Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [6]
Lendra terus melangkah menuju wilayah Rancabingung. Rancabingung itu memang berada di wilayah Rawa Onom. Mungkin Pulo Handiwung pun berada di sekitar sini. Bila benar, maka Lendra jangan harap bisa menemukan Kampung Handiwung, sebab di dunia nyata, tak ada Kampung Handiwung. Yang ada hanyalah Pulo Handiwung, seperti apa yang dikatakan penduduk Kampung Babakan tadi.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH– Mereka bangun dari tidur sebab sayup-sayup mendengar suara bebunyian ditabuh. “Ha … ada kesenian tayuban rupanya,” kata Jang Dayat bersemangat. Dan semuanya pun sebenarnya bersemangat. Sebab bila ada tayuban, tentu di sana bakal ada ronggeng atau penari wanita.
Rupanya pribumi pun mengerti akan kegelisahan para tamu. Buktinya tua kampung segera mengajak para tamu untuk menuju balandongan, yaitu pusat pertunjukan.
Benar saja, di sana ada tayuban. Delapan orang ronggeng sudah berseliweran menari di atas panggung. Mereka rata-rata terdiri dari gadis muda yang cantik dan ranum. Para sinden pun tak kalah cantik menariknya dan rata-rata mereka berusia muda.
“Sayang, gadis-gadis secantik itu hanya jadi ronggeng. Padahal kalau tinggal di dayeuh (kota), mereka akan jadi istri para menak (bangsawan) dan pejabat tinggi,” gumam Bendara Wedana.
“Namun harap dimaklum, Gamparan, para gadis di sini bukan menjadi ronggeng untuk mencari nafkah. Mereka hanya cinta berkesenian saja. Berbagai kesenian dipelihara untuk ketenangan batin belaka,” tutur tua kampung.
Para ronggeng itu sungguh muda dan cantik. Mereka memakai pakaian gemerlap, kebaya dengan dironce benang emas dan kain batik halus warna kuning dan hijau. Para ronggeng itu berseliweran kesan-kemari sambil membeberkan soder, yaitu sebangsa selendang namun kelak akan disandangkan di bahu tamu. Siapa yang dapat selendang itulah tamu harus ikut menari.
Beberapa ronggeng turun dari panggung dan mendekati Bendara Wedana serta tamu penting lainnya. Bendara menolak dengan halus. Namun Camat, Kuwu serta Upas menyambutnya dengan suka-cita. Mereka bahkan naik ke panggung dan menari bersama para ronggeng. Jang Dayat tanpa diminta ronggeng malah sudah naik panggung dan menari dekat-dekat ronggeng cantik.
Pesta tayuban tak terasa sudah menjelang dinihari. Ketika ayam pertama berkokok dari kejauhan, maka selesai sudahlah kenduri ini. Tua Kampung dengan ramah menawarkan agar Bendara Wedana dan rombongan istirahat saja di kampung ini. Tapi Bendara menolak dengan berbagai alasan.
“Kami mau mengadakan rapat penting di Cisaga,” kata Bendara Wedana.
“Rapat penting perihal apa, Bendara?” tanya Tua Kampung. Sebetulnya pertanyaan ini sungguh tak sopan. Untuk urusan kenegaraan, cacah atau orang kebanyakan tak berhak tahu, apalagi sampai bertanya seperti itu. Namun Bendara Wedana adalah pejabat yang bijaksana dan tak pernah memperlihatkan dirinya sebagai seorang pejabat penting yang tak hormat terhadap rakyat. Maka pertanyaan ini dijawabnya dengan semestinya.
“Ada sebuah proyek besar yang akan kami kerjakan, yaitu mengeringkan Rawa Onom,” tutur Bendara Wedana. “Dan lantaran ini sebuah pekerjaan besar, maka jauh-jauh hari sebelumnya, harus diadakan beberapa perundingan. Semua camat dan lurah se Kewedanaan Rancah pasti hadir,” kata Bendara Wedana.
Mendengar ini, tua kampung sedikit terperangah.
“Apakah wakil dari Kampung Handiwung akan diikut-sertakan, Bendara?” tanyanya.
“Tentu tidak, sebab sudah terwakili oleh lurah yang membawahi wilayah ini. Tapi kenapa, Tua Kampung?” Bendara Wedana menoleh.
