Perekonomian Dunia di 2020 Masih Lesu bin Letoy
JAKARTA—Lesunya perdagangan dan investasi dunia telah mendorong pertumbuhan ekonomi global pada 2019 ke level terendah sejak ‘resesi hebat 2007-2009’. Meski ada ‘gencatan senjata’ dalam perang dagang AS-Cina, Bank Dunia hanya memprediksi dampak kenaikan kecil saja pada pertumbuhan global 2020. Itu pun jika ketegangan perdagangan keduanya tidak kembali membara dan menakuti para investor.
Berikut beberapa kesimpulan utama dari laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020.
Salah satu alasan untuk merasa pesimis adalah kesepakatan dagang AS-Cina fase satu yang telah ditandatangani pekan lalu, tidak akan menghapus tarif pada sebagian besar impor AS dari Cina. Sementara berlanjutnya pelemahan di sektor manufaktur diperkirakan akan mengurangi prospek pertumbuhan di AS, negara-negara maju lainnya, maupun Cina. Bank Dunia menilai, lebih banyak potensi ancaman terhadap pertumbuhan daripada potensi kejutan baik. Terdapat tanda tanya besar mengenai stabilitas gencatan perang dagang antara Amerika dan Cina.
Menurut analisis Kimberly Ann Elliott dari World Politics Review, berdasarkan laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan di seluruh dunia turun dari hanya lebih dari tiga persen dari PDB pada 2017-2018 menjadi sekitar 2,4 persen pada 2019. Para ekonom Bank Dunia memperkirakan sedikit kenaikan dalam angka itu, menjadi 2,5 persen pada 2020, tetapi proyeksi kenaikan dipusatkan di beberapa pasar negara menengah (emerging markets) dan negara berkembang (developing countries) yang relatif besar.
Bank Dunia memprediksi Cina akan melanjutkan penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang lambat dan stabil dari 6,8 persen pada 2017 menjadi 5,7 persen pada 2022. Jika prediksi itu bertahan, pertumbuhan AS bisa melambat dari 2,3 persen tahun lalu menjadi 1,8 persen tahun ini.
Namun, prospek untuk pertumbuhan terbatas ini pun rapuh. Prediksi Bank Dunia untuk beberapa tahun ke depan hampir semuanya turun dari apa yang diproyeksikannya baru-baru ini pada Juni 2019, menggarisbawahi, sebagian besar risiko berada pada sisi negatifnya.
Terlebih lagi, model Bank Dunia juga menunjukkan peluang 15 persen, pertumbuhan global bisa menunjukkan persentase penuh di bawah proyeksi untuk 2020. Angka itu relatif merupakan probabilitas rendah, tetapi jauh di atas rata-rata sejarah untuk ukuran ini.
Di sisi positifnya, laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020 memperkirakan, investasi dapat didorong hingga 0,2 persen di AS dan 0,4 persen di negara maju lainnya.Kemudian hampir 0,6 persen di seluruh dunia jika ada pengurangan lebih lanjut dalam ketidakpastian atas kebijakan perdagangan Amerika Serikat.
Dengan demikian, akankah berita perdagangan positif yang baru-baru ini keluar dari Washington memperbaiki keseimbangan risiko? Mungkin tidak, karena serangkaian peristiwa selama sebulan terakhir telah menghilangkan sejumlah ketidakpastian dari gambaran perdagangan global.
Dimulai pada 12 Desember 2019, hasil pemungutan suara di Inggris telah secara efektif mengkonfirmasi, Brexit akan terjadi pada akhir Januari 2020. Kabar itu diikuti oleh ratifikasi DPR AS untuk perjanjian Amerika-Meksiko-Kanada dalam mayoritas besar pada pertengahan Desember 2019. Meskipun Presiden AS Donald Trump baru menandatangani perjanjian dagang fase satu dengan Cina pekan lalu, sebagian besar konten kesepakatan telah banyak diprediksi sebelumnya.
Para ekonom Bank Dunia akan mengetahui atau mampu mengantisipasi semua peristiwa ini. Dengan demikian, masih belum jelas apakah keseimbangan risiko telah berubah sebagai hasilnya. Kepala kantor yang menyiapkan laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020 juga tidak menyoroti peninjauan ulang atas perkiraan dasar ketika mempresentasikannya di Center for Global Development, pekan lalu.
Sementara prediksi untuk ekonomi AS dan negara-negara besar lainnya tidak cukup baik, laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020 menunjukkan betapa lebih buruknya jika ketegangan perdagangan kembali terjadi. Ketika perang dagang AS-China mengalami eskalasi pada 2019, pertumbuhan perdagangan global turun dua pertiga menjadi hanya 1,4 persen, sementara tingkat pertumbuhan investasi turun sekitar sepertiga. Laporan Bank Dunia itu mengutip penurunan aktivitas ekonomi tersebut sebagai kontributor utama perlambatan pertumbuhan keseluruhan terparah sejak ‘resesi hebat’.
Laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020 juga mencatat, penurunan tajam dalam pertumbuhan perdagangan membawa tingkat di bawah pertumbuhan PDB, menandai perubahan drastis dari pola sepanjang dekade. Untuk alasan yang melampaui Trump dan yang memiliki implikasi penting bagi pasar negara menengah (emerging markets) dan negara berkembang (developing countries), pembalikan situasi ini mungkin tidak bersifat sementara.
Perdagangan meningkat pesat pada 1990-an dan tumbuh lebih dari dua kali lebih cepat dari ekonomi global secara keseluruhan karena teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan input perantara di mana pun yang termurah dan paling efisien. Setelah terjun sesaat selama Resesi Global, perdagangan global kembali ke level sebelumnya. Namun, tingkat pertumbuhan selanjutnya terasa lebih lambat sementara margin pertumbuhan PDB global menyempit.
Perlambatan pertumbuhan perdagangan sebagian dapat dijelaskan oleh fakta penyebaran perdagangan rantai pasokan global tampaknya sebagian besar telah berjalan dengan baik. Selain itu, simpul-simpul kunci dalam beberapa rantai pasokan, terutama China, telah matang secara ekonomi dan memproduksi lebih banyak input perantara sendiri. Perang dagang AS-Cina kini semakin mengganggu rantai pasokan itu, yang tampaknya menjadi salah satu tujuan Amerika dalam mengejar perang dagang.
Jika kondisi semacam itu terus bertahan, pertumbuhan perdagangan yang lebih lambat bisa berarti negara-negara berkembang yang berpartisipasi dalam rantai pasokan global memiliki ruang lingkup yang lebih sedikit untuk menggunakan perdagangan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, gangguan yang disebabkan oleh perang dagang menimbulkan dampak yang berbeda untuk setiap pasar negara berkembang. Negara-negara yang terutama merupakan industri hulu dari Cina bisa kehilangan jika ekspor mereka ke produk-produk antara Cina mengalami kejatuhan.
Beberapa negara lain, terutama Vietnam, tampaknya mulai meningkat ketika perusahaan-perusahaan utama dalam beberapa rantai pasokan berupaya mengurangi risiko mereka dengan melakukan diversifikasi jauh dari Cina.
Dengan naiknya upah Cina dan pemerintah Cina yang mempromosikan transisi untuk memproduksi barang-barang bernilai tambah lebih tinggi dan lebih canggih secara teknologi, perombakan rantai pasokan untuk produk-produk seperti pakaian dan sepatu akan tetap terjadi. Namun, perang dagang akan mempercepat proses itu.
Mempertahankan gencatan perdagangan saat ini antara AS dan China adalah salah satu kunci untuk menghindari terulangnya kinerja pertumbuhan global yang suram pada 2019. Namun, potensi masalah lainnya juga telah menghadirkan ancaman.
Pekan lalu, komisaris perdagangan baru Uni Eropa, Phil Hogan, berada di Washington DC untuk bertemu dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Hogan berharap menemukan cara untuk mencegah tarif baru AS dalam menanggapi perselisihan subsidi untuk Boeing dan Airbus serta pajak Prancis pada layanan digital. Hogan sayangnya harus pulang dengan tangan kosong.
Selain itu, ada juga ketidaksepakatan yang berkelanjutan antara AS dan Uni Eropa mengenai ruang lingkup perundingan yang lebih luas untuk mengurangi hambatan perdagangan AS-UE dan apakah pembicaraan tersebut harus mencakup produk pertanian atau tidak.
Secara keseluruhan, laporan Prospek Ekonomi Global terbaru Bank Dunia untuk 2020 telah menjelaskan prediksinya secara jelas. Meski demikian, Kimberly Ann Elliott dari World Politics Review menyimpulkan, terdapat beberapa alasan untuk meyakini, 2020 akan menjadi lebih baik, asalkan perdagangan global tidak terlalu berpuas diri .[worldpoliticsreview/matamatapolitik]