POTPOURRI

Batavia

Ketika Ali Sadikin jadi gubernur, diambillah langkah pembenahan. Dualisme antara Mendagri dan Gubernur dilenyapkan. Biro pemerintahan yang secara teknis di bawah Menteri Dalam Negeri dan dinas-dinas daerah di bawah Gubernur, disatukan. Kontrol tunggal di bawah gubernur mulai jalan. Tanggal 19 Juni 1966 dibentuklah prtama kali Badan Perencanaan Pembangunan. Ini jelas langkah pionir, karena baru selang enam tahun kemudian pemerintah pusat lewat Keputusan Presiden no 15 tahun 1974 membentuk Bappeda.    

Oleh  : H Mahbub Djunaidi*

JERNIH—Naik trem Lin 1 dari Bidara Cina ke Kota Inten merupakan satu perjalanan panjang dan menyenangkan. Bel berdenting dan pohon bagai berbaris terlempar ke belakang. Patung berwarna hitam berdiri di gerbang masuk dan meriam bikinan Portugis serta paying kertas merupakan oleh-oleh dari Pasar Ikan. Trem melingkar untuk kembali ke asal.

alm Mahbub Djunaidi

Atas alasan sendiri, trem akhirnya dilenyapkan tatkala Walikota Sudiro. Rel yang melingkari kota dicabuti. Rakyat pun menunggu oplet di siang hari yang panas. Kalau alasan menghambat lalu-lintas, kenapa di kota besar sekelas San Francisco trem masih leluasa berjalan kian ke mari?

Bila orang ingin dari Kota ke Menteng, cukup ia naik trem Lin 5 hingga Harmoni dan pindah ke Lin 2. Dengan mudah ia bisa lihat Istana dan Gedung Gajah.

Di zaman Jepang pun, anak-anak Tanah Abang yang sekolahnya di Gondangdia tak usah payah-payah, ia cukup naik trem Lin 5. Tre mini terus ke Senen setelah lewat Kali Pasir di sela-sela rumah penduduk.

Buat mereka yang suka berenang, tak usah pergi ke kolam renang Cikini. Hampir semua kali menyediakan tempat untuk mereka. Bisa sepanjang Hayam Wuruk, bisa di sebelah Restoran Capitol, bisa di Pintu Air Manggarai, bisa di tiap alur Sungai Ciliwung. Airnya Jernih tidak ada sampah. Orang seenaknya terjun dari atas jembatan.

Kota yang tadinya bernama Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta dan tahun 1905 menjadi Batavia dengan pusat Pasar Ikan. Oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch diperlebar lagi ke bagian selatan dengan pusat kota Gambir yang bernama Weltevreden.

Diperuntukkan bagi 800.000 penduduk, kota cukup lengang, pepohonan di sana sini, jalan kecil tempat delman berbelak-belok, pohon asam dan kenari rapi berjajar di pinggir jalan, dan sebuah kanal untuk mengatur arus Sungai Ciliwung digali oleh Ir Van Breen.  

Lewat Keputusan Presiden tahun 1950, kota ini berubah jadi kotapraja dengan walikota pertama Suwiryo. Kota bagaikan menggeliat bangun, penduduk trus bertambah karena urbanisasi.

Menjelang pemulihan kedaulatan, terpikirkan akan memperbesar Jakarta ke selatan. Tanah seluas 730 ha diperuntukkan bagi pembangunan itu. Tadinya sawah dan kebun, dikit demi dikit berubah jadi permukiman dan jalan baru. Kota satelit Kebayoran Baru menjadi tandingan daerah Menteng.

Ketika Ali Sadikin jadi gubernur, diambillah langkah pembenahan. Dualisme antara Mendagri dan Gubernur dilenyapkan. Biro pemerintahan yang secara teknis di bawah Menteri Dalam Negeri dan dinas-dinas daerah di bawah Gubernur, disatukan. Kontrol tunggal di bawah gubernur mulai jalan. Tanggal 19 Juni 1966 dibentuklah prtama kali Badan Perencanaan Pembangunan. Ini jelas langkah pionir, karena baru selang enam tahun kemudian pemerintah pusat lewat Keputusan Presiden no 15 tahun 1974 membentuk Bappeda.    

Pak Nasihun berembuk dengan bininya menghitung berapa ganti rugi yang bakal diterima. Rumah berikut pekarangan, sejumlah pepohonan semuanya masuk hitungan. Keesokan harinya pegawai pemerintah kota datang dengan alat ukur dan memeriksa apa yang terbentang.

Segalanya berjalan lancar seperti bunyi aturan yang ada. Tak ada protes dan demonstrasi. Pemerinrah daerah dengan teliti memeriksa dan membayar sebagaimana mestinya. Tanpa ganjalan, tanpa hambatan.

Para penghuni merancang akan naik haji dan membeli tiket kapal laut. Uang setumpuk di kantong, rencana pindah disusun, segalanya berjalan lancar. Daetahnya akan dibangun kota dengan jalan mulus kian kemari.

Jalan Sudirman tempatnya dulu sudah dibangun beton yang menjulang tinggi. Terbayang olehnya pohon-pohon yang ditanam bapaknya, tempat anak-anak bermain berayun-ayun. Langgar tempatnya mengaji dan bercanda dengan teman-teman, kini tinggal kenangan.

Dengan pandangan mata yang sudah rabun, ia berdiri di depan Ratu Plaza dan melihat ke depan. Bukan gedung tinggi dan rapi dilihatnya, melainkan semak belukar dan pepohonan tak teratur. Kenapa tempat itu belum juga dibangun? Kenapa dibiarkan terbengkalai, padahal urusan dengan BPN sudah selesai? Apanya lagi yang belum rampung? Dan ini bukan Cuma terjadi di kapling itu, tapi juga di beberapa tempat lain. Ahli warisnya menunggu sikap tegas Pemda. Batas antara yang hak dan yang batil akan melenyap, kepercayaan masyarakat akan hukum akan tenggelam, kewibawaan dan kemampuan pemerintah memelihara aturan akan goncang, bila hal ini tidak diperhatikan.

Motto pembangunan, modernisasi dan perubahan menjadi pertanyaan terus-menerus.

Nasihun lemah. Ingusnya menetes di hidung. Matanya yang rabun menjadi kuyu. [ ]

*almarhum, sastrawan dan tokoh pers nasional. Dimuat di Harian Kompas, 28 November 1993.

Back to top button