“Mengeringkan Rawa Onom sedikitnya akan mempengaruhi kehidupan kami. Barangkali rakyat di sini pun musti diajak urun-rembuk. Paling tidak ditanya pendapatnya, Bendara …”kata Tua Kampung.
Ucapan ini tentu terlalu berani bagi orang setingkat tua kampung. Camat, lurah bahkan upas nampak sudah mengerutkan kening. Namun untuk yang ke sekian kalinya, Bendara Wedana hanya tersenyum tipis.
“Itu akan kami rundingkan, apakah setingkat tua kampung memang perlu diikutsertakan pula?” kata Bendara Wedana. Percakapan tak dilanjutkan sebab kokok ayam semakin nyaring terdengar. Kata Bendara, rombongan harus sudah pergi sebab rapat di Cisaga akan berlangsung pagi hari. Maka kendati tua kampung mencoba menahannya, rombongan akan tetap berangkat.
“Tak apa kalau tetap begitu. Tapi di tengah jalan, harap jangan menoleh ke belakang,” tutur tua kampung membuat yang lain tercengang. Tak terkecuali, Lendra pun tercengang. Ucapan seperti ini pernah dia dengar melalui mulut Nyi Indangwati. Dulu ketika dia mau pulang dari sebuah taman indah, Nyi Indangwati berpesan agar ketika berjalan pulang jangan menoleh ke belakang. Dan manakala peringatan itu tak digubris, tiba-tiba jalanan lengang yang indah dengan taman bunga berubah menjadi hutan belukar yang gelap dan pekat.
“Apakah kejadian aneh itu akan terulang kembali?” tuturnya dalam hati.
“Sebaiknya kita turuti saja amanat ini, Bendara …” kata Lendra setengah berbisik.
“Mari kita pulang …” sambut Bendara Wedana membenahi kain kebaya yang agak kusut lantaran lama duduk di depan balandongan. Ketika semuanya bersiap untuk berangkat, Mang Sajum celingukan kesana-kemari.
“Dayat! Dayat! Ke mana anak itu, ya?” tanyanya.Semua orang baru sadar kalau Jang Dayat tak berada di tempat.
“Di mana Si Dayat?” tanya pula Bendara Wedana.
“Tadi ikut Nyi Tarsih ke belakang balandongan, Gamparan …” jawab seorang penari dengan senyum dikulum.
“Siapa Nyi Tarsih?” tanya Bendara.
“Dia sesama penari juga. Dasar Si Tarsih, dia mudah akrab dengan siapa saja …” jawab tua kampung.
“Pemuda itu kelelahan banyak menari tayub. Barangkali numpang tidur di rumah Nyi Tarsih, Gamparan …” kata penari tadi.
“Ah, dasar Si Dayat …” keluh Mang Sajum.
“Tapi, biarlah. Kalau sudah jodoh tak apa. Kami tak melarang pasangan muda-mudi memadu janji kasih, asalkan kelak berakhir di pelaminan …” kata tua kampung.
“Jadi, bagaimana ini?” tanya Bendara bingung.
“Biarkan tinggal pemuda itu. Kami akan menjaganya, Gamparan …” kata tua kampung.
Akhirnya dengan hati sedikit waswas, Bendara Wedana mengajak semuanya segera berangkat.
“Pukul sembilan pagi kita harus sudah berada di Cisaga,” tutur Bendara.
Rombongan pun pergi meninggalkan Kampung Handiwung. Rencananya, mereka akan mengambil kuda yang dititipkan di kampung tetangga. Jalanan masih gelap sebab suasana masih dinihari. Camat Cisaga bertanya pada Kuwu Cibeurih pukul berapa sekarang. Maka Kuwu Cibeurih segera memasukkan tangannya ke saku pakaian bedahan lima untuk mengambil jam saku. Namun jam saku tak ditemuinya.
“Waduh, jangan-jangan tertinggal di Kampung Handiwung …” keluhnya. Sambil berkata begitu, kepalanya menoleh ke belakang.
