bahwa KPK memang sengaja dilemahkan tersebut tidak hanya berdasarkan kacamata WNI dengan segala rasa keberpihakan dan rasa memiliki yang dimilikinya. Pengamat luar, yakni pengajar pada University of Sydney, Australia, Thomas Power, menilai ada enam tahapan pelemahan KPK yang terjadi di era Presiden Joko Widodo.
Tahapan pertama adalah menempatkan sebagian elit politik di luar jangkauan KPK. Thomas membandingkan, di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana orang yang berada di lingkarannya masih ‘bisa’ diselidiki dan disidik.
“Sedangkan di era Jokowi, ada perubahan. Terutama ketika ingin menyelidiki ‘orang besar’,” ujar Thomas dalam diskusi daring berjudul “Pengkerdilan KPK dan Membaca Arah Politik Antikorupsi di Indonesia” awal Juni lalu.[13]
Tahapan selanjutnya, menurut Thomas, adalah beragam intimidasi terhadap penyidik KPK. Salah satunya adalah insiden penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Kemudian, fase selanjutnya melakukan delegimitasi diskursif terhadap penyidik-penyidik yang independen. “Caranya melalui pendengungan isu-isu taliban,” kata Thomas.
Tanda pelemahan keempat, kata Thomas, yakni pengangkatan perwira aktif Kepolisian menjadi pimpinan KPK. “Kelima saat revisi UU KPK terjadi dan yang keenam implementasi dari UU KPK itu sendiri, yang mana salah satunya adalah alih status pegawai menjadi ASN (aparatur sipil negara),” kata dia.
Thomas juga menambahkan adanya faktor struktural dan agential juga menjadi faktor perlemahan terhadap KPK terjadi di era Jokowi. Untuk struktural, ada tiga faktor yang melatarbelakangi. “Korupsi bersifat terlembaga, politisasi aparat hukum, dan lembaga independen menjadi ancaman,” ujar Thomas.
Sementara faktor agential adalah politisasi KPK pada 2014, dinamika koalisi pemerintah, dan sikap presiden terhadap agenda anti-korupsi. “Di mana presiden lebih mengutamakan agenda pembangunan daripada pemberantasan korupsi,” kata Thomas, menunjuk faktor perlemahan KPK di era Jokowi.
Apa kabar Presiden Jokowi?
Banyak kalangan yakin, sukar untuk menafikan bahwa pada tahun 2021 ini KPK sejatinya telah mati. Memaksakan diri mengakui keberadaannya dalam kondisi dan keterbatasan kemampuan sesuai tata aturan yang membelenggunya saat ini, sebenarnya hanya basa-basi. Mungkin pula patut kita curigai sebagai bagian dari mereka yang sejak awal dirugikan oleh keberadaan lembaga anti-rasuah itu, dan berkeras meyakinkan publik tentang keberadaannya kini tidak lain hanya untuk menjaga agar lembaga yang dulu menjadi harapan rakyat banyak itu tetap menjadi zombie.
Bagaimana tidak demikian, bila secara asasi pun keberadaan KPK saat ini tidak bisa tidak untuk senantiasa berada dalam paradigm bahwa korupsi hanyalah kejahatan biasa. Bukan lagi kejahatan luar biasa (extraordinary) seperti tatkala lembaga itu lahir, sebagai amanat rakyat yang mereka ekspresikan lewat Reformasi 1998, sehingga untuk memberantasnya pun (kalau keinginan itu masih dibuat seperti ada) tak perlu lewat cara-cara yang extraordinary pula. Alhasil, dengan tiadanya kelebihan dan perbedaan apa pun dengan lembaga penegak hukum lainnya, KPK praktis tak lagi memiliki arti dan fungsi apa-apa.
Kepada siapa rakyat bisa menyatakan kekecewaan mereka seiring mati-(suri)nya lembaga anti-rasuah yang sempat menjadi tumpuan harapan mereka untuk tegaknya keadilan di Tanah Air itu? Berat kerongkongan kita mengatakannya, tetapi memang sejatinya, bila yang dimaksud adalah sebuah lembaga politik di negara ini, barangkali pihak itu tidaklah ada.
