Semeru Si Lingga Atau Penis Dunia, Raja Jawa dan Ratu Dedemit Roro Kidul
Brahma pun lalu menciptakan kaum laki-laki dan Wisnu kaum perempuan, khusus untuk mengisi pulau. Solider, seluruh dewa kemudian sepakat untuk tinggal di bumi baru itu, dan memindahkan Gunung Semeru (Mahameru), yang saat itu terletak di negeri Jambudwipa (India), ke Pulau Jawa. Sejak itulah gunung tinggi yang diyakini orang Jawa kuno sebagai “lingga bagi dunia” (pinkalalingganingbhuwana), itu tertanam di Pulau Jawa, pulau kesayangan dewata.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Dalam budaya Jawa yang pada masa lalu banyak dipengaruhi budaya India, gunung menempati posisi utama dalam masyarakat. Terlebih gunung tinggi. Itu sebabnya, Semeru, yang diyakini sebagai bagian dari Mahameru (Himalaya) India, menempati posisi penting dalam budaya Jawa.
Penulis Prancis Denys Lombard, pada “Nusa Jawa Silang Budaya” jilid 3, menulis, dalam naskah Jawa abad ke-16, “Tantu Panggelaran”, yang merupakan buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Pulau Jawa, menceritakan bahwa di masa awal, Batara Guru (Siwa) pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi. Di sana ia meminta koleganya, Brahma dan Wisnu, agar pulau Jawa diberi penghuni.
Brahma pun lalu menciptakan kaum laki-laki dan Wisnu kaum perempuan, khusus untuk mengisi pulau. Solider, seluruh dewa kemudian sepakat untuk tinggal di bumi baru itu, dan memindahkan Gunung Semeru (Mahameru), yang saat itu terletak di negeri Jambudwipa (India), ke Pulau Jawa. Sejak itulah gunung tinggi yang diyakini orang Jawa kuno sebagai “lingga bagi dunia” (pinkalalingganingbhuwana), itu tertanam di Pulau Jawa, pulau kesayangan dewata.
Lombard meyakini bahwa ‘pemujaan’ akan gunung itu tidak hanya datang dari konsep-konsep berkosmologi Sansekerta dari India, melainkan telah ada sebagai bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuno. ‘Pemujaan’ kepada gunung itu senantiasa erat terkait dengan sang raja.
Orang-orang Jawa kuno itu memuja gunung-gunung berapi tertentu, sebagaimana orang Bali saat ini memuja Gunung Agung dan orang Tengger menghormati kawah Gunung Bromo. “Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, baik yang bersifat Brahmana atau pun Buddhis, lalu gagasan bahwa maharaja terkait pada poros itu dan dianggap sebagai ‘penguasa gunung’, seperti dewa Siwa di India yang memang dianggap penguasa gunung,” tulis Lombard.
Beberapa petunjuk, seperti nama wangsa Sailendra—Saila artinya gunung, Indra berarti raja–, menegaskan bahwa konsep itu sudah ada sejak awal sejarah Jawa. Namun baru pada abad ke-11, dalam kakawin ‘Arjuna Wiwaha’ karangan Mpu Kanwa, ditemukan apa yang disebut S. Supomo sebagai ”penyebutan pertama yang pasti tentang adanya pemujaan gunung di Jawa”. Itu terlihat dari kutipan tentang Raja Airlangga yang “memanjatkan pujian kepada puncak Gunung Indraparwata (mananjali ry agra nin Indraparwata)”.
Bukti itu lebih banyak lagi pada abad ke-14. Pada awal “Nagarakertagama”, Prapanca memohon perlindungan Parwanatha, “Penguasa Gunung”, yang tak lain adalah raja yang tengah berkuasa, yakni Hayam Wuruk.
“Om nathaya namostute stuti ning atpada ri pada bhatara nitiyasa/sang suksmeng teleng ing samadhi Siwa Buddha sira sakala niskalatmaka/sang Sri Parwatanatha natha ning anatha sira ta pati ning jagatpauv/sang hyang ning hyang inisty acintya hana taya temah nireng jagat
Om sembah pujiku orang yang hina ini hanya ke bawah telapak kakimu Pelindung Jagat/Engkau yang menyusup di tengah samadhi Siwa Buddha / Engkau nyata dan tidak nyata / Engkau adalah Pawanatha, Raja Gunung, rajanya orang-orang miskin, dan rajanva seluruh jagat /Engkau adalah dewanya Para Dewa, dipuja sebagai yang sangat tak terpikirkan, ada dan tiada, kehadiranmu di dunia”
Mpu Tantular berbuat yang sama dalam “Sutasoma” dan “Arjunawijaya”, dengan mempersembahkan salah satu lagu pujiannya kepada Girinatha yang artinya sama, penguasa gunung. Tantular juga memakai istilah Parwatarajadewa.
Tantular menulis, “Om sri Parwatarajadewa hurip ing sarwa paramaneng Jagat/ sang saksat paramartha-Buddha kinefiep sang sidhiyogiswara/ sang lwir tirtha kiteng mahardika ambekteng mahadurjana/ nirwighnopama suryawimba tumameng way santa tkabeh.
Om Sri Parwatarajadewa, jiwa segala kehidupan di dunia/ yang bagaikan Buddha Paramartha terpatri di dalam hati Sang yogi yang sempurna/ yang bagaikan air suci bagi mereka yang bijaksana, bagaikan racun bagi orang-orang jahat/ tak terhalang, bagaikan matahari masuk ke dalam air yang jernih di seluruh dunia.”