“Hai, jangan toleh ke belakang!” teriak Lendra. Namun peringatan ini tak berarti sebab Kuwu Cibeurih sudah terlanjur menoleh. Akibatnya sungguh mencengangkan. Jalanan yang tadinya rata dan bersih dengan cahaya damar sewu di sepanjang dua sisi jalanan mendadak hilang dan suasana menjadi gelap-gulita. Jalanan pun yang tadinya rata dan kering, telah berupa menjadi becek dan berlumpur. Kaki Upas Karta malah melesak masuk ke dalam rawa sebatas lutut.
“Wah, kok jadi begini?” tanyanya heran.
Hanya Lendra yang tak heran. Namun kendati begitu, tetap saja jiwanya bergetar. Bahwa kehidupan nyata ini bersanding dengan kehidupan gaib, kini dipercaya penuh olehnya.
“Kau mungkin sudah tahu akan kejadian-kejadian aneh ini, Lendra …” gumam Mang Sajum. Lendra mengangguk. Bahkan Bendara Wedana pun pelan-pelan mengangguk.
“Harap Bendara percaya kalau beberapa waktu lalu sebenarnya saya tidak mati, Gamparan …” gumam Lendra. Maka untuk kedua kalinya Bendara Wedana mengangguk pelan.
“Jadi, bagaimana akal kita?” tanya Upas Karta.
“Akalnya, ya jungkat kakimu jangan dibiarkan melesak seperti itu, Mas Karta …” kata Mang Sajum sambil membantu menggapai kaki Upas Karta. Dibantu dengan tenaga tarikan Lendra, maka kaki Upas Karta mulai bisa ditarik.
“Maksudku, bagaimana akalnya agar kita terbebas dari kungkungan misteri gaib ini, Sajum?”tanya Upas Karta bingung dan suaranya bergetar.
“Justru kini kita terbebas dari dunia gaib,” kata Mang Sajum. Kata Mang Sajum, mereka kini terjebak di kubangan lumpur rawa. Tapi, ya inilah kehidupan nyata.
“Barusan kita masuk ke kehidupan gaib, Gamparan …” kata Mang Sajum, membuat Upas Karta bergidik.
“Sudahlah. Mari kita tinggalkan saja tempat ini,” gumam Bendara Wedana sambil meninggikan kain batiknya. Maka mereka berjalan dengan susah-payah. Dan perjalanan kali ini terasa amat lama dan amat melelahkan. Dinihari pun seperti enggan berubah menjadi subuh sebab di ufuk timur seperti tak ada tanda-tanda berkas cahaya walau selintas. Di saat dinihari yang seharusnya berudara dingin, hampir semua anggota rombongan basah kuyup karena cucuran keringat.
Sialnya, cucuran keringat ini kini ditambah dengan cucuran air hujan. Semua orang sungguh tak mengerti, mengapa cuaca tiba-tiba menjadi mendung dan hujan turun dengan derasnya. Hujan deras ini disertai dengan kilatan halilintar dan bunyinya amat memekakkan telinga. Maka perjalanan jadi semakin susah karena jalanan jadi semakin becek. Namun Bendara Wedana memerintahkan agar semua orang melanjutkan perjalanan dengan tenang dan hati-hati.
“Kita sial. Padahal tadinya kita akan berburu ke Rancabingung …” keluh Kuwu Cibeurih. Setelah berjalan beberapa lama dengan susah-payah, ahirnya tiba juga di kampung di mana kuda dititipkan.
Di tapal-batas kampung, hujan mulai reda. Bahkan rupanya di tempat ini tak ada hujan sama-sekali. Jalan setapak di kampung ini kering dan tak pernah terguyur hujan. Di saat terang-tanah, mereka menemukan kuda-kuda mereka terpancang di beberapa batang pohon yang jauh dari perumahan. Lendra tercenung. Padahal kemarin sore, kuda itu dititipkan di halaman rumah penduduk.
Ketika kuda dilepas talinya, dari jauh nampak beberapa petani tengah memanggul cangkul. Mang Sajum mengucapkan terima-kasih bahwa kuda mereka aman di sini. Namun penduduk malah melenggak heran. Kata mereka, tak ada penduduk yang merasa dititipi kuda.
“Tadi malam tugur (ronda) hilir-mudik ke sini. Tak ada siapa pun di sini, apalagi kuda,” kata petani.