Bukankah bahkan wakil rakyat di DPR—lembaga resmi demokrasi kita—pun bahkan secara ironis justru menjadi titik awal dari hancurnya KPK? Bukankah selama proses ‘pembunuhan’ lembaga tersebut, para anggota dewan yang terhormat itu tak pernah sekali pun mendengar dan mengindahkan suara publik, suara rakyat yang hanya mereka anggap suara Tuhan hanya pada saat pemilihan?
Sementara kita tahu, lembaga perwakilan lain—DPD–, sampai saat ini pun masih berjuang keras menegaskan keberadaan mereka dalam demokrasi negeri ini. Alhasil, tak mungkin rakyat meminta bantuan kepada para anggota sebuah lembaga yang posisinya dalam demokrasi kita masih dipandang sebelah mata.
Presiden? Pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi ini memang menarik. Menarik, karena di awal-awal kemunculannya untuk menjadi orang pertama negeri ini, janji berisi mimpi akan sosok KPK yang kuat, mandiri dan tegak dihormati, sempat keluar dari lisan beliau. Bisa jadi, janji itu tak hanya diucapkan sekali.
Setidaknya Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, ingat hal itu. Usman mengatakan, dulu, di masa yang telah berlalu seiring beranjaknya waktu, Jokowi sempat berjanji memperkuat lembaga antirasuah itu. Tapi kini, realitasnya beliau justru seolah tenang, diam dan abai pada saat KPK dilemahkan sampai pada titik “tak potent”.
Usman juga mengingatkan, dulu, Jokowi bahkan tak rikuh menggandeng KPK dalam kerja-kerja konstitusionalnya. Misalnya, Mas Joko pernah menyambangi KPK untuk berkonsultasi mengenai daftar calon menteri. Jokowi juga pernah mengembalikan gitar bas pemberian personel band rock Metallica, Robert Trujillo, ke KPK, karena kuatir hal itu dimaknai sebagai gratifikasi. Pokoknya, saat itu, manstablah!
“Kita juga tahu Jokowi menjanjikan penguatan KPK 10 kali lipat!” kata Usman,. Mengingatkan pada diskusi “Menyikapi Situasi KPK” yang digelar secara virtual pada awal Juni 2021 lalu.[14]
Tetapi begitu waktu berlalu, menurut Usman, kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi justru menjauhkan sejumlah elite politik yang terindikasi korup dari jangkauan KPK. Jokowi dianggap Usman membiarkan tidak adanya proses hukum yang benar, serta tetap anteng, tidak mencegah serangan-serangan terhadap penyidik, penyelidik, anggota serta pimpinan KPK.
Secara tidak langsung, kata Usman, Jokowi juga seperti ikut mengamini delegitimasi diskursif bahwa di dalam tubuh KPK terdapat orang-orang radikal. Lebih jauh bahkan pemerintahan Jokowi membentuk panitia seleksi (pansel) yang tidak kredibel, yang ujung-ujungnya juga menghasilkan pimpinan KPK yang banyak dipertanyakan publik.
Usman juga mempertanyakan langkah Jokowi yang terus memasukkan perwira-perwira aktif ke jenjang yang lebih tinggi, meskipun figure tersebut sudah terindikasi memiliki reputasi buruk. Bukan hanya itu, Jokowi juga dianggap Usman kerap mengabaikan suara-suara masyarakat yang menolak revisi UU KPK. Sisi legislasi itulah yang pada akhirnya menjadi senjata ampuh perlemahan KPK.
“Terakhir, ia seperti atau bahkan cenderung mengabaikan perlemahan KPK dalam bentuk alih status pada ASN,”kata Usman. [15]
Pengamat ekonomi dan sosial Faisal Basri melihat hal yang sama. Ia mempertanyakan pernyataan Presiden yang seolah “tak punya tuah” terkait 75 pegawai KPK. Jokowi sempat meminta agar hasil TWK tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan para pegawai yang tidak lolos tes. Sesuatu yang pada realitasnya tak memberikan dampak apa pun kepada ke-75 orang pegawai KPK tersebut.
