Solilokui

Pengalaman Jadi Penceramah Maulid Nabi di Penjara Cipinang

Seorang mahaguru Harvard University, almarhumah Prof Annemarrie Schimmel, menyatakan tidak ada manusia yang dicintai manusia lain sebagaimana jutaan Muslim kepada Nabi. Cinta tulus dan tanpa pamrih itu pula, kata Prof Schimmel, seolah meggerakkan, memutar dunia. Karena tak pernah ada fajar meletik di belahan bumi mana pun tanpa shalawat terlantun. Tidak ada rembang petang, saat surya kembali ke peraduan, tanpa alunan syahdu para Muslim yang kepada Nabi, mereka rindu.    

Oleh   : Darmawan Sepriyossa*

JERNIH–Dalam utas kehidupan saya, Lembaga Pemasyarakatan -–eufimisme dari “penjara”—Cipinang tampaknya tak akan pernah tanggal dari ingatan. Ada banyak pengalaman berharga, juga penambahan cara pandang terhadap dunia yang saya jalani, saya peroleh di sana. Sejatinya, saya sudah sepatutnya bersyukur kepada-Nya telah memperoleh dan menjalani sendiri pengalaman hidup di sana. Sebagai narapidana, waktu itu.

Satu hal yang agak khusus, selain banyak ikut bergabung dalam pembelajaran-pembelajaran AlQuran, Fikih, Bahasa Arab dan sebagainya, di ‘sana’ saya juga sempat diminta menjadi semacam pemberi kuliah-kuliah pendek, kultum atau “kuliah tujuh menit” istilahnya. Dilakukan harian, menjelang iqamat pada shalat Dhuhur dan Ashar. Ada sekitar lima-enam orang orang yang kebagian tugas bergiliran ini. Saya di antaranya.   

Di hari raya Maulid ini, saya ingat pernah diminta membawakan sajian yang agak panjang, tak sekadar kultum.  Karena saya terbiasa menulis, jadi meski naskah itu tidak dibacakan, apa yang hendak saya uraikan senantiasa tercatat. Berikut catatan yang mengisi çeramah singkat Maulid 2018 di LP Cipinang tersebut, ditulis ulang dengan agak tersendat. Ternyata, jangankan orang lain, saya sendiri menemui persoalan pelik saat membaca kembali catatan lama itu.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Marhaban ya Nurul Aini,

Marhaban jaddal Hussaini….

Telah sampai kepada kita bulan saat manusia terbesar, figur terkemuka dunia, dilahirkan.  Pada bulan inilah, Nabi, Rasul, dan panutan kita, Muhammad SAW, turun dilahirkan ke dunia.    

Inilah bulan saat kita menyegarkan dan memperkuat lagi kecintaan, ketundukan, dan sikap untuk senantiasa meneladani segala perilaku beliau. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Ahzab 21, “Laqad kana lakum fi Rasulillahi, utswatun hasanah…”-Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik…”

Teladan yang baik, yang bukan hanya untuk umat Islam, golongan manusia yang mempercayai dan mengikuti jalan beliau. Namun uswah yang layak ditapaki ulang oleh seluruh manusia, dari suku bangsa dan ras apapun. Terlalu banyak tokoh di luar Islam yang mengakui kebesaran dan keluhuran jiwa, serta kesuksesan Nabi dalam memimpin umat membangun peradaban. Kita hanya akan mengambil sangat sedikit contoh dari begitu banyak pengakuan dan pujian.

Tokoh sejarahwan, penulis literatur penting “The History of Civiliatian”, Will dan istrinya Ariel Durrant, misalnya, mengaku bahwa Nabi Muhammad SAW adalah tokoh yang “tiada tanding, tiada banding” kalau menurut iklan televisi era jeprut. Tidak pernah, kata suami istri Durrant, ada sosok yang sangat dipatuhi, yang pengaruhnya begitu besar bagi komunitas pengikutnya, baik di saat dirinya ada, atau pun di saat ia telah berpulang, seperti sikap para Muslim terhadap Nabi.

Seorang mahaguru Harvard University, almarhumah Prof Annemarrie Schimmel, menyatakan tidak ada manusia yang dicintai manusia lain sebagaimana jutaan Muslim kepada Nabi. Cinta tulus dan tanpa pamrih itu pula, kata Prof Schimmel, seolah meggerakkan, memutar dunia. Karena tak pernah ada fajar meletik di belahan bumi mana pun tanpa shalawart terlantun. Tidak ada rembang petang, saat surya kembali ke peraduan, tanpa alunan syahdu para Muslim yang kepada Nabi,  mereka rindu.    

Semua diucapkan lisan-lisan yang hati mereka pepak oleh rindu; untuk melihat wajah Sang Maulana meski hanya melalui mimpi. Dilantunkan lidah-lidah yang penuh harap bahwa di akhirat mereka pun diiingat Sang Nabi dan menerima syafaat.

Tokoh peradaban Jeran, Johan Wolfgang von Goethe, yang dalam tulisan dan pemikirannya berkali-kali menyebut nama Nabi dengan takzim, berkata bahwa tak pernah ada manusia yang sukses menyingkirkan kemusyrikan menuju tauhid, alias monotheisme  dalam sejarah peradaban manusia, kecuali Nabi.

Wajar jika kemudian  tokoh budaya Barat, George Bernard Shaw, menyatakan Nabi sejatinya juru selamat kemanusiaan, alias “the savior of humanity”.

Yang menarik, manakala seorang ikon atheis yang jargonnya menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” (The God is Dead), Friedrich Nietzsche, justru menyatakan bahwa juru selamat manusia itu bukanlah Jesus, melainkan Muhammad namanya.  Nietzsche juga melihat bahwa konsep jihad yang dibawa Nabi sebagai konsep yang progresif dan positif, yang mengajarkan dengan tegas agar manusia percaya akan kemampuannya.

Belakangan kita tahu, konsepsi Nietzsche untuk filsafat eksistensialisme, yakni konsep “ubermensch” , alias manusia sempurna, ternyata terinspirasi seorang sufi, Syeikh Muhyidin Ibn-Arabi Al-Andalusi tentang insan kamil, yan merujuk sang Uswah Hasanah, Nabi SAW.

Yang lebih kini meski tidak mutakhir, adalah pengakuan dari Michael H Hart, penulis “100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”. Pada buku yang menggemparkan dunia di pertengahan 1980-an itu, Hart menempatkan Nabi SAW sebagai tokoh pertama dari 100 tokoh yang dianggap public paling mempengaruhi sejarah dunia.

Pada 1992 buku tersebut mengalami revisi. Banyak tokoh ganti urutan sebagai orang berpengaruh, beberapa nama bahkan hilang. Nabi Muhammad SAW tetap berada di urutan pertama serratus tokoh itu.

Kini, setelah sekian banyak orang terkemuka, pandai dan open minded itu menunjukkan penghormatan tinggi atas Nabi, apalagi yang kita tunggu untuk segera meneladani beliau, menghidupkan sunnah, atau secara sederhana menghidupkan kembali tindak-tanduk beliau dalam hidup ini?

-Meneladani sikap rendah hatinya, hingga tak ada perasaan hina untuk mencium tangan seorang pekerja kasar yang hidup keras, seraya berkata,”Tangan yang bekerja untuk menghidupi anak-istri inilah tangan yang membawa ke  Sorga.”

-Meneladani lembut dan halus perangainya, sehingga manakala setelah tiada, Ummul Mukminin Aisyah yang ditanya tentang akhlak beliau, jawabnya tak lain bahwa akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran.

-Meneladani dan menapak ulang kasih sayang beliau yang tak sekalipun merasa enggan bergaul dan bersentuhan dengan persoalan dan keadaan orang-orang miskin, yang membuat beliau tak pernah merasa hina berada di antara kaum papa.     Semua itu senantiasa Nabi lakukan guna melunaskan perintah Allah agar kita semua “memasukkan rasa gembira ke dalam dada-dada mereka.

Imam Al-Ghazali permah berkata, ada banyak ciri pembohong besar. Salah satunya, yang paling utama, adalah mengaku-aku mencintai Nabi tetapi tak pernah sekali pun peduli kepada ulama dan fakir miskin. Ulama, karena merekalah golongan  pewaris Nabi, dan kaum miskin karena mereka itulah kalangan orang-orang yang senantiasa mendapatkan curahan kasih sayang beliau.

Dalam buku kumpulan shalawat kepada Nabi, “Dalail al Khairat” yang dikumpulkan dengan tekun oleh Imam Muhammad bin Sulaiman al Jazuli, terdapat sebuah syair yang menyentuh.  “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Sayyidina Muhammad, sebanyak ttes hujan yang jatuh dari langit-Mu ke permukaan bumi-Mu, sejak mula Kau ciptakan dunia, hingga hari berbangkit kelak.”

Bagaimana mungkin kita, ummatnya, tidak mencintai Rasulullah dengan kasih yang dalam dan khidmad, sementara beliau, jauh 1,5 milenium lalu pengap oleh rasa huzun dan rindu bertemu kita semua? Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Abu bakar Ash-Shiddiq, “Aku begitu rindu bertemu dengan ikhwanku,” kata Nabi. Abu Bakar bertanya,”Bukankah kami-kami inilah para saudaramu, ya Rasul?”

“Bukan,”kata Nabi. “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku; mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku, dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku, dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.”

Saudara-saudaraku para warga binaan, para narapidana yang tengah menebus dosa, yang dirindukan Nabi itu, adalah juga kita semua. [INILAH.COM]

*Mantan warga binaan LP Cipinang

Back to top button