Berhalusinasi Tentang Wahyu Makutoromo dan Alexander the Great
Suatu malam di tahun 2000-an, sejumlah orang berkumpul di salah satu makam raja Majapahit di Trowulan di Mojokerto. Mereka datang dari berbagai kota di Pulau Jawa, termasuk Jakarta, untuk satu hal; Menyambut Turunnya Wahyu Makutoromo.
Acara dimulai sekitar pukul 20:00 WIB. Sebelum acara orang-orang yang saling kenal bercengkerama dalam Bahasa Jawa dan bukan. Lainnya, dalam kelompok kecil, menghabiskan waktu bersemedi menghadap ke makam.
Ada pula yang bersemedi di makam-makam kecil yang tersebar di Kompleks Makam Prabu Brawijaya. Ada Candi Wisnu tak jauh dari pendopo, tapi tanpa arca. Panitia sibuk menyusun acara, dan hidangan untuk para peserta.
“Nanti kita makan malam ala Majapahit,” kata seorang panitia kepada pengunjung.
Acara dimulai dengan diskusi. Narasumber, seorang dokter dari Surabaya, memaparkan tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai ke Majapahit. Ada yang membicarakan tentang pasukan khusus Gajah Mada, yang dipercaya lenyap dan diyakini muncul lagi saat Nusantara dalam keadaan genting.
Situasi Makam Prabu Brawijaya tidak benar-benar gelap. Pendopo diterangi lampu listrik. Jalan dari dan ke arah makam diterangi cahaya bulan purnama, kendati awan terkadang menutupi.
Wahyu Makutoromo, atau wahyu yang diturunkan dari langit (baca: Tuhan) kepada calon raja atau pemimpin, diyakini turun saat bulan purnama. Penerima Wahyu Makutoromo, bisa siapa saja, dipercaya akan mampu mengatasi semua persoalan kesemrawutan politik di negeri ini.
Dalam ajaran Hindu, Wahyu Makutoromo dikenal dengan istilah Hasta Brata, karena berisi delapan laku seorang pemimpin yang baik. Yaitu, mengikuti sifat Bumi, Matahari, Bulan, Angin, Samudera, Air, Api, dan Bintang.
Beberapa orang yang hadir dan mengikuti acara itu meyakini Wahyu Makutoromo turun, atau diturunkan, pada malam itu. Namun tidak satu pun dari mereka yang tahu siapa penerima wahyu itu yang kelak menjadi pemimpin.
Yang pasti, jelang tengah malam acara dilanjutkan dengen berendam Kolam Segaran — kolam besar yang diyakini peninggalan Majapahit. Sepanjang perjalanan menuju Kolam Segaran, seorang wanita ‘nembang’, dan lainnya membaca mantra.
Usai ritual di Kolam Segaran, acara bubar, Seluruh yang hadir pulang ke rumah masing-masing, atau ke hotel tempat mereka menginap.
Kerinduan atau Halusinasi
Bagaimana menjelaskan semua yang baru saja berlalu di Trowulan?
Tidak banyak dari kita mewariskan kejayaan dari masa lalu. Mereka yang belajar, atak mendapat cerita dari orang-orang tentang masa lalu, meyakini barwa Nusantara — dengan Tanah Jawa sebagai pusat kekuasaan — pernah berada dalam masa kejayaan.
Mereka yang belajar, dan mendapat banyak cerita tentang masa lalu, tampaknya mengalami kerinduan akan munculnya masa lalu. Ada yang sekedar rindu dan tidak melakukan apa-apa. Atau melakukan sesuatu, seperti yang dilakukan sekelompok orang di Trowulan.
Beberapa tahun setelah pertemuan di Trowulan, seorang penulis artis yang menulis buku tentang Islam di Majapahit berseloroh tentang kelompok di Trowulan. “Mereka itu orang-orang yang menjadikan Majapahit sebagai agama,” katanya.
Yang dimaksud mungkin tidak seperti itu. Mereka adalah orang-orang kecewa pada kehidupan masa kini, terutama masa-masa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi dan pertarungan politik tak berujung, dan melarikan diri dengen mengangankan sussana masa lalu.
Jumlah meraka, mungkin, terus bertambah. Namun mereka relatif tidak muncul ke permukaan, sebab tidak ada dari mereka yang menjadikan kerinduan mereka sebagai gerakan.
Justru gerakan akan kerinduan masa lalu muncul baru-baru ini. Dimulai dengan Keraton Agung Sejagat di Purworejo Jawa Tengah, lalu Sunda Empire di Subang, Jawa Barat.
Nugroho Trisnu Brata, antropolog Universitas Negeri Semarang, mengatakan kerinduan akan masa lalu — yang diramu denga halusinasi — berpotensi menarik massa.
Tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan akan masa lalu berhalusinasi sebagai penerima mandat dari kerajaan masa lalu, dan membentuk komunitas. Kebetulan, para tokom yang menyebut diri sultan, cukup pinter mengambil tempat-tempat yang pernah menjadi pusat kekuasaan.
Alexander the Great
Kalau ada yang menarik dari fenomena keraton-keratonan saat ini adalah pengakuan Rangga Sasana, yang menyebut Sunda Empire yang diawali dari Alexander the Great, 324 tahun sebelum masehi. Diteruskan oleh Cleopatra.
Sejauh ini, jika ada sebuah suku di Nusantara yang mengaitkan masa lalunya dengan Alexander the Great adalah masyarakat Minang, dan itu tertera dalam Tambo — cerita turun-temurun yang diwariskan secara lisan dan tulisan.
Disebutkan dalam Tambo bahwa Maharajo Dirajo adalah seorang anak Iskandar Zulkarnaen, yang ditugaskan menguasai Pulau Emas (Sumatera) termasuk Minangkabau. Dialah yang menurunkan penguasa Minangkabau. Namun, Tambo tidak menyebutkan kapan peristiwa itu terjadi.
Sastrawan ES Ito, yang asli Minang, menceritakan soal Alexander the Great, atau Iskandar Zulkarnaen, dalam novel Negara Kelima. Bahkán Ito secara rinci bercerita bagaimana salah seorang keturunan Alexander the Great datang ke Minangkabau.
Seperti umumnya faham, Tambo memiliki pendukung dan penentang, serta meraka yang tidak memilih keduanya. Yang pasti, sejak era Belanda tidak ada yang menggunakan Tambo untuk membentuk sebuah gerakan, dan hidak pula pada saat ini.
Di sisi lain, klaim Rangga Sasana bahwa Sunda Empire memiliki kaitan dengen Alexander the Great sama sekali tidak memiliki dasar. Orang Sunda tidak punya dongeng, yang kemudian ditulis, seperti orang Minang.
Sunda Empire seolah tidak sekedar berhalusinasi dengan latar pengetahuan sejarah, tapi lebih dari itu. Atau, Sunda Empire adalah bukt halusinasi keterlaluan.