“Kalau saya sih melihat, bahasa Pak Jokowi itu bukan bahasa perintah, cuma imbauan,” kata Faisal dalam Youtube Harian Kompas. Menurut Faisal, posisi Presiden Jokowi sebenarnya ikut menghendaki proses perlemahan KPK. Ia pun menilai, pernyataan Presiden Jokowi yang ingin KPK dikuatkan, hanya merupakan upaya pemerintah untuk meredam kontroversi di masyarakat. “Secara sadar, langsung atau tidak langsung, Pak Jokowi dalam posisi menghendaki perlemahan KPK,”kata Faisal. Mantan politisi PAN itu berpandangan, seharusnya Jokowi di awal-awal polemik ini segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu KPK, apabila memang serius ingin memulihkan marwah KPK[16].
Sebenarnya, sikap Jokowi tersebut sudah ramai menjadi pembicaraan publik sejak akhir era pertama ia memerintah. Pas pada lima tahun masa kerja Presiden Jokowi, kalangan aktivis memberikan rapor buruk dalam hal kebebasan sipil dan perlemahan KPK. Pada September 2019 itu, terjadi gelombang unjuk rasa di DPR, salah satunya seruan agar pemerintah menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[17]
Padahal, baru beberapa bulan sebelumnya, Juni 2019, Jokowi mengumpulkan para tokoh dan budayawan, membicarakan berbagai hal, termasuk isu revisi UU KPK. Pada Kamis malam 26 juni 2019 itu Jokowi meminta agar komitmennya terhadap kebebasan pers tidak diragukan. Menurut dia kebebasan menyampaikan pendapat harus dipertahankan dalam kehidupan demokrasi. “Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini,” ujar dia.
Saat itu bukan hanya isu kebebasan sipil yang mengkhawatirkan. Beberapa kalangan pun meragukan komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, mengatakan ada upaya perlemahan gerakan antikorupsi di kalangan masyarakat sipil.
Agus menekankan, baru di era Jokowi, masyarakat sipil yang fokus terhadap upaya pemberantasan korupsi merasakan teror yang masif. Teror itu terjadi ketika isu seleksi capim dan revisi UU KPK mencuat, mulai dari telepon gelap dan upaya peretasan terhadap gawai yang mereka miliki.[18]
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, bahkan dengan tegas mengatakan Presiden Jokowi selaku kepala negara dan kepala pemerintahan bertanggung jawab atas perlemahan KPK saat ini. KPK dinilainya telah hancur atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini menolak permohonan uji formil dan materil yang diinisiasi para ahli dan akademisi.
Feri menyesalkan mengapa pada 2019 lalu, alih-alih mengeluarkan Perppu yang diminta banyak kalangan masyarakat, Presiden Jokowi dan DPR malah kompak mempersilakan masyarakat sipil untuk mengajukan judicial review UU tersebut ke MK. Setelah itu, kita tahu, pada gilirannya MK menolak permohonan tersebut.
Padahal, kata Feri, jauh-jauh hari Presiden punya wewenang untuk membatalkan pembentukan UU KPK tersebut. Karena itulah, Feri menilai Presiden terlibat dalam proses pengusulan, perancangan, pembahasan, penetapan/pengesahan, dan pengundangan UU tersebut. “Andai sejak tahap pertama, yakni tahap pengusulan, Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak mau adanya UU KPK baru ini, otomatis UU tersebut tidak akan eksis hingga saat ini dan tidak akan menimbulkan banyak perdebatan dan kontroversi berkepanjangan,” ujarnya.[19]
Artinya, kata dia, Presiden terlibat dalam pembentukan UU, dan turut bertanggung jawab. “Apalagi Presiden mayoritas absolut di parlemen. Presiden adalah orang yang bisa menentukan untuk tidak ikut dalam pembahasan,”kata dia.
Dengan segala catatan kuat tersebut, wajar bila Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan mantan Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, menyebut perlemahan KPK merupakan kisah sukses kerja sama pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo dengan DPR RI.
Busyro mengatakan, perlemahan KPK sudah dimulai dari revisi terhadap Undang-undang KPK yang kini telah disahkan. “Itu melumpuhkan KPK dengan sempurna. Ini bisa dikatakan sebagai success story dari Pak Jokowi,” kata Busyro dalam diskusi daring “Agenda Mendesak Penguatan KPK” yang digelar Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Juni lalu.