Sisa budaya tersebut dengan mudah kita lihat ada penyebutan raja-raja—baik Astina maupun Amarta, tatkala dalang menyebut raja Astina Duryudana, maupun raja Amarta, Dharmakusumah, sebagai sang Girinatha.
Namun karena klaim kekuasaan raja Jawa tak hanya daratan, tapi juga meliputi laut, maka raja-raja Jawa merasa harus memiliki klaim sebagai penguasa lautan. Meski kerajaan-kerajaan di Jawa umumnya bukan kerajaan maritim, namun itu tak menghalangi mereka mengklaim kekuasaan atas laut. Hal tersebut melibatkan bentuk pemujaan pra-Islam yang bahkan setelah Islam menjadi agama mayoritas di Jawa pun, tak bisa tercerabut. “Babad Tanah Jawi” menceritakan bagaimana Senapati, pendiri dinasti Mataram, bertemu dengan Ratu Kidul di Parang Tritis, pantai selatan Yogyakarta, dan bersetubuh dengannya di istananya yang berada dalam laut. Ratu Kidul kokon tak hanya menguaai ombak, gelombang, dan segala apa yang ada di laut, melainkan juga para demit penghuni lautan yang sering mengancam kerajaan Jawa dan warganya. Dengan bersenggama dengannya, Senapati telah mengadakan perjanjian dengan alam gaib, yang memperkukuh keseimbangan alam dan dengan itu pula menjamin keselamatan para kawulanya.
Karena itu setiap tahun, pada saat perayaan ulang tahun Sultan/Sunan yang berkuasa, diadakan upacara di Parang Tritis, di tempat yang menurut tradisi terjadi hierogami (perkawinan suci dengan tujuan mendapatkan kesaktian) antara penguasa dan Ratu Kidul. Pada tahun Dal, setiap sewindu sekali, perayaan tersebut dilakukan secara mewah.
Prof Lawrence Blair, yang puluhan tahun tinggal dan meneliti Indonesia, dalam “Ring of Fire” menulis, dalam wawancaranya dengan penguasa Kraton Surakarta, Sunan Pakubowono XI di tahun 1981, sempat membuatnya tercengang. Sunan mempercayai keberadaan penguasa laut selatan tersebut.
“Saat itu kami mendapati bahwa Sultan, “Sang Gunung Akbar”, secara resmi menikah dengan Roro Kidul. Di halaman istananya tegak sebuah menara berbentuk lingga dengan tinggi 27 meter. Sekali setahun yang dipertuan itu menjalani ritual pingit dalam kamar-kamar di atas menara untuk bercengkerama semalaman bersama Ratu Kidul itu. Tembok-tembok luar istana dikerubungi sepanjang malam oleh banyak warga yang bersemangat menanti kabar perjumpaan itu. Karena bila sang dewi puas terhadap peraduan adialami itu, stabilitas alam tahun berikutnya—kondisi gelombang laut, gunung-gunung berapi—terjamin.”
Kepercayaan akan Ratu Kidul ini berhubungan dengan prosesi penobatan raja baru. Pada setiap penobatan raja baru di Surakarta, sekuntum bunga langka yang dianggap milik Ratu Kidul—Wijayakusumah (Pisonia silvestris)—harus dipetik dengan khidmat di Pantai Selatan. Sampai sekarang ulang tahun raja diperingati dengan sebua tarian keramat, Bedoyo Ketawang. Para penarinya selalu terdiri dari Sembilan gadis pilihan yang terlatih. Ratu Kidul konon ikut menari, meski hanya raja yang bisa melihatnya.
Bukan hanya Sunan Solo yang mempercayai secara terbuka mempercayai pernikahan dengan Roro Kidul tersebut, melainkan juga Sultan Yogya, Hamengku Buwono IX, yang berpendidikan Eropa.
Pada sebuah buku terbitan 1982, yang bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70, terdapat kutipan yang menegaskan kepercayaan tersebut. Pada buku bersampulkan gambar Sultan HB IX tengah tersenyum, dengan latar belakang Gunung Merapi yang tengah erupsi itu tertulis, Sultan mengaku beberapa kali bertemu dengan ‘Eyang Roro Kidul’. Sultan mengatakan, ketika bulan sedang pasang, gayanya seperti gadis yang cantic, tetapi “ia kelihatan menua sedikit demi sedikit dengan bulan yang semakin surut”. Lalu Sultan berkisah bagaimana Gubernur Yogyakarta, Lucien Adam, seorang Belanda yang ingin mengunjungi pemakaman Imogiri tanpa berpakaian Jawa—sebagaimana seharusnya—tidak berhasil mencapai puncak tangga karena dipanggil pulang. Ada berita putranya baru saja mendapat kecelakaan.
Oh ya, mengapa untuk hal-hal penting dan utama, orang Jawa kuno selalu mengasosiasikannya dengan penis? Ada banyak jawaban ilmiah tentang hal itu. Tetapi jawaban ngawurnya juga banyak. Di antaranya, karena sarana hiburan terpenting saat itu hanya penis—di kala listrik, televisi bahkan alat hiburan yang lebih pribadi seperti handphone tak ada. Bila saja waktu itu sudah ada Nintendo, mungkin itu yang saat ini akan banyak kita temukan sebagai bangunan atau pun ukiran di candi-candi. [dsy]