“Nah, ini kuda, kan?” kata Upas Karta menunjuk kuda miliknya. “Ya, memang itu kuda. Tapi tentu para juragan yang bawa sendiri barusan …” tutur penduduk lagi sambil senyum, sebab mereka mengira pendatang asing ini lagi membanyol.
Bendara Wedana bertanya perihal nama kampung ini.
“Ini Kampung Babakan, masuk ke Desa Ciminyak. Sepagi ini, Gamparan dari mana saja?” tanya penduduk.
Maka Bendara Wedana berkata kalau rombongan baru saja pulang dari Kampung Handiwung.
“Kampung Handiwung? Serasa tak ada kampung bernama itu, kecuali Pulo Handiwung di wilayah kawasan Rawa Onom. Gamparan dan semua rombongan nampak basah-kuyup, rupanya menyeberangi Pulo Handiwung sambil berenang di rawa, ya?” tanya penduduk heran.
Sudah barang tentu Upas Karta marah dibuatnya.
“Mana bisa kami berenang di rawa malam-malam? Kami ini kehujanan. Apa tak dengar di saat dinihari hujan deras dan halilintar bersahutan?” tanya Upas Karta.
“Hujan? Di sini tak ada hujan, apalagi halilintar bersahutan,”kata penduduk, membuat rombongan kembali bingung.
“Sudahlah. Ini bagian dari kesialan kita, Karta …” gumam Bendara Wedana sambil naik kuda.
Namun sebelum rombongan berangkat, semuanya teringat nasib Jang Dayat.
“Kalau dia celaka, kita bertanggung-jawab,” tutur Bendara.
“Nasib Jang Dayat, biar serahkan pada saya, Gamparan …” Lendra mengajukan diri.
“Maksudmu, engkau akan jemput Jang Dayat? Kamu kan lagi sakit, Lendra?” kata Bendara Wedana.
“Tak apa. Sakitnya saya, kan karena kegaiban. Maka saya akan kunjungi lagi dunia itu, Gamparan …” kata Lendra.
Bendara Wedana bimbang akan kesanggupan Lendra. Barangkali pejabat ini khawatir akan nasib pegawainya ini. Namun karena yang lain diam saja, maka Bendara Wedana terpaksa mengiyakan.
“Yang penting kau hati-hati. Bawa Jang Dayat dengan tak kurang suatu apa dan begitu pun dirimu,” kata Bendara Wedana.
“Saya akan junjung tinggi pesan ini, Gamparan …” tutur Lendra menyembah hormat. Maka ketika rombongan berjalan ke arah selatan, Lendra berjalan menuju arah utara kembali.
“Hati-hatilah Lendra!” teriak Mang Sajum. Lendra hanya bisa mengangguk pasti.
Maka Lendra kini berjalan sendirian, melewati jalanan setapak yang kian lama kian mengecil dan menghilang sama-sekali. Hingga pada suatu saat, kakinya hanya melangkah di semak belukar yang sedikit mengandung rawa dan tanah lembek. Lendra tak bisa memastikan, apakah tadi subuh memang benar terjadi hujan lebat dengan halilintar saling sambung menyambung? Yang jelas, di sini hujan tak berbekas sebab sepanjang perjalanan, tanah selalu basah berawa. Sesekali Lendra musti berhenti untuk memeriksa kakinya yang terasa gatal.
Dan bila kaki itu diperiksa, maka ketahuan rasa gatal terjadi lantaran lintah sebesar ibu jari melekat erat menyedot darah di bagian kaki.
Lendra terus melangkah menuju wilayah Rancabingung. Rancabingung itu memang berada di wilayah Rawa Onom. Mungkin Pulo Handiwung pun berada di sekitar sini. Bila benar, maka Lendra jangan harap bisa menemukan Kampung Handiwung, sebab di dunia nyata, tak ada Kampung Handiwung. Yang ada hanyalah Pulo Handiwung, seperti apa yang dikatakan penduduk Kampung Babakan tadi.
“Aku pun jangan harap menemukan jalan pedati yang besar dan rata, atau pun bisa menemukan deretan rumah-rumah bagus, sebab itu semua hanya ada di dunia gaib …”tuturnya dalam hati. Tapi Lendra merasa, bisa menemukan Jang Dayat di dunia nyata ini pula.
Dia berpikir berdasarkan pengalaman yang pernah menimpanya. [Bersambung]