Menurut Busyro, bukti kerja sama pemerintah ini juga terlihat jelas dalam kisruh Test Wawasan Kebangsaan (TWK), yang ‘membuang’ 75 pegawai KPK, banyak yang integritas dan kemampuannya tergolong tinggi dan langka. Hingga saat ini, kata dia, tak ada satu pun partai politik yang menunjukkan sensitivitasnya terhadap 75 pegawai KPK tersebut, membuktikan tak ada satu pun parpol yang benar-benar peduli dengan penguatan KPK.
Bila kekuatan moral masyarakat tidak bangkit, dan terus membiarkan KPK diobrak-abrik hingga tak lagi memiliki fungsi dan manfaat, barangkali memang lembaga itu sengaja dibuat mati muda. Sayangnya, mati mudanya lembaga ini tak sebagaimana mati mudanya seorang manusia yang sering dikatakan sebagai nasib baik. Kita juga tak akan tega mengucapkan ironi, bahwa memang yang terbaik adalah lembaga itu tak pernah dilahirkan. Tidak, tentu tidak demikian.
Mungkin, kita juga bisa mengetuk hati mantan Presiden Megawati Sukarnoputri dalam hal ini. Kita tahu, KPK berdiri atas gagasan di era Presiden BJ Habibie. Lembaga itu lahir secara resmi di era Presiden Megawati. Masak mau mati di era Presiden Jokowi, kader PDIP yang dibanggakan Ibu Megawati? [ ]
*Dimuat pula dalam jurnal KASYAF, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNPAD, edisi 4 tahun ketiga.
[1] https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/130792/susno-duadjicicak-kok-mau-melawan-buaya?
[2]ttps://id.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Independen_Verifikasi_Fakta_dan_Proses_Hukum_atas_Kasus_Sdr._Chandra_M._Hamzah_dan_Sdr._Bibit_Samad_Rianto
[3] https://www.voaindonesia.com/a/antasari-sebut-sby-dalangi-kasusnya-/3724689.html
[4] https://antikorupsi.org/id/article/menggagalkan-upaya-pelemahan-kpk
[5] https://www.kompas.id/baca/utama/2019/09/06/ini-nama-sejumlah-anggota-dpr-pengusul-revisi-uu-kpk
[6] https://www.suara.com/news/2021/06/08/144511/amnesty-dulu-janji-memperkuat-jokowi-kini-apatis-saat-kpk-dilemahkan?page=all
[7] https://nasional.tempo.co/read/1249932/pasal-pasal-revisi-uu-kpk-yang-potensial-lemahkan-kpk
[8] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/02/05200071/pansel-serahkan-10-nama-capim-kpk-ke-jokowi-senin-sore-masukan-publik?page=all
[9] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/09443411/capim-kpk-hasil-seleksi-pansel-menuai-kritik-jokowi-akan-mengkoreksi?page=all
[10] https://news.harianjogja.com/read/2021/05/07/500/1071117/dosen-ugm-sebut-pelemahan-kpk-sebagai-kejahatan-sempurna
[11] https://www.gatra.com/detail/news/513589/hukum/runut-sejarah-pelemahan-kpk-hingga-polemik-twk
[12] https://lokadata.id/artikel/pegawai-kpk-jadi-asn-ancaman-pelemahan-kembali-menguat
[13] https://nasional.tempo.co/read/1469864/dosen-universitas-sidney-paparkan-6-tahap-pelemahan-kpk-di-era-jokowi
[14] https://www.suara.com/news/2021/06/08/144511/amnesty-dulu-janji-memperkuat-jokowi-kini-apatis-saat-kpk-dilemahkan?page=all
[15] Ibid.
[16] https://nasional.kompas.com/read/2021/06/28/11572201/faisal-basri-nilai-jokowi-dalam-posisi-sadar-menghendaki-pelemahan-kpk?page=all
[17] https://nasional.tempo.co/read/1261508/wajah-5-tahun-jokowi-kebebasan-sipil-rendah-dan-pelemahan-kpk
[18] https://antikorupsi.org/id/article/catatan-akhir-tahun-agenda-pemberantasan-korupsi-2019-indonesia-corruption-watch
[19] https://www.gatra.com/detail/news/511293/hukum/kpk-dilemahkan-pengamat-presiden-bertanggung